Bojonegoro memiliki Rp6,2 triliun anggaran belanja tahun ini. Bayangkan kalau ibu-ibu pegang uang sebanyak itu buat belanja. Pasti keluarganya sehat. Beli sayur, daging, dan susu setiap hari.
Tapi, ya, ini bukan rumah tangga, ini Pemerintah Kabupaten. Anggaran Belanja tahun lalu bahkan Rp6,4 triliun. Nilai tersebut menempatkan Kabupaten Bojonegoro sebagai daerah terkaya nomer 3 se-Indonesia. Seperti dirilis Poverty Resource Center Initiative (PRCI) pada 31 Desember lalu.
Menurut peneliti PRCI, AW Syaiful Huda, Bojonegoro menempati urutan ketiga setelah beda tipis sama Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bogor di urutan pertama dengan APBD murni sebesar Rp7,6 triliun.
Sebagai warga Bojonegoro, tentu saya bangga. Sebagaimana gaya bangganya kalau bangga orang tajir. Serupa mlete. Wong sugih, rek! Orang kaya baru alias OKB.
Yup. Baru. Uang Bojonegoro saat ini hampir 15 kali lipat uang belanja 2004 lalu. Kenapa saya bandingkan dengan 2004? Karena ternyata faktor sugih-nya kita itu karena migas, dan 2004 belum ada.
Baca juga:
5 Fakta Yang Harus Kamu Ketahui Tentang Migas di Bojonegoro
Kebetulan tahun-tahun terakhir ini adalah puncaknya produksi minyak di Bojonegoro. Bahkan Bojonegoro berkontribusi sampai lebih dari 30 persen produksi minyak nasional. Bayangkan betapa besar anugerah ini.
Celakanya, minyak adalah sumber daya alam tidak terbarukan. Sekalinya diambil, seketika habis, tidak akan ada lagi. Tidak seperti kekayaan hutan, pangan, atau industri perdagangan. Minyak tidak akan berkembang, meski bisa mencari sumber lain.
Artinya. Saat minyak ini habis. Kita bisa miskin lagi. Kaya mendadak, miskin pun sekelebatan cahaya. Mungkin ini tidak akan lama lagi. Karena minyak di Blok Cepu yang kepala sumurnya di Bojonegoro sudah mulai stagnan, dan tidak lama lagi akan terus turun.
Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Julius Wiratno memperkirakan pertengahan 2021 ini minyak Blok Cepu akan terus turun. Seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Sah! Kita akan miskin lagi. Hiks.. ngga isa mlete maneh. ~
Tapi tenang. Kita belum kaya-kaya amat kok. Buktinya angka kemiskinan masih tinggi. Meskipun dulu kita pernah masuk 10 besar di Jawa Timur. Sekarang sudah turun lagi lho. Jadi lebih miskin di urutan ke-11.
Ibaratnya begini: Banyak uang buat belanja dan harus habis tiap tahun. Sedangkan rumah masih butut, makan masih sulit, dan belum punya penghasilan tetap. Sehingga, si ibu dan si bapak harus cermat dan bijak dalam belanja.
Jangan belanja baju dulu, apalagi foya-foya hiburan. Dandan rumah boleh saja, tapi seperlunya saja asal sehat dan nyaman ditempati. Perbanyak investasi di alat produksi dan belajar mengoperasikannya. Supaya kelak ketika uang transferan habis, kita bisa produktif. Bisa dagang dan berkembang.
Baca juga:
Membangun Bojonegoro Dengan Paragdigma Tiga Ibu
Memang enak sih tinggal di rumah mewah. Pasti kita bangga. Tapi kalau uang transferan sudah habis, apa bisa kita tahan lapar dalam rumah mewah? Akhirnya rumah rusak, anak-anak melarat.
Ilustrasi ini tentu sangat serampangan. Nggak pakai logika pembangunan yang akurat. Pasti akan banyak bantahan dari bapak dan ibu pembangunan. Tapi dengan begini kita bisa lebih waspada. Karena kalau tidak ada lagi sumber daya, ekonomi kita akan hancur. Harga properti turun lagi, daya beli semakin rendah, pembangunan mandeg.
Alat produksi utama Bojonegoro apa sih? AW Syaiful Huda menjawab: Pertanian.
“Lalu mengapa sektor pertanian? Karena perekonomian basis masyarakat Bojonegoro hingga saat ini masih sektor pertanian. Ada lebih dari 60 persen rumah tangga di Kabupaten Bojonegoro yang bekerja di sektor pertanian,” ungkap Awe seperti dikutip dari prc-initiative.org.
Kabar baiknya, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro sedang merencanakan pendirian Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) khusus pertanian. Meski alokasi dananya tidak seberapa. Tapi semoga menjadi cikal bakal alat produksi Bojonegoro yang cukup efektif.
Sehingga Bojonegoro masih terus menjadi kabupaten terkaya. Kaya harta, kaya ilmu, kaya budaya. Dan semoga tidak sombong (lagi).