Volume otak Homo Sapiens telah mengalami penyusutan sebanyak kurang lebih 10%. Jangan-jangan ini yang membuat kita mudah emosian?
Tiap zaman, volume otak manusia mengalami penyusutan. Penyusutan ini justru menjadi kebalikan dari evolusi manusia selama jutaan tahun sebelumnya (meskipun otak kita masih tiga kali ukuran normal untuk primata, dibandingkan dengan berat tubuh).
Para antropolog meneliti ukuran otak berdasarkan endocranial volume atau volume ruang dalam tengkorak otak manusia yang sudah meninggal.
Dari penelitian panjang dan membutuhkan waktu cukup lama ini, mereka menemukan bahwa tengkorak tertua, yang mewakili nenek moyang kita, yakni Sahelanthropus dan Ardipithecus, memiliki volume sekitar 350ml. Jika diurut sejak leluhur kita tadi, sekitar 4-2 juta tahun yang lalu, pendahulu kita memiliki volume otak yang terus meningkat.
Sebut saja spesies Australopith (Lucy) dengan volume 500ml, 1 juta tahun yang lalu Homo Erectus dengan volume 1.000ml, dan sekitar 130.000 tahun yang lalu yaitu Homo Neanderthals 1.172ml-1.740ml, serta Homo Sapiens 1.090ml-1.175ml.
Namun perlu menjadi catatan bahwa postur tubuh kita secara substansi tidak jauh berbeda sejak era Homo Erectus meskipun ada perluasan volume otak.
Dimulainya Penyusutan
Pada tahun 1988 sebuah Jurnal Biologi Manusia menerbitkan hasil penelitiannya yang menganalisa lebih dari 12.000 volume tengkorak Homo Sapiens dari Afrika Utara dan Eropa yang menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan sekitar 10% (157ml) pada laki-laki dan 17% (261ml) pada perempuan. Penurunan tersebut ternyata juga terjadi di belahan dunia lain termasuk Sub-Sahara Africa, Asia Timur, dan Australia.
Adanya penurunan ini ditengarai oleh para geolog terjadi setelah Zaman Es berakhir dan masuk ke Zaman Holosen dengan kondisi alam yang lebih nyaman dan relatif stabil. Pola ini dikenalkan pertama kali di akhir tahun 1980an dengan beberapa penjelasan.
Ada yang mengatakan bahwa Zaman Es memungkinkan tubuh leluhur kita besar dan kekar untuk bertahan hidup, namun di Zaman Holosen yang lebih nyaman dan suhunya stabil, tubuh yang seperti itu tidak terlalu dibutuhkan sehingga lambat laun mengecil. Namun pernyataan tersebut dibantah oleh John Hawks yang menyebutkan bahwa narasi penyusutan otak terlalu rumit jika dibandingkan hanya dengan pengecilan bentuk tubuh.
Peneliti lain juga menemukan fakta bahwa meskipun otak manusia modern hanya 2% dari total berat badan kita, namun konsumsi energinya mencapai hampir 25% dari total energi yang masuk ke tubuh.
Di sisi lain ada anggapan bahwa dengan ditemukannya alat penyimpan ingatan eksternal yang terus berkembang (seperti lukisan di gua hingga memori digital), memungkinkan manusia dapat melepaskan beban ingatan sebagian besar otak sebagai media penyimpan ingatan.
Hipotesis
Namun hipotesis yang mungkin lebih masuk akal adalah bahwa kita mendomestikasi diri kita sendiri. Istilah ini datang dari pemahaman kita dari domestikasi hewan liar yang kita jinakkan sehingga adanya perubahan pola perilaku dan fisik seperti sapi, kambing, ayam, dan lainnya yang memilik perbedaan kebiasaan hingga penyusutan otak.
Peneliti menyebutnya dengan Sindrom Domestikasi yang bekerja pada gen dan hormon yang sama seperti makhluk lainnya. Manusia secara selektif memilih hewan mana yang terbaik untuk diternak sebagai upaya hewan peliharaan maupun sebagai cadangan makanan di masa depan.
Hipotesis Domestikasi Mandiri tersebut dicetuskan oleh seorang antropolog bernama Brian Hare yang menyebutnya dengan istilah” Survival of The Friendliest”. Dia menambahkan bahwa kita melakukan itu pada diri kita sendiri.
Ide lanjutan dari hipotesis tersebut adalah manusia di Zaman Batu (berakhir sekitar 4.500-2.000 tahun sebelum Masehi) yang memiliki karakter sosial tinggi, kesempatan hidupnya lebih besar daripada yang tangkas dan agresif.
Kecenderungan tersebut dipengaruhi oleh faktor gen dan hormon sehingga berakibat pada bentuk fisik termasuk ukuran tubuh dan otak. Pada akhirnya Survival of the Friendliest berpihak pada manusia yang memiliki tubuh dan otak yang ramping dengan karakter sosial dan kerjasama kolektif daripada yang memiliki ketangkasan individu.
Meskipun secara individu leluhur kita memiliki kemampuan yang hebat soal bertahan hidup dengan otaknya yang lebih besar, kerjasama kolektif manusia sosial yang memiliki tubuh dan otak lebih ramping memiliki kesempatan lebih besar untuk lestari karena mereka mampu bekerjasama dengan mengerjakan tugas khusus secara maksimal dibandingkan manusia individu yang hanya mampu mengerjakan semuanya.
Coba bayangkan, leluhur kita dulu satu keluarga saja mampu membuat rumah, tetapi sekarang kita perlu banyak disiplin ilmu dan beberapa orang untuk mengerjakan bagian khusus dalam membuat rumah. Namun coba tebak, rumah mana yang lebih modern?