Setengah enam pagi menjemputmu dari mimpi. Meski semalam kamu intim dengan begadang hingga larut pagi. Matamu masih mengantuk saat pagi-pagi dijenguk pesan whatsapp. Pesan dari bukan pacarmu yang baru-baru ini rutin menyambangimu setiap pagi.
Aku sudah bangun, sudah mandi. Begitu pesan whatsapp itu berbunyi. Pesan itu mirip laporan rutin pekerjaanmu di pabrik. Bedanya, pesan yang ini lumayan bikin kamu seyum-seyum sendiri pagi-pagi. Lantaran teringat sedapnya mie ayam yang kamu santap sore lalu.
Sama seperti hari sebelumnya, kamu ingin membalas pesan whatsapp itu dengan senyuman. Tapi sial senyuman itu tak dapat terkirim. Sebab paketan senyum di bibirmu telah habis tergilas rasa lapar.
Ingatan tentang mie ayam itulah yang membuat perutmu lapar. Dan rasa lapar di pagi hari hanya bisa dijinakkan oleh kue serabi. Kalau di Bojonegoro namanya serabeh. Itu yang dikatakan Kamidi, teman sekamarmu yang baru saja melek.
Wajah rembesmu itu telah rampung mandi saat kamu mengajak Kamidi keluar makan serabi. Namun pria bermata layu itu malas pergi. Ia masih terlihat nyaman bermesra-mesraan dengan selimut.
Kendati sungkan, Kamidi tak langsung menolak. Ia menawarkan ide lain yang dapat mengancam kami tak jadi pergi.
“Gimana kalau perginya jalan kaki?”
Kamidi tau, kamu dan rasa lelah adalah musuh bebuyutan. Hal itu tercermin dari postur bulatmu. Namun kali ini Kamidi terkecoh. Sebab, perutmu sudah terlanjur merengek minta serabi. Tanpa sedikit keraguan kamu pun mengiyakan ajakan basa-basi Kamidi.
Baca juga: Fiksi Akhir Pekan Lainnya
Sebelum berangkat, Kamidi melancarkan usaha terakhir untuk menggagalkan rencana nyerabi. Ia mengajakmu pergi bertelanjang kaki dengan dalih kesehatan. Namun lagi-lagi usaha itu gagal. Kamu kembali menyetejui bujukan Kamidi yang tak elegan itu.
Sungguh hujan semalam begitu marah. Jalanan Panglima Polim sembab dibuatnya. Jalanan berjerawat itu penuh dengan kubangan-kubangan air. Nampak beberapa kali tapak kakimu mencium kubangan. Sementara Kamidi sibuk menggerutui nihilnya fasilitas pejalan kaki di sepanjang jalan Panglima Polim.
Gerutu Kamidi tak berhenti disitu saja. Kali ini ia sambat melihat senyum-senyum poster dan baliho yang berbaris di pinggir jalan. Ia merasa poster dan baliho berlatar warna-warni itu mencibirnya. Lantaran telah beberapa kali ia hampir terserempet kendaraan hingga masuk kubangan.
Kamidi memang seseorang yang kritis. Ia kerap berkelahi dengan birokrasi yang dianggapnya cacat. Pernah suatu kali ia menantang seorang oknum pejabat yang dianggapnya korupsi. Dengan penuh keberanian, Kamidi memaki dan menempeleng pejabat korup itu di twitter.
Melihat Kamidi kesal, kamu menawarkan redam. Dan senjata paling ampuh untuk meredam kekesalan Kamidi ada di dalam tas ranselmu. Itu adalah sebuah kamera tipe mirrorless. Dan amarah penggerutu sekelas Kamidi tidaklah sukar untuk dijinakkan.
Kamidi memang lekat dengan kata narsis. Sebelum kamu sempat menawarkan berfoto, ia sudah bergaya di bawah pohon pepaya. Rencananya foto-foto itu hendak ia susun di halaman instagram miliknya. Toh, memang ia seorang selebgram kondang di Bojonegoro.
Berfoto dan berjalan kaki memang resep ampuh untuk mengecoh waktu. Tanpa kamu sadari langkahmu telah mencapai warung serabi. Warung dekat kali ini rumornya memiliki rasa serabi terbaik di Bojonegoro. Rumor itu beredar dekat dengan telingamu. Sebab orang yang menyebarkannya sedang berjalan didekatmu.
Perihal serabi memang layak dinanti. Kamu dan Kamidi tak sabar lagi mencicipi menu ideal sarapan pagi tersebut. Setelah cukup menghela napas, kamu mendekat ke bibir warung. Ketika tiba-tiba seseorang dari dalam warung mengumumkan : “Serabinya habis, Mas.”