Kapanpun, di manapun, dan bagaimana pun. Selama akad tak pernah terucap, selama itu pula tak ada yang memerdekakan seorang hamba dari status jomblonya.
Selamat sore. Bagaimana kabarnya Yogi Alur? Semoga tetap jomblo sehat, baik-baik saja dan dalam lindungan-Nya.
Sebelumnya, saya mau ucapkan terima kasih, sudah menyuarakan suara kaum jomblo di Jurnaba, wasilah aktualisasi diri para jomblo — rebahan, udud, nyemil, kurang kerjaan dan penuh jadwal kesendirian — di muka bumi ini.
Melalui surat ini, izinkan saya menyampaikan perasaan cinta dendam saya kepadamu. Pemuda yang konon punya banyak kenangan di berbagai jalan, kota, dan mantan.
Yogi Alur alias Yogur, yang kelak menjadi Bapak Kesendirian Nasional, di masa pertemuan yang amat sulit dilakukan ini, saya hendak menyampaikan 99 cahaya di langit Eropa pesan sekaligus kritik atas tulisan berjudul Jomblo Dadakan.
Pesan Pertama.
Yogur, sebagai sesama jomblo, memang kita punya kesedihan dan kegalauan yang sama. Karena itu kita tidak selayaknya saling menentang. Tapi maaf, kali ini saya tidak sependapat dengan konsep Jomblo Dadakan.
Sebagai penganut madzhab jomblo tertindas dan tak berdaya, saya menentang keras konsep jomblo merdeka dan memberdayakan. Jelas ini sesat pikir yang perlu diluruskan.
Merdeka tidak sesederhana itu, Yogur. Ada banyak hal yang harus diperjuangkan. Yang mendasar ialah perjuangan melepas ketertindasan. Saya bukan pelaku penindasan. Justru saya korban yang tertindas.
Bagaimana tidak? Di hampir 24 jam waktu yang ada, saya disuguhi bacaan pelbagai macam jenis hubungan. Mulai yang dari sekadar teman, adek-kakak(an), tunangan hingga mereka yang yang resmi di jenjang pernikahan.
Berhari-hari. Bahkan ketika instruksi untuk tidak mengumpulkan massa termasuk menyelenggarakan pernikahan keluar, ijab qabul dua sejoli tetap dilaksanakan. Sebagai jomblo, bagaimana saya tidak tertindas?
Merdeka sejak dari pikiran itu sulit. Apalagi ditambah membaca buku-buku perjuangan yang kamu sarankan. Justru di waktu seperti ini, saya malah menenggelamkan diri menguras air mata membaca novel percintaan.
Harapannya sederhana, mengalami penindasan dan merayakan kemerdekaan kemudian. Tapi faktanya, novel-novel itu justru menceburkan saya ke dalam comberan sedih dan kesepian.
Ini penting kamu pahami. Dasar premis yang kamu sajikan dalam konsep Jomblo Dadakan adalah: dengan sendiri, kita bebas tanpa ada kekangan yang menekan. Sehingga kian produktif. Begitu kan?
Aku koreksi sedikit. Harusnya ada penjelasan, merdeka secara sosial atau personal. Ini sepele tapi penting. Kalau secara sosial jelas itu keliru. Sebagai zoon politicon, tak ada kemerdekaan yang berlandaskan kesendirian.
Gimana mau bebas, lha wong kesendirian itu penjara kok. Dengan sendirian, kita justru lemah. Mudah baper. Bahkan mudah iri sama orang lain. Dengan potensi ketersiksaan seperti itu, masak bisa merdeka?
Belum lagi faktor eksternal berupa omongan tetangga dan omongan orang lain yang selalu tanya-tanya kapan nikah dan kapan punya pacar, bukankah itu variabel dari tersiksanya seorang jomblo?
Karena itu, sejatinya, jomblo akan selalu tertindas. Dan baru berakhir ketika ia menyempurnakan separuh hidupnya dengan jomblo yang sama. Ini baru yang namanya merdeka.
Pesan ke-99
Pesan terakhir ini menegaskan, sebagai jomblo akut yang tidak berdaya, saya menentang konsep jomblo dadakan. Karena yang ada, jomblo tetaplah tak berdaya.
Bagaimana pun waktu diisi dengan menulis, misalnya. Jomblo akan tetap menyandang status jomblonya. Diberdayakan dengan cara apapun, pada akhirnya malah diperdaya. Kan asem to..
Pun seperti di awal saya katakan, jomblo akan terus menulis kejombloannya. Biar apa? Ya biar orang gak percaya kalau dia sedang menjomblo.
Tidak. Memang orang lain boleh melihat dari pelbagai sudut pandang. Akan tetapi saya menyuarakan bahwa jomblo itu tak berdaya.
Kalau kata Max Weber, ada konsep Konstruksi Ideal. Di mana ada keinginan ideal untuk mencapai sesuatu, biasanya berlainan dengan realita yang ada. Sama seperti jomblo. Idealnya memberdayakan, tapi realitanya malah tak berdaya dan justru diperdaya.
Oleh karena itu, wahai Yogur, yang pandai mengalur-alur… saya akan mengakhiri surat ini. Saya kekeuh mempertahankan bahwa selama masih manusia normal, jomblo tetap tertindas dan tak berdaya.
Kapan pun, di mana pun, dan bagaimana pun. Selama akad tak pernah terucap, selama itu pula tak ada yang memerdekakan seorang hamba dari status jomblonya.