Salah satu ciri khas dari restoran cepat saji adalah budaya self service atau melayani diri sendiri. Secara kontekstual, self service diartikan sebagai kegiatan mengantre, memilih makanan, membayar hingga membersihkan sampah makanan secara mandiri di restoran cepat saji.
Jika kamu gemar makan di restoran cepat saji, ada banyak hal yang wajib kamu lakukan. Contohnya saat berada di depan kasir. Di situ, kamu dipastikan melakukan beberapa hal sekaligus.
Mulai dari antre, memilih makanan, membayar langsung menu makanan yang dipilih, berdiri menunggu makanan disiapkan, hingga membawa sendiri nampan atau baki yang sudah berisi makanan menuju meja.
Ini tentu berbeda dengan jenis restoran lain. Mari ambil contoh restoran atau rumah makan keluarga. Jika pergi ke restoran keluarga, kamu tinggal menuju tempat makan yang sudah disediakan. Nantinya, karyawan resto akan menghampiri dan memberi buku menu.
Kamu tinggal memilih menu yang diinginkan tanpa harus berdiri dan bingung antre. Ditungguin pula sama karyawan yang siap mencatat semua pesanan. Kamu bisa memilih makanan dengan super santai, tanpa harus gugup kelamaan milih seperti saat antre di depan kasir restoran cepat saji.
Ketika menunggu makanan dimasak, kamu juga tak perlu berdiri lama. Tinggal duduk atau gelimbungan saja. Nanti, karyawan atau pegawai restoran akan mengantarkan semua pesanan langsung ke meja.
Itu tadi perbedaan yang cukup mendasar dari bagaiamana pelayanan di reatoran cepat saji dan restoran atau rumah makan keluarga. Sudah bisa memahami definisi self service di restoran cepat saji kan, Nabs?
Jika berbicara lebih jauh lagi, self service di restoran cepat saji ini juga berlaku setelah kamu selesai makan. Pada budaya aslinya, ketika selesai makan di restoran cepat saji, kamu “diminta” untuk membersihkan sendiri sampah dan sisa makanan bekas yang baru saja dimakan.
Selain itu, kamu juga “diminta” untuk mengembalikan nampan atau baki yang digunakan sebelumnya. Umumnya, ada satu tempat yang telah disediakan oleh pengelola restoran cepat saji untuk mengembalikan nampan.
Agak repot juga ya, Nabs makan di restoran cepat saji. Namun, apa sih latar belakang penerapan sistem self service di restoran cepat saji?
Usut punya usut, penerapan self service ini konon disebabkan oleh terbatasnya jumlah karyawan. Dulu, seorang karyawan bisa melakukan beberapa tugas sekaligus. Mulai jadi kasir, pembersih meja, hingga menyiapkan makanan. Karena itu, self service diterapkan untuk mempermudah dan membantu kerja si karyawan yang kadang kerjaannya tumpuk-tumpuk.
Di sisi lain, konon gaji dari karyawan restoran cepat saji tak sebanding dengan berbagai macam hal yang mereka kerjakan. Apalagi para karyawan tersebut bekerja dengan intensitas yang sangat tinggi. Itu bisa kamu lihat dari suasana di beberapa restoran cepat saji di kota-kota besar macam Jakarta, Surabaya, Bandung atau Bali.
Di negara-negara barat, budaya self service ini sudah sangat lumrah. Namun di Indonesia, agaknya cukup sulit untuk menerapkan budaya satu ini. Sehabis makan, orang-orang Indonesia masih sering saja meninggalkan sampah dan sisa makanan seenaknya di meja atau nampan.
Mungkin, mereka masih terpaku dengan pikiran “kan ada karyawan yang udah dibayar untuk bersihin meja”.
Budaya self service mungkin masih sulit diterapkan di Indonesia. Tapi bukan berarti tak bisa dicoba. Bukan begitu, Nabs?