Dalam konsep Pencipta Peristiwa, ada atau tanpa perpustakaan, buku harus tetap digerakkan. Sebab, merekalah esensi perpustakaan itu sendiri.
Seandainya Jorge Luis Borges masih hidup, mungkin dia bakal kaget. Sebab saat ini, perpustakaan bisa diakses dan dikunjungi tanpa harus memaksa kaki untuk berjalan. Kepingan surga ada di mana-mana, Mbah Borges.
Jorge Luis Borges, penulis, penyair dan maestro pustakawan asal Argentina itu pernah bilang: saya membayangkan surga itu seperti perpustakaan. Dan saat ini, sesungguhnya, pepustakaan amat mudah ditemui via internet.
“Internet merupakan perpustakaan yang paling besar,” begitu kata Nirwan Ahmad Arsuka dalam diskusi bertajuk Peran Pegiat Literasi dalam Meningkatkan Literasi Masyarakat pada Rapat Koordinasi Perpustakaan Nasional di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (26/2).
Borges tentu amat senang andai bisa bertemu Nirwan Ahmad Arsuka. Selain Mas Nirwan amat mengagumi Borges, setidaknya ucapan Mas Nirwan memudahkan orang lain memahami konsep “perpustakaan adalah surga” yang pernah diucap Borges.
Surga, kita tahu, adalah tempat nyaman yang sulit dijangkau, yang untuk menjangkaunya, butuh upaya-upaya istimewa. Begitupun, zaman Borges masih hidup, kemudahan akses informasi bukan perkara yang mudah dijangkau. Sehingga, tak berlebihan jika Borges menganalogikannya sebagai surga.
Nah, saat ini, zaman ketika akses informasi dan buku-buku bisa dengan mudah bisa dicari, tentu serupa kemudahan menuju sesuatu yang oleh Borges disebut “surga” tadi.
Nirwan menyatakan, saat ini perpustakaan telah mengalami revolusi. Perpustakaan bukan lagi bangunan statis yang menawarkan jarak untuk dikunjungi. Perpustakaan, sesungguhnya bisa diakses tanpa memindah posisi tempat duduk.
Lebih dalam dia menjelaskan, teknologi internet dapat menyebarkan informasi ke seluruh dunia dengan cepat. Vice versa, fitur mesin pencarian (search engine) memudahkan manusia untuk mencari referensi bacaan bermutu.
Kita tentu sudah bisa merasakan betapa mudahnya mencari referensi. Mencari biografi penulis, hingga mencari buku-buku berkualitas melalui internet. Bahkan melalui internet, kita tak hanya bisa mencari buku, tapi juga mencari perpustakaan itu sendiri.
Internet adalah perpustakaan dalam kosmos yang lebih luas. Hanya, untuk mau mencari bahan referensi atau tidak, tentu urusan yang berbeda. Sebab kita tahu, teknologi hadir dengan beragam goda yang kerap membikin mata kita lupa betapa nikmatnya proses membaca.
Tapi setidaknya, internet memicu perpustakaan tak lagi terbatas pada ruang. Fungsi perpustakaan dapat diperluas, terlebih dengan adanya jaringan relawan pustaka, sehingga gerakan literasi bisa merambah ke seluruh wilayah negeri.
Esensi perpustakaan, kata Nirwan, tak hanya ruang berisi buku. Tapi juga kegiatan membaca, mendongeng, atapun belajar bersama. Alih-alih gedung gagah nan angker. Perpustakaan, harus dibentuk oleh kegiatan, bukan dengan gedung.
Karena itu, para penggiat literasi juga harus mulai bergerak. Karena begitu banyak anak-anak yang haus akan bacaan, namun tidak memiliki bahan bacaan sehingga seolah minat baca minim. Padahal tidak.
Ya, saya ingin mempertegas apa yang diucap Mas Nirwan. Bahwa perpustakaan bukan sebuah gedung berisi buku. Melainkan kegiatan membaca. Sebab, gedung perpustakaan tanpa kegiatan membaca serupa negara tanpa rakyat.
Konsekuensi dari perpustakaan yang bukan hanya bangunan gedung, adalah pustakawan yang kompeten. Bukan lagi pegawai berseragam yang saat ditanyai soal buku, justru bertindak lucu dan mengoper pertanyaan ke orang lain di sebelahnya, demi menutupi ketidakpahaman mereka.
Revolusi perpustakaan harus diimbangi dengan revolusi pustakawan. Pustakawan hari ini adalah mereka yang mampu mencipta peristiwa. Alih-alih pegawai berseragam yang hanya tahu letak rak judul buku, tapi tak paham apa-apa.
Perpustakaan bukan sebuah gedung berisi buku, melainkan kegiatan membaca. Sebab, gedung pustaka tanpa kegiatan membaca, serupa baju tanpa tubuh di dalamnya.
Perpustakaan tanpa pustakawan adalah rumah kosong. Sedang pustakawan tanpa perpustakaan adalah pengangguran. Hal ini, tentu beda dengan para Pencipta Peristiwa: ada atau tanpa perpustakaan, buku harus digerakkan.
Beruntunglah, Indonesia memiliki para penggiat literasi yang melabeli diri sebagai Pencipta Peristiwa. Mereka tak bergantung pada perpustakaan. Tapi mau dan mampu menggerakkan, mendongengkan, dan memicu peristiwa dari sebuah buku.
Nabs, Rapat Koordinasi Perpusnas 2020 mengambil tema ‘Inovasi dan Kreativitas Pustakawan dalam Penguatan Indeks Literasi untuk Mewujudkan SDM Unggul Menuju Indonesia Maju’, berlangsung selama 3 hari, 25-27 Februari 2020 di Hotel Bidakara, Jakarta.
Dalam agenda tersebut, diikuti sekurang-kurangnya 1.500 pemangku kepentingan, baik dari pemerintah pusat, daerah maupun penggiat dunia literasi dan perpustakaan di seluruh Indonesia.