Mencintai itu takdir, menikah itu nasib. Sepenggal kata mutiara dari Presiden Jancukers.
Ini bukan persoalan uji validitas apa kalimat yang diucapkan pimpinan tertinggi Republik Jancukers itu benar atau tidak. Tapi ini tentang kesiapan menikah seseorang, khususnya laki-laki yang sering mbulet ketika di ajak menikah pacarnya.
Menikah tampak menjadi hal menyeramkan. Tidak jarang kita jumpai laki-laki yang sering mbulet ketika di ajak menikah oleh pacarnya. Padahal syarat menikah itu kan mudah (kata kaum yang sudah menikah dan pengen menikah lagi). Cuma (1 W + 2 M) Wali, Mahar dan Mempelai. Ijab kabul Saaahhh menikah, jadi suami istri.
Tapi fenomena yang ada tidak semudah itu Ferguso. Golongan belum berani menikah juga punya banyak dalil pembelaan dan pembenaran atas sikap dan pilihan yang diambilnya sebanyak dalil gombalan yang di pakai untuk merayu pacarnya agar tidak ditinggal nikah dengan yang lain, berjuta-juta miliar.
Terlepas dari itu semua urusan menikah dan segala tetek mbengeknya itu bisa dilihat dari berbagai pendekatan. Mulai dari Pendekatan ekonomi, biologi dan religi.
Pertama dilihat dari pendekatan ekonomi misal, “Menikah itu bisa menjadikan pemuda yang miskin mendadak jadi kaya, menikah itu enak bisa langsung punya rumah dua” kata Ahli Ekonomi Perkawinan yang gagasannya belum terkenal.
Kedua dari pendekatan Biologi, dari pendekatan Biologi ini muncul dalil yang apabila ditelisik lebih mendalam sedalam perasaanmu ke dia mengandung nilai yang memiliki variabel dengan pendekatan ekonomi dan religi “Dengan menikah seorang dapat melampiaskan hasrat untuk berkembang biak”. Otak kaum kebelet nikah tapi belum berani nggak usah mikir yang aneh-aneh. Kita tidak sedang mengulas bab reproduksi secara mendalam.
Lalu apa hubungannya dalil biologi itu dengan dalil ekonomi dan religi? nanti saya jelaskan lebih lanjut.
Kemudian ditinjau dari pendekatan religius misal, sebuah dalil yang kudapat dari santri pondok romadhon yang cuma bulan puasa aja ikut mondoknya, katanya “Menikah itu menyempurnakan setengah Iman”. Dengan menikah iman seorang akan sempurna, akan lebih kuat menghadapi godaan nafsu dan syetan.
****
Banyak alasan dan dalil pembelaan atas kondisi ketidaksiapan seorang untuk menikah. Seringkali dalil itu juga berlatar ekonomi dan lain sebagainya. Seringkali alasan belum punya pekerjaan tetap, gaji yang cukup dan lain sebagainya.
Tapi jika melihat dalil dari berbagai pendekatan di atas cukup untuk menjadi pertimbangan untuk mengubah keyakinan, dari yang belum siapa berubah jadi siap.
Jika dinalar dan logikakan, ya memang betul dalil pendekatan pertama bahwa memang ketika seorang menikah akan mendadak jadi kaya dan punya rumah dua. Satu rumah asalnya dan yang kedua rumah mertuanya.
Enak kaann, Ayo cepetan menikah ajaa. Jangan takut. Besok kalo sudah menikah jika nggak punya uang bisa jual rumah yang satunya. Rumahannya mertua. Wkwkw
Tapi sebagai anak mantu yang baik sudah di kasih ati ojo merogoh rempelo. Karena rempelo itu bisa bikin asam urat. Kalau sudah kena asam urat kamu nggak bisa maen bola di atas kasur lagi sama istri mu. Nggak bisa mengamalkan dalil biologi.
Oh ya, dalil biologi, memang dalam dalil biologi jika dikembangkan memiliki variabel dengan dalil ekonomi dan dalil religi, simak baik-baik saya jelaskan.
Tidak dipungkiri bahwa setiap orang pasti punya kebutuhan seksual yang perlu di salurkan. Tapi juga tidak boleh sembarangan. Dengan menyalurkan kebutuhan seksual pada panganya itu seorang juga melakukan tugas suci yang mulia apabila itu dilakukan di malam Jum’at. Tidak perlu repot-repot pergi ke Medan perang cukup berdua di kamar sudah sama dengan membunuh seribu orang kafir pahalanya.
Enak too..?? Makane cepet Nikah.
Selain itu dalam mempraktekkan dalil biologis juga menegaskan bahwa berkembang biak punya anak juga adalah kewajibannya sebagi generasi penerus agar tidak punah habitat kemanusiaannya.
Bahkan dalam pandangan yang lebih religius “banyak anak juga banyak rejeki” dan setiap anak yang dilahirkan membawa rejekinya sendiri, semuanya sudah ada yang ngantur, sebagai manusia tinggal menjalani aja.
Kayaknya udah mulai berani nih, untuk nikahin dia. Haha
Ya sudah, kalo sudah berani tancap gas, datangi bapaknya nikahin dia.
Yang pasti setiap kehidupan memiliki warnanya sendiri, aku bukan filsuf wajar kalau kata-kata ku kurang bijaksana. Baik belum dan sesudah menikah pasti ada kesedihan dan kebahagiaannya tersendiri.
Setiap pilihan ada alasan dan resikonya, menikah atau di tinggal nikah keduanya adalah pilihan, semua kembali kepada masing-masing.
Pesan tkerakhir untuk kaum yang belum berani menikah di seluruh dunia. “Kita se-kaum”.