Pejabat tak hanya dituntut ahli Mauidhah Hasanah yang berapi-api dalam meneriakkan nasionalisme, tapi juga harus jadi Uswatun Hasanah yang etika dan ucapannya dapat dicontoh masyarakat luas.
Beberapa waktu lalu berhembus isu bahwa akan adanya ‘kudeta’ terhadap kepemimpinan sah dari Partai Demokrat, Nabs.
Isu tersebut bergulir dan adanya indikasi bahwa segelintir senior Partai Demokrat beserta pejabat negara yang dekat dengan pemerintahan akan melakukan ‘kudeta’ yang dilancarkan melalui Kongres Luar Biasa (KLB).
Tanggal 5 Maret 2021, tepatnya pada Hari Jumat KLB Partai Demokrat dilaksanakan di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Seperti dugaan, indikasi, serta prediksi sebelumnya, nama Moeldoko akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB di Deli Serdang.
Terlepas pro-kontra serta problematika yang menyertainya, namun ada satu sisi yang ingin penulis analisis dalam tulisan ini yaitu berupa aspek etika konstitusi, mengingat Moeldoko hingga saat ini masih menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan Indonesia sejak 17 Januari 2018.
Sebagai pribadi, tentunya sah-sah saja jika Moeldoko memiliki keinginan untuk memimpin suatu partai politik, terlebih lagi melakukan segala upaya (termasuk KLB) untuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
Namun yang perlu digaris bawahi, bahwa Moeldoko juga mengemban amanah sebagai salah satu pejabat di Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, yaitu sebagai Kepala Staf Kepresidenan.
Adanya jabatan Kepala Staf Kepresidenan di pemerintahan inilah yang menyebabkan setiap tindakan, perilaku, bahkan langkah-langkah yang dilakukan Moeldoko tidak boleh dilaksanakan secara seenaknya dan serampangan.
Setidaknya, menurut hemat penulis, tindakan Moeldoko maupun pejabat negara lain akan dipersepsikan oleh masyarakat menjadi dua hal, yaitu: pertama, sebagai pejabat negara, tentunya tindakan, perilaku bahkan ucapan Moeldoko bisa dianggap sebagai representasi pemerintah.
Sehingga tidak heran jika kemudian ada yang menduga bahwa tindakan Moeldoko merupakan instruksi, perintah, atau telah mendapat ‘restu’ dari Presiden.
Kedua, jabatan tinggi serta strategis di pemerintahan membuat Moeldoko layak menjadi teladan, contoh, bahkan uswatun hasanah bagi masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa tindakan buruk bahkan tidak etis yang misalnya dilakukan oleh Moeldoko bisa berpengaruh terhadap stigma dan tindakan masyarakat di akar rumput.
Berdasarkan dua persepsi masyarakat akan tindakan seorang pejabat negara tersebut, maka seyogianya Moeldoko wajib dan harus menjaga tindakan dan perbuatannya, supaya tidak ada persepsi “miring” masyarakat terhadap pemerintah serta pejabat yang bersangkutan (termasuk Moeldoko) dapat menjadi teladan di masyarakat.
Layaknya manusia biasa, tentunya selain sebagai pejabat, Moeldoko juga memiliki motif dan urusan pribadi yang tidak serta merta dapat dikaitkan dengan jabatannya di pemerintahan.
Meski begitu, masyarakat sebagai khalayak dan penikmat informasi dari berbagai media tidak dapat dipersalahkan jika ada persepsi ‘buruk’ tentang KLB Partai Demokrat yang memenangkan Moeldoko sebagai ketua umum.
Misalnya saja masyarakat boleh saja berpendapat bahwa ‘Apakah kepemimpinan Moeldoko di Demokrat didukung atau setidak-tidaknya direstui oleh Presiden Jokowi?’, hal itu tentu lumrah dan wajar mengingat salah satu pilar dari demokrasi adalah adanya kebebasan berpendapat.
Dengan demikian, masyarakat tentunya akan melihat secara general dan mencampuradukkan antara ‘Moeldoko sebagai pribadi’ dan ‘Moeldoko sebagai pejabat negara’.
Oleh karena itu, meski memiliki urusan pribadi, Moeldoko tidak boleh melakukan tindakan semaunya sendiri dan harus taat terhadap norma hukum dan norma etika sekaligus.
Jimly Asshidiqie secara tegas menegaskan bahwa pentingnya ketaatan terhadap etika konstitusi (constitutional ethics) sama pentingnya dengan ketaatan terhadap norma konstitusi (constitutional norm).
Oleh karenanya, pascareformasi kedudukan UUD NRI 1945 tidak dapat semata-mata ditempatkan sebagai norma hukum tertinggi, melainkan juga sebagai norma etika tertinggi.
Dengan demikian, UUD NRI 1945 layak didudukkan sebagai the higher law and ethics of the land.
Dalam TAP MPR No. VI/MPR/2001 TAHUN 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang sampai saat ini masih berlaku adanya penegasan bahwa sebagai pejabat publik selain wajib taat dan menjunjung tinggi hukum juga wajib taat, melaksanakan, serta menjunjung tinggi etika berbangsa dan bernegara.
Hal ini dikarenakan pejabat publik dianggap sebagai orang ‘istimewa’ karena selain memiliki kekuasaan juga menjadi teladan serta contoh bagi masyarakat luas.
Oleh karena itu, pejabat negara tidak hanya dituntut untuk menjadi ahli mauidhah hasanah yang berapi-api dalam meneriakkan jargon anti korupsi, jargon cita-cita partai, serta kalimat retoris yang meyakinkan lainnya.
Pejabat negara juga dituntut menjadi uswatun hasanah yang tindakan dan ucapannya dapat menjadi contoh dan mencerahkan bagi masyarakat luas.
Terkait dalam kasus KLB dan ‘potensi’ kudeta Partai Demokrat oleh Moeldoko dan kelompoknya, sebagai pribadi tentunya itu adalah tindakan yang boleh saja dilakukan oleh Moeldoko.
Namun, mengingat kedudukan Moeldoko sebagai pejabat negara (dalam hal ini Kepala Staf Kepresidenan) tentunya tidak etis jika harus mengupayakan jabatan ketua partai politik dengan jalan dan jalur kontroversial.
Lain lagi jika Moeldoko menunda keinginannya dan menyiapkan momentum yang tepat sehingga tidak terkesan adanya ‘kudeta’ Partai Demokrat yang direstui bahkan disponsori oleh pihak istana.
Oleh karena itu, terdapat dua harapan penulis dari tulisan ini, yang pertama, bagi pejabat publik (tidak hanya untuk Moeldoko) seyogianya selain menaati dan menjalankan aturan hukum (rule of law) yang ada, juga harus menaati dan menjalankan norma etika (rule of ethics) secara bersamaan.
Sehingga, pejabat publik dapat menjadi teladan atau setidak-tidaknya dapat mencerahkan masyarakat umum.
Kedua, ke depan solusi hukum perlu diberikan berupa aturan secara expressive verbis di level Undang-Undang bahwa bagi Menteri dan pejabat setingkat Menteri dilarang merangkap jabatan menjadi ketua umum partai politik untuk menghindarkan adanya konflik kepentingan.
Semoga saja, eksistensi norma hukum tidak dijauhkan dengan keberlakukan norma etika.
Nabs, karena sejatinya hukum itu berjalan di samudera etika dan jika samudera etika kering dan tercemar, maka hukum akan terhambat dalam melakukan perjalanan panjang menuju ‘pulau keadilan’ yang dicita-citakan.