Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba

Bale Lantung: Mercusuar Peradaban Kalangwan

Ahmad Wahyu Rizkiawan by Ahmad Wahyu Rizkiawan
26/04/2025
in JURNAKULTURA
Bale Lantung: Mercusuar Peradaban Kalangwan

Dandangilo: Mercusuar Bale Lantung

Bale Lantung (Kedewan, Malo, Trucuk) adalah mercusuar peradaban kuno. Episentrum “kalangwan” yang merepresentasikan jejak kebesaran Raja Dyah Baletung (898 – 910 M). 

Bale Lantung (Kedewan, Malo, Trucuk) adalah peradaban sepuh, sekaligus titik paling banyak menerima kolonisasi. Sehingga nilai-nilai luhur, norma budaya, hingga kearifan lokal asli dari tempat itu, banyak di-intervensi imperial-kolonial. Dalam bahasa sederhana, sepuhnya peradaban di kawasan itu sempat mengalami pengkerdilan.

Baca juga: Lengo Urup Banyu Urip, Falsafah Sumber Daya Alam Bojonegoro 

Ratusan artikel Belanda menyebut Bale Lantung — khususnya Dandangilo dan Wonocolo Kedewan — sebagai bumi yang diberkahi. Namun di lain sisi, intervensi kolonial juga membuat kawasan ini sekadar jadi pusat ekploitasi. Jejak tradisi “kalangwan” beserta nilai budaya luhurnya dihitamkan. Sebagai gantinya, mitos Makam Kalang pun ditanam dan disebarkan.

Di antara intervensi kolonial yang paling mudah kita amati, adalah cara mereka dalam menarasikan istilah Kalang. Kolonial men-stigma istilah Kalang dengan mempublish cerita tutur tentang tradisi Kalang, sehingga seolah-olah mereka manusia “lian” atau bahkan keturunan hewan. Inilah stigma buruk bagi peradaban Jawa.

Narasi kolonial tentang Kalang sesungguhnya belum lama. Baru pada awal abad 20 M, tepatnya pada 1931 M. Semua bermula dari penelitian dilakukan para peneliti Belanda tentang sebuah punden misterius di Kedewan. Tanpa melakukan kajian sosio-kultur serius, mereka mengutip informasi dari seorang tokoh bernama Soepardi.

Entah sengaja atau tidak, Soepardi memberi informasi melenceng jauh. Dia menyebut punden itu dengan Makam Kalang beserta kisah-kisah khayalan di luar nalar. Tak butuh waktu lama, koran Belanda mempublish hasil penelitian “mengagumkan” itu ke publik. Inilah cikal bakal lahirnya istilah Makam Kalang dengan stigma negatif itu.

Jamak diketahui, mental kolonial adalah kolaborasi antara Londo Jowo dan Londo Holland. Hampir di tiap zaman, keduanya punya hubungan simbiosis-mutualisme dalam berbagai kepentingan. Pepatah mengatakan: Jika Londo Holland adalah tembakau, Londo Jowo adalah cengkihnya.

Ind Courant (1931)

Penanaman stigma negatif tak hanya dilakukan di Kedewan, tapi juga di wilayah Sotasrungga Malo dan Pagerwesi Trucuk. Peninggalan kuno yang sejatinya museum peradaban, diberi stigma negatif sebagai Makam Kalang. Berbagai mitos pendukung pun mulai diproduksi, dibikin narasi, dan dikembangkan secara masif ke berbagai pelosok negeri.

Artikel ini lanjutan dari Seri Dekolonisasi yang berpijak pada spirit Bhinnasrantaloka: memelihara kebanggaan masa lalu, kesadaran masa kini, dan inspirasi masa depan; dengan penuh keselarasan.

Narasi kolonial itu, sempat mendapat perlawanan. Seorang peneliti bernama Dr. Ramlie (1939), menyangkal narasi itu dengan teorinya, bahwa Makam Kalang yang mereka sebut, sejatinya peninggalan kuno yang periodenya lebih tua ribuan tahun sebelumnya. Namun, perlawanan itu gagal. Masyarakat sudah kadung percaya dengan mitos buatan Londo Jowo dan Londo Holland.

Mengembalikan Makna Kalang

Sotasrungga Malo, Pagerwesi Trucuk, dan Dandangilo Kedewan adalah kawasan Bale Lantung — wilayah strategis Kerajaan Medang. Tiga kawasan ini, jadi tanah yang diistimewakan Raja Dyah Baletung (898 – 910 M). Maka bukan kebetulan jika tiga kawasan ini, kerap dimitoskan dan di-kalangkan.

Seperti Sotasrungga Malo dan Pagerwesi Trucuk, Dandangilo Kedewan juga bagian dari jejak peradaban Medang. Jika Sotasrungga disebut dalam Prasasti Telang (903 M), Pagerwesi disebut dalam Prasasti Sangsang (907 M), wilayah Dandangilo Kedewan juga disinggung dalam Prasasti Telang (903 M), Mantyasih (907 M), dan Sangsang (907 M).

Wajib diketahui, Prasasti Telang (903 M), Prasasti Mantyasih (907 M), dan Prasasti Sangsang (907 M) adalah dokumen prasasti berbentuk lempeng tembaga. Sehingga keberadaannya amat transaksional dan mudah berubah lokasi. Sarkar, Damais dan Stutterheim menyebut, lokasi awal penemuan prasasti Mantyasih tidak diketahui. Namun, dibawa Pejabat Solo dan kelak disimpan di museum Sriwedari (Corpus Inscription, 1959: 64).

Ketiga prasasti kuno itu, dirilis pada zaman Raja Dyah Baletung (898 – 910 M) berkuasa. Hal itu sangat logis. Sebab, tiga kawasan (Kedewan, Malo, Trucuk) yang dikenal sebagai Bukit Para Dewa ini, adalah peradaban Bale Lantung — tanah yang merepresentasikan jejak kebesaran Raja Dyah Baletung.

Prasasti Mantyasih (907) menyebut kalang sebagai strata sosial. Sementara Prasasti Telang (903) dan Prasasti Sangsang (907), adalah prasasti awal yang menyebut “lenga” (minyak tanah) sebagai komoditas Bale Lantung — sebuah kawasan yang masyarakatnya memiliki peradaban tinggi: menguasai transportasi sungai, memahami perpajakan, dan ahli metalurgi (emas, tembaga, dan besi).

Prasasti Mantyasih 

[…. alasnya i munduan. i kayu pañjang. muang pomahan ing kuning vanua kagunturan pasavahanya ri vunut..] (Baris ke-3 Prasasti Mantyasih).

Seperti diterangkan Sarkar (1959) dan Damais (1955), pada baris ke-3 Prasasti Mantyasih, terdapat penjelasan yang menyebut sebuah tempat bernama Alas Munduan dan Kayu panjang, beserta tempat tinggal warga (pemukimannya), serta ciri peradaban masyarakat, beserta seperangkat tatanan sosial yang ada.

Alas Munduan (Peta 1866 M)

Alas Munduan, kemungkinan saat ini dikenal sebagai Alas Mundu. Pada peta abad 19 M, kawasan Alas Mundu berada di timur laut Tambakmerak (Kasiman), membentang cukup luas dan melebar ke arah utara dan timur. Artinya, sesuai peta abad 19 M ini, Alas Munduan berada di antara kawasan Wonocolo (Kedewan) dan Kanten (Trucuk) saat ini.

[…. rāma tpi siring kalang, gusti, variga, vinkas, kalima, rāma marată, rare matuha manvam…… ] (baris 10 plat B Prasasti Mantyasih)

Pada baris ke-10 plat B, Prasasti Mantyasih (907 M), terdapat sebuah pengumuman dari Raja Dyah Baletung, bahwa sang raja memberi keistimewaan pada sejumlah status sosial di sebuah wilayah. Di antara status sosial istimewa itu adalah; kalang, gusti, variga, vinkas, kalima, dan rama marata, untuk memiliki sebuah tanah sima.

Prasasti Telang 

[… ri tlang.. gusti: si bharata rama ni bahuti. kalang: si vgil rama ni gadit. kalima: si daval rama ni vujil. vinkas: si gahata rama ni kañjyal. variga: tamvu…ta rama ni vatü. (baris 1 plat B Prasasti Telang).

Sarkar (1959) menerangkan, pada baris ke- 1 plat B, menyebut identitas masyarakat Telang terdiri dari sejumlah struktur sosial, di antaranya: gusti, kalang, kalima, vinkas, dan variga. Di prasasti yang sama, tepat di baris ke-12 plat A menyebut, para kalang dari Klampayan menerima 2 perak, kalang dari Poh menerima 2 emas, dan kalang dari Pakung menerima tanah sima bebas pajak.

Klepoh: tempat yang mengingatkan kita pada Kalangpoh dan Desa Poh

Pada peta abad 19 M, lokasi Klepoh masih terdeteksi berada di antara Tambak Merak (Kasiman) dan Alas Mundu. Sebuah kawasan yang kini masuk wilayah Kedewan. Meski masih tercatat jelas di peta abad 19 M, kawasan ini sudah tak banyak dikenali. Wilayah Klepoh mengingatkan kita pada desa Poh dalam prasasti tersebut.

Prasasti Sangsang

[…. i dalinan si kekeh, rama ni dvi muang… i mahariman kalang si knoh rama ni santěl gusti si puñjö rama ni padmi muang.. ] (baris 4 dan 5 bagian recto Prasasti Sangsang).

Seperti dijelaskan Sarkar (1959) dan Naerssen (1934), pada Prasasti Sangsang, tepatnya berada di baris ke-4 dan 5 bagian recto, diterangkan tentang para sesepuh atau tokoh-tokoh penting di Desa Dalinan dan sekitarnya, yang terdiri dari sejumlah strata sosial seperti: para gusti, para kalang, para parujar (lengkap beserta namanya) yang mendapat hadiah 1 set kain, setelah mendapat sejumlah emas dan pakaian.

Di Dandangilo Kedewan, pernah terdapat lokasi bernama Dalnan (Dalinan?). Tempat ini, lamat-lamat masih tersimpan rapi dalam ingatan kolektif masyarakat sekitar, khususnya para sesepuh, sebagai tempat yang dikeramatkan. Sayangnya, tempat ini sudah tertutup hegemoni sumber minyak bumi, sehingga sulit dikenali lagi. Nama Dalnan, tentu mengingatkan kita pada Desa Dalinan yang disebut dalam Prasasti Sangsang.

Tradisi Kalangwan 

P.J Zoetmulder (1983) mengatakan, Kalangwan adalah warisan seni kuno, sebuah seni sastra menulis puisi pada zaman Jawa kuno. Secara harfiah, Kalangwan atau Kalangön bermakna “keindahan”. Karena dengan menciptakan dan menikmati karya-karya sastra, orang bisa terangkat ke luar dari dirinya (ekstasis “langö”) dan terhanyut  mengalami keindahan.

Tradisi Kalangwan tak bisa dilakukan sembarang strata sosial. Ia hanya bisa dilakukan Para Wiku Partapa atau para Brahmana. Sebab, Kalangwan adalah tradisi budaya tulis-menulis dan kriya. Sebuah budaya identik Wiku dan Brahmana. Kalang sebagai sebuah strata sosial era Raja Dyah Baletung, tentu punya hubungan dengan tradisi luhur bernama Kalangwan.

Ka-lengo-an dan Kalangwan

Dalam kaidah peradaban, Kalang adalah strata sosial tertentu pada zaman Maharaja Dyah Baletung (898 – 910 M). Seperti tercatat pada Telang (903 M),  Sangsang (907 M), dan Mantyasih (907 M), istilah “kalang” adalah strata sosial yang dimuliakan (priyayi). Kalang bukanlah suku atau jenis manusia tertentu, tapi sebuah strata sosial.

Menurut keterangan Zoetmulder, tradisi Kalangwan tak bisa dilakukan sembarang strata sosial. Kalangwan tentu berhubungan dengan Ka-lengo-an. Sebuah tradisi yang muncul dari sebuah kawasan yang dikenal sebagai Tanah Citra, bumi Bale Lantung.

Serupa Srunggo Malo dan Pagerwesi Trucuk, Dandangilo Kedewan juga mengalami pengkerdilan usia. Nilai-nilai luhur dan tradisi kebudayaan di wilayah itu dihilangkan. Diganti tradisi kolonial yang tak sepuh-sepuh amat. Bale Lantung, tentu jauh lebih “sepuh” dan lebih berperadaban, dari apa yang selama ini diceritakan.

Tags: Bale LantungDandangilo KedewanMakin Tahu IndonesiaPagerwesi TrucukSrunggo Malo
Previous Post

SAPA Bupati: Inovasi Luhur dari Tradisi Para Leluhur

Next Post

PC ISNU Bojonegoro adakan Syawalan Buku Bertema Tasawuf

BERITA MENARIK LAINNYA

‎Kampus PerDikAn: Mandala Kadewaguruan Transformasi Sosial
JURNAKULTURA

Kampus ‎PerDikAn: Mandala Kadewaguruan Transformasi Sosial

13/06/2025
Raja Baletung dan Spirit Ekologi Bojonegoro
Cecurhatan

Raja Baletung dan Spirit Ekologi Bojonegoro

11/06/2025
Ziarah Ideologis Bojonegoro dan Jogjakarta
JURNAKULTURA

Ziarah Ideologis Bojonegoro dan Jogjakarta

07/06/2025

Anyar Nabs

Dony Hendrocahyono: Data Lapangan dan Kondusivitas Ruangan

Dony Hendrocahyono: Data Lapangan dan Kondusivitas Ruangan

15/06/2025
Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital

Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital

14/06/2025
‎Kampus PerDikAn: Mandala Kadewaguruan Transformasi Sosial

Kampus ‎PerDikAn: Mandala Kadewaguruan Transformasi Sosial

13/06/2025
Bahasa Kualat: Antara Mitos, Dogma, dan Kesadaran

Bahasa Kualat: Antara Mitos, Dogma, dan Kesadaran

12/06/2025
  • Home
  • Tentang
  • Aturan Privasi
  • Kirim Konten
  • Penerbit Jurnaba
  • Kontak
No Result
View All Result
  • PERISTIWA
  • JURNAKULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • MANUSKRIP
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • PUBLIKASI
  • JURNAKOLOGI

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: