Mereka yang melihat segala sesuatu berdasar sisi eksoteri (tampak) saja, seperti seseorang yang menguliti struktur bawang merah; dibuka lapisan kulit pertama, masih ada kulit lagi. Lalu dibuka terus hingga tak menemukan apapun, tapi mata terasa pedas dan air mata mengucur deras.
Struktur bawang merah membuktikan bahwa mereka yang mudah kagum pada sesuatu, akan mudah menangis karena kecewa di kemudian hari. Sebab hanya mengandalkan perkara yang tampak, tapi kerap menyepelekan perkara yang tidak tampak.
** **
Sudah direng-reng dalam pikiran, apa yang akan dibeli setelah tiba di pasar. Kenyataannya, berujung sampai rumah ada yang ketinggal tidak kebeli. Nyesel, sebel, nggrundel bukan main. Ketinggalan satu bumbu, tentu goal akhir masakan kurang mantaaapsss.
Kira-kira apa nih, Nabs? Yang lupa tidak aku beli. Ya, ya, ya, bawang merah, Nabs. Kamu-kamu pasti tahu bawang merah kan. Ketinggalan beli saja, rasanya kezeellll abiss.
Memang bawang merah bisa dikatakan bumbu masakan paling vital setelah cabai. Ketika tidak ada, semua akan bingung mencari dan membeli.
Menulis bawang merah, membawa ingatan saya membidik masa lalu, saat pertamakali memegang pisau untuk mencincang bawang merah. Baru dapat dua siung rasanya udah blepotan tangis, kadang seringnya ngomel sendiri sebab perihnya nyuwun ampun.
Kupikir relasi manusia dengan manusia saja yang bisa menimbulkan kejahatan dan tangis air mata. Ternyata, bawang merah juga membawa kejahatan, sial sekali. Nyata-nyata menangis-nangiskan banyak perempuan. Sering dan bahkan tak bosan perempuan nangis sebab bawang merah.
Semacam apa ya? Bawang merah itu pelaku pertama yang membuat perempuan menangis sendu-sendu di belakang rumah sambil misek-misek, sebelum akhirnya si perempuan dibuat menangis beneran sama lelakinya. Eh, kalau punya lelaki sih. Hahaa
Sejomblo-jomblonya perempuan akan menangis pada waktunya, merasakan duka perih pada akhirnya, dan merasakan misek-misek tangis sambil ucek-ucek mata saat keperihan. Belum pernah merasakan? cobain aja ngirisi brambang ~
Heran sekali. Padahal, kita tahu, bawang merah selalu membangkitkan emosi dan amarah bagi praktisi dapur, utamanya praktisi pemula seperti saya ini. Saat dicincang-cincang, ia membawa luka tangis yang amat… Huft!
Sudah tangis, mendalam pula. Kek apa tuh, udah tahu bikin nangys, masih aja dikejar ibuk-ibuk tiap pagi hari. Tukang sayur maksudnya yang dikejar? Bukan, tapi bawang merahnya. Hehe
Hemm aneh bukan? Kenapa nggak lebih milih bawang putih aja sih? Yang nyata-nyata baik hati, rendah hati dan tidak jahat (tidak membawa tangis) itu.
Jadi ingat sinetron Bawang Merah Bawang Putih nggak, Nabs. Dalam sinetron itu, bawang merah berperan angkuh, sombong, dan jahat terhadap bawang putih yang rendah hati, sederhana dan penurut.
Bisa jadi, itu alasan kenapa penggunaan bawang putih dalam masakan tak semenonjol dan cenderung tenggelam dibanding bawang merah. Sebab, bawang putih itu rendah hati dan tidak tamak.
Tapi, itu tadi jawaban asal-asalan aja sih, Nabs hehe. Yang agak beneran tuh gini: menurut chef Bara Raoul Pattiradjawane, prosentase bawang merah dan bawang putih dalam sebuah masakan itu sesungguhnya vice versa. Sama.
Hanya, penggunaan bawang putih memang tak dianjurkan terlalu banyak, karena bawang putih memiliki aroma lebih kuat. Penggunaan bawang putih yang terlalu banyak, memicu aroma bawang putih pada masakan terlalu menyengat. Alhasil, penggunaan bawang merah lebih dominan.
“Untuk semua jenis masakan, perbandingan bawang merah dan bawang putih adalah 2 : 1,” jelas chef Bara seperti dikutip dari Kompas.
Filosofi Bawang Merah dan Bawang Putih
Mereka yang melihat segala sesuatu berdasar sisi eksoteri (tampak) saja, seperti seseorang yang menguliti struktur bawang merah; dibuka lapisan kulit pertama, masih ada kulit lagi. Lalu dibuka terus hingga tak menemukan apapun, tapi mata terasa pedas dan air mata mengucur deras.
Jangan heran, mereka yang mudah kagum pada sesuatu (melalui pandangan mata), akan mudah menangis karena kecewa di kemudian hari. Sebab ia hanya mengandalkan perkara yang tampak, dan menyepelekan perkara yang tak tampak.
Sedang mereka yang menengok segala sesuatu melalui pandangan esoteri (tak tampak), ia seperti seseorang yang menguliti struktur bawang putih. Sekali kulit dibuka, ia langsung menemukan esensi hikmah yang bisa dipetik sebagai pembelajaran hidup.
Mereka yang tak mudah kagum pada tampilan visual, lebih kuat mencerna makna hidup. Sebab yang jadi pertimbangan bukan sekadar yang tampak. Tapi sesuatu yang tak tampak pun, benar-benar direnungkan.
Percayalah, mereka yang melihat segala sesuatu hanya bermodal pandangan eksoteri, seperti seseorang yang mengupas bawang merah. Sedang mereka yang melihat dengan pandangan esoteri, seperti mengupas bawang putih.