Meski dikenal horor dan tak terjamah manusia, Sotasrungga merupakan laboratorium ekologis dan pusat edukasi budaya. Di tempat inilah, kaidah melegenda “Lengo Urup Banyu Urip” itu benar-benar ada.
Nama Sotasrungga (alas Srunggo) tentu masyhur kegawatannya. Sejak bergenerasi-generasi, mitos angker membuat kawasan itu seperti dijauhi peradaban. Namun kami percaya, berbagai kebaikan dan tauladan bijak masih tersimpan di sana.
Berbekal fasal la yutrakul haqq li ajlil bathil (kebenaran tak boleh ditinggal, hanya karena ada keburukan di dalamnya), kami pun berniat melakukan rihlah ekologis ke Sotasrungga. Tentu, kami ingin men-tafakuri hamparan ayat-ayat Tuhan yang ada di sana.
Sabtu (26/4/2025), Kami berangkat dari Kota Bojonegoro pukul 10.00 WIB, untuk menuju Desa Pagerwesi Trucuk, sebagai pos pertemuan pertama, sekaligus titik checking kelengkapan. Perjalanan dari Kota Bojonegoro ke Pagerwesi, menyita waktu hanya 15 menit.
Sesampainya di Pagerwesi Trucuk, kami disambut hangat kopi dan akrabnya persaudaraan. Sejumlah pemuda Pagerwesi yang turut serta dalam tim ekspedisi, tampak ceria berbagi bermacam informasi, sebelum kami melanjutkan perjalanan lagi.

Generasi muda harus mengenali Sumber Daya Alam lokalnya. Harus memahami tradisi lokalnya. Sebab, lokalitas Sumber Daya Alam dan lokalitas tradisi ini, tak pernah diajarkan dalam kurikulum sekolah formal. Ini alasan utama, banyak generasi muda yang tak mengenali tempatnya sendiri.
Meski kurikulum sekolah tak pernah mengajarkan materi Sumber Daya Alam lokal, bukan berarti kami berhenti mempelajarinya. Justru, ini memotivasi kami untuk membangun dan mengaransemen kurikulum yang fokus mempelajari Sumber Daya Alam lokal dan tradisi lokal.
Setelah berbincang tentang titik-titik yang nantinya akan dilewati, kami pun segera menata niat dan merapikan perlengkapan, untuk kemudian memulai perjalanan. Ya, rihlah ekologis ini, kami niati sebagai proses mengenal dan memahami alam Pegunungan Kendeng, khususnya Sotasrungga.
Membaca Pegunungan Kendeng
Sebelum lanjut membaca laporan ini, ada baiknya sedikit memahami posisi Pegunungan Kendeng Utara. Sebab, diakui atau tidak, materi sekolah tak pernah mengajarkan posisi Pegunungan Kendeng ini, sehingga banyak yang belum tahu posisi dan lokasi dari Pegunungan Kendeng Utara.
Disebut Pegunungan Kendeng Utara, karena posisinya berada di sisi utara Pulau Jawa. Nah, lajur Pegunungan Kendeng Utara ini tidak hanya satu, tapi tiga. Ya, kita bisa cek di google earth. Inilah keunikan komsomologis Pegunungan Kendeng Utara.

Jumlah lajur Pegunungan Kendeng Utara itu ada tiga: Kendeng Utara bagian utara, Kendeng Utara bagian tengah, dan Kendeng Utara bagian selatan. Karena materi sekolah tak pernah mengajarkan pelajaran sepenting ini, maka wajar jika masih banyak yang belum memahami lajur Pegunungan Kendeng ini.
Bojonegoro cukup beruntung karena posisinya dipagari dua lajur Kendeng sekaligus. Yaitu Kendeng Utara bagian tengah (membentang dari Kedewan hingga Trucuk), dan Kendeng Utara bagian selatan (membentang dari Margomulyo hingga Sekar).
Bojonegoro, secara geografis, adalah kawasan yang dipeluk Pegunungan Kendeng. Ini alasan ia disebut sebagai Ring of Fire (cincin api). Lebih istimewa lagi, posisi Bojonegoro juga mendominasi lintasan Bengawan, yang membuatnya dikenal sebagai Nagapura (Gerbang Naga).
Nah, keistimewaan itu terkumpul di Bukit Sotasrungga. Sebab, tempat ini menjadi salah satu titik temu antara Kendeng dan Bengawan. Sehingga hampir di berbagai zaman, wilayah ini selalu jadi inkubator budaya dan pusat peradaban.
Tak heran jika kawasan “Sotasrungga” disebut Raja Dyah Baletung dalam Prasasti Telang (903 M), sebagai tempat yang diistimewakan. Namun, umumnya tempat-tempat penting, biasanya akan muncul narasi horor dan keangkeran.
Laboratorium Ekologi Sotasrungga
Setelah memarkir motor di kaki bukit, kami bergegas naik ke atas. Perjalanan rihlah ekologi ini, dibersamai Mas Teguh Gersi dan para pemuda Pagerwesi. Memang benar jika Sotasrungga adalah kawasan yang jarang dijamah manusia. Sebab, dalam rihlah itu, kami banyak membuat akses sendiri, untuk bisa mencapai puncaknya.
Layaknya baris Pegunungan Kendeng, bukit Sotasrungga memang tak terlalu tinggi di banding gunung-gunung besar lainnya. Namun, punya sensasi khusus bagi mereka yang belum pernah ke sana. Sebab, memiliki banyak titik yang setiap puncaknya membawa ibrah-saintifik berbeda-beda.

Di sebuah pelataran, tepat di bawah puncak tertingginya, kami mendapati sebuah sumber minyak tua yang sudah diberi tanda perusahaan Migas. Ini wajar. Sotasrungga adalah bagian penting dari peradaban Bale Lantung yang dimuliakan Raja Dyah Baletung (898 – 910 M). Tempat ini dikenal memiliki sumber “lenga” di tiap jengkal tanahnnya.
Pada titik itu, kami tafakuran bersama, tentang betapa besar anugerah Tuhan. Sebongkah tanah yang mampu mengeluarkan energi keberlanjutan hidup. Mungkin karena memberi manfaat pada manusia itulah, Tuhan pun memuliakannya. Dengan cara menempatkannya di lokasi yang cukup tinggi dari jangkauan manusia.
Kami pun bergegas melanjutkan perjalanan menuju puncak Sotasrungga. Di mana, di setiap jalur yang kami lintasi, kami kerap mendapati jaring laba-laba yang melintang di tengah jalan. Sebuah pertanda, bahwa kawasan tersebut memang cukup istimewa, karena jarang terjamah manusia.

Setelah beberapa saat mendaki, kami pun sampai di Puncak Sotasrungga. Tempat yang tak hanya sejuk karena dipenuhi pepohonan alam, tapi juga memberi banyak pelajaran penting tentang apa itu makna keseimbangan. Di tempat itulah, kami mendapati cukup banyak sumber mata air alami yang gemericik, seolah tak berhenti mengucap tasbih.
Keberadaan sejumlah titik sumber mata air, membuat dada kami sesak dipenuhi decak kekaguman. Sementara bulu kuduk kami berdiri atas nama kesaksian ilmu pengetahuan. Ya, keberadaan titik-titik sumber mata air itu tepat berada di atas titik sumber lenga.

Keberadaan sumber mata air yang berada tepat “di atas” posisi sumber lenga (minyak bumi), adalah ejawantah dari kaidah melegenda yang dikenal dengan “Lengo Urup Banyu Urip“. Sebuah falsafah kuno yang lahir dan berkembang di Tanah Bojonegoro.
Kaidah melegenda ini berbunyi: untuk memunculkan kebermanfaatan lengo, muliakanlah air. Falsafah leluhur itu terbukti secara saintifik. Sebab, massa air mampu mengangkat keberadaan massa lengo (minyak bumi). Jika ingin memunculkan kebermanfaatan lengo, muliakanlah air.
Di puncak Sotasrungga, kami semua benar-benar mendapati dan menyaksikan, bahwa kaidah “Lengo Urup Banyu Urip” itu benar-benar nyata. Di tempat yang dimuliakan Raja Dyah Baletung (898 -910 M) inilah, sumber mata air berada tepat di atas sumber lenga (minyak bumi).
Baca Juga: Bale Lantung, Mercusuar Peradaban Raja Baletung
Setelah beberapa jam melakukan tafakuran, kami pun memutuskan untuk turun. Dan di perjalanan turun ini, sekali lagi, Tuhan menunjukan ayat Kauniyah yang sangat menggembirakan hati kami. Sebab, kami semua ditunjukan sebuah pohon Ficus raksasa yang berada di dekat sumber mata air besar.
Ini pohon Ficus terbesar yang pernah kami lihat selama ini. Secara ukuran, untuk memeluk pohon itu, butuh sekitar 20 bentangan tangan orang dewasa. Sejumlah peneliti menyebut Pohon Ficus sebagai entitas pohon kuno yang tak memiliki usia. Sebab, Ia bisa berusia sampai ribuan tahun.

Posisinya yang berada di atas jurang, membuat sumber mata air itu menciptakan kanal vertikal alami yang kita kenal dengan istilah air terjun. Suasana hening, tubuh kami bergetar. Sayup-sayup kami mendengar denging “Tajri min Tahtihal Anhar” bergema di sekujur arah telinga.
Kami mengingat ucapan guru kami, seorang dosen psikologi lingkungan dari Universitas Padjajaran Bandung, Dr. Noer Fauzi Rachman Phd, yang pernah mengatakan: “Jika kau masih menemui pohon ficus raksasa di tempatmu, bersyukurlah. Sebab, itulah pohon Tin. Pohon yang Allah berjanji dengan menggunakan namanya”.
Pohon Ficus raksasa adalah pohon istimewa, pohon yang memiliki kesaktian hidrologis. Kami menyebutnya sebagai Jogotirta (penjaga air). Pohon ini dikenal sebagai “Ibu dari air tanah”. Sebab, akar Ficus raksasa merupakan kantung diafragma yang mampu “mengandung” dan menahan air tanah dalam volume besar.
Keberadaan Ficus raksasa menjadi simbol keseimbangan alam. Pohon ini sangat langka. Karena itu, saat ini, cukup gencar gerakan nasional untuk memelihara dan merawat pohon Ficus. Berbagai pelatihan dilakukan untuk mengembang-biakan pohon langka tersebut agar tidak punah.
Dengan dada lega penuh oksigen keberkahan, kami pun bergegas turun untuk pulang. Kami kian meyakini bahwa Sotasrungga adalah laboratorium ekologis dan pusat edukasi budaya. Tempat yang mengajarkan pada kami tentang makna bersyukur.
Ekspedisi Sotasrungga adalah awal dari semangat kami untuk terus belajar. Semangat untuk terus mengenali Sumber Daya Alam dan kebudayaan lokal di tempat kami tinggal. Sekaligus menjadi pintu gerbang untuk kian rajin membaca ayat-ayat Kauniyah Tuhan.
Sumber Daya Alam (SDA) lokal, tradisi lokal, dan kebudayaan lokal, memang tak pernah diajarkan dalam kurikulum sekolah formal. Dan Sotasrungga mengajarkan kami untuk berani bermimpi: membangun kurikulum yang mempelajari SDA lokal, tradisi lokal, dan kebudayaan lokal.