Terkandung hitam dan putih dalam kehidupan di dunia. Memiliki dua sisi, tinggal bagaimana manusia atau user mengendalikan diri.
Apakah kalian pernah memiliki perasaan, refleksi puitis atas pagi yang indah menjadi tak bergairah ketika postingan informatif dari diri kalian tidak mendapat sejumlah apresiasi atau likes di media sosial? Akui saja ‘iya’ meski kiasan ini terkesan hiperbolis.
Nabs, media sosial telah mengantarkan kita pada era post-truth atau pasca-kebenaran, situasi dimana emosi dan kepercayaan pribadi lebih berpengaruh daripada fakta objektif.
Dialektika laman dimulai ketika kita menampilkan gambar kita, gerak tubuh, dan kata-kata untuk dikonsumsi berbagai kalangan. Sebagai tanggapan atas dunia sekitar, kita memproduksi foto dan cerita diri kerap berlawanan bahkan juga satir.
Ketika kita melakukannya, status representasi diri kita berganti. Alih-alih mempertunjukkan diri sebagai objek pasif untuk dikonsumsi oleh orang lain, kita menuntut pengakuan sebagai subjek yang hidup dalam sebuah dunia.
Di zaman serba digital, kita sering mengatur sedemikian rupa aktivitas kita di media sosial, fokus utama terselip di antara ribuan pemain figuran. Segala rupa ekspresi kita dapat di wakilkan dengan emoji. Tertawa, menangis, marah, bijaksana, semangat, menyebalkan, dan sebagainya. Kenyataannya tak menyentuh sisi emosional kita. Adegan rekaan yang tak kasatmata dan berbiaknya berita palsu yang sulit di bedakan. Seperti halnya menemukan pasangan ideal adalah momen langka.
Sebagai contoh yaitu swafoto yang merupakan bagian dari identitas visual seseorang di dunia maya. Saya dan kalian barangkali pernah, mengambil sudut gambar ketika swafoto dan ekspresi ketika kita berswafoto merupakan hal-hal yang kerap kali dipertimbangkan.
Tentu hal ini bukan tanpa sebab. Melainkan melalui hal tersebut, sebenarnya kita berusaha untuk berbicara mengenai diri kita kepada orang lain dari sudut terbaik diri kita. Interaksi yang berusaha dimulai melalui simbol yang kita bangun dari cara kita berswafoto.
Media sosial, anggaplah instagram misalnya, selama ini mendamba sesuatu yang filmis, mengandalkan sisi visual yang glamor, mewah, estetik, bahkan tidak jarang banal. Sementara kita menuju keintiman kompetitif, di mana cara mencapainya bukan sekadar dilihat, tapi juga ditunaikan dengan sebuah unggahan.
Konfliktual inilah yang menyebabkan etika sosial di media terseok-seok kala harus menjadi wujud anyar atas nama konten.
Beragam rupa dan cara kita lakukan untuk meningkatkan penampilan dalam setiap unggahan. Mulai dari menambahkan filter pada foto, dan angle serta gaya yang menarik.
Kebiasaan ini makin terkesan menggemaskan karena yang kita kejar adalah jumlah ‘tanda cinta’ atau ‘likes’ yang disematkan orang lain ke unggahan kita, bukan interaksi membicarakan impresi sosial itu di kolom komentar.
Bagaimana orang lain mau berkomentar dan berdiskusi jika caption foto kita tidak menyelipkan benih untuk diskusi?
Melonggarnya norma sosial secara online karena anonimitas atau jarak fisik ini menciptakan perilaku buruk pada komunikasi secara online. Intimidasi, pandangan dunia yang fatalistik, dan mentalitas massa. Media sosial seperti Instagram membelokkan persepsi pengguna tentang realitas dan menyebabkan tekanan psikologis.
Kekhawatiran khusus adalah bahwa kita kerap membandingkan diri dengan kesuksesan orang lain yang terus-menerus muncul dari rekan-rekan di dunia maya secara algoritme.
Media Sebagai Sarana Mengejar Atensi Publik
Karena media sosial kerap mengedepankan visual, ditambah dengan fitur-fitur edit, maka para penggunanya bisa memilih variasi dalam mempresentasikan dirinya di media.
Terlepas dari selera yang merupakan cara membedakan diri sendiri dari orang lain. Platform medial sosial semacam itu lebih mementingkan visualitas dan minat pengguna daripada khasanah etika sosial yang seyogianya.
Dalam film Snow Crash karya fiksi ilmiah klasik Amerika, Nael Stephenson. Film ini meramalkan bahwa di masa depan jaringan internet menjadi ruang hidup baru. Ruang virtual tempat manusia keluar dan masuk berinteraksi satu sama lain. Media sosial dilihat sebagai alat untuk menghubungkan komunitas dan menciptakan relasi.
Hari ini kita telah dihadapkan pada desa digital Potemkin, sebuah konstruksi palsu, di mana aktivitas sosial yang nyata diabaikan untuk mengejar angka-angka yang menghitung interaksi sosial.
Model ini menetapkan kondisi untuk menentukan siapa pemenang dan pecundang dengan mudah.
Alih-alih hidup di desa global kecenderungan kita pada tindakan rasial terfasilitasi media.
Misalnya penggunaan FaceApp teknologi yang memiliki keunggulan mengubah warna kulit menjadi bersih dan putih. Padahal kenyataanya ini adalah asimilasi biologis bahwa manusia memiliki gen bawaan yang mempengaruhi warna kulit seseorang.
Artinya kita tak bisa menyeragamkan bahwa cantik itu putih tetapi mengakui bahwa ini adalah keunikan identitas visual yang kita miliki mungkin itu lebih baik. sebagaimana dibayangkan peneliti ilmu komunikasi Marshall McLuhan.
Selaras dengan hal yang sering kita lihat pada adegan seseorang yang beberapa kali mengambil swafoto dalam satu momen yang sama. Hal tersebut pantas kita duga sebagai sebuah tindakan yang sungguh-sungguh dari seseorang dalam rangka membentuk identitas yang diinginkan.
Media Mendorong Persaingan Popularitas
Ketika tombol untuk membagi konten dan menghitung jumlah atensi manusia di media sosial muncul, bisa dibilang tombol ajaib tersebut mengubah karakteristik media sosial dan juga motivasi para penggunanya.
Mendekonstruksi kita agar selalu mengamati angka keterlibatan yang semakin banyak selalu menjadi tujuan awal dalam setiap postingan yang kita unggah.
Memang menyebalkan bahwa kita harus meng-iyakan ukuran popularitas dibuktikan dengan jumlah likes, mentions, impresi, jumlah pengikut, keterlibatan, atau alat ukur yang menunjukkan berapa kali konten dilihat, siapa yang melihat, dan kapan mereka melakukannya.
Dengan keberadaan media sosial di mana-mana dan munculnya berbagai keistimewaan telah mengubah cara pandang bahkan aspek sosial tunduk pada persaingan yang kejam media.
Aktivitas kita di media sosial lebih fokus berjibaku pada perburuan atensi dan popularitas. Mendapatkan like secara online adalah perlombaan yang mungkin tidak menghasilkan apa-apa.
Tetapi entah bagaimana kita seolah-olah merasa bergairah secara ajaib dengan memposting momen-momen luar biasa dan juga momen menyebalkan sekali pun dalam hidup kita demi mendapatkan likes.
Alih-alih menjadi sosial, kita menggunakan media sosial sebagai upaya kompetitif untuk mengumpulkan lebih banyak tanda cinta dan atensi publik.
Mengukur nilai diri dari seberapa banyak kita mendapat atensi di media sosial bukanlah refleksi yang mencerminkan sosial. Kegiatan ini lebih seperti upaya memenangkan pertandingan popularitas pada ekonomi atensi.
Tetapi karena memang, perilaku kompetitif telah menjadi preseden sejak lama. Kita dapat menyadari betapa absurdnya gagasan ini jika saja adegan memburu atensi di lakukan pada interaksi sosial offline.
Mungkin akan terlihat konyol jika kita berebut mendapatkan like di antara teman dan keluarga kita.
Tapi di luar kesadaran bahwa ini berlawanan dengan semua kebaikan media sosial sebagai alat untuk membangun dan memperdalam hubungan yang melampaui batas geografis, mengorganisir dan memobilisasi komunikasi, dan mentransmisikan keunikan identitas tanpa batas ruang dan waktu.