Bahkan, jauh-jauh hari sebelum Didi Kempot datang ke Bojonegoro, ia berpesan dengan bijak: Ning kepriye maneh mergo kahananku, cah MU entenono tekaku!!
** **
“Budal pol ngarep, ayo ambyar bareng-bareng, Pak.” Kata seorang kawan kepada saya. Dia bersiap menginternalisasi kesedihan di dalam tubuhnya bersama jamaah Al- Ambyariyah pimpinan Imam Besar of Broken Heart, Didi Kempot.
Kawan saya tadi, tentu pendukung MU. Sebut saja namanya Mawar. Ya, nama lengkapnya Mawar Utama. Dia bersama sejumlah kawan lain telah bersiap mengambyarkan diri sejak beberapa hari lalu.
Nabs, Lord Didi Kempot, the Godfather of Broken Heart, datang ke Alun-alun Bojonegoro malam ini (23/12). Tentu saja, itu amat menyenangkan bagi mereka yang sudah tak sabar ingin merasakan atmosfer kesedihan secara kolektif. Lebih tepatnya, menyamarkan kesedihan personal ke ruang yang lebih lebar.
Dalam sepekan terakhir, misalnya, bermacam subliminal message tentang ke-ambyaran mulai mengisi celah-celah kaos oblong masyarakat Bojonegoro. Mereka semacam mempersiapkan diri untuk mengikuti gempuran rasa sedih secara berjamaah.
Masyarakat biasa hingga hehe para pejabat daerah pun, ikut memproduksi kaos berlabel ambyar, lalu dengan kemurungan seorang lelaki patah hati, mereka memposting ajakan ambyar serupa memposting ajakan untuk kerja bakti.
Saya amat senang ketika fenomena ambyarisme muncul ke permukaan. Setidaknya, mereka yang hipster, indie, underground, koplo, hingga pop mainstream, mulai bersatu padu mencintai ploduk-ploduk Indonesia dengan menikmati lagu Mixed Sari.
Mereka yang awalnya tak paham malu-malu gemez terhadap lagu Jawa, mulai kembali membuka Pepak Basa Jawa demi tak ketinggalan informasi perkara lagu-lagu terkini. Lagu-lagu yang justru dikagumi masyarakat muda kiwari.
Selain itu, lagu-lagu Didi Kempot juga terbukti menjadi pemersatu kelas. Mereka yang urban proletar dan rural borjuis pun, bisa sama-sama menyukai lagu-lagu sedih berbahasa Jawa yang saat didengarkan memunculkan unsur Kafka-esque tersebut.
Sumber daya kesedihan memang menjadi produk paling laris di era digital. Sebab, rasa sedih bisa dengan mudah menemukan teman. Kesedihan tak dirasakan sendiri. Ia bisa dengan mudah menemui ruang solidarity.
Di bawah pimpinan Imam Besar Didi Kempot, mereka yang bersedih diberi ruang berteriak secara berjamaah. Sehingga derajat teriakan pun lebih tinggi. Mengingat, ibadah sedih yang dilakukan secara berjamaah, 27 derajat lebih ringan dibanding mereka yang mengerjakan sendirian.
Ruang Ambyar bagi Pendukung MU
Bukan Jurnaba jika mengaitkan ambyar hanya dengan patah hati. Sebab, selain mainstream juga amat membosankan. Toh karma tetap berjalan meski tanpa dituliskan. Sebab tiap drama pasti memicu karma yang telah digariskan. Entah dalam waktu dekat maupun dalam waktu tidak dekat.
Karena itu, tak hanya yang patah hati yang berteriak keras kala mengikuti peribadatan ambyar bersama Imam Besar Didi Kempot malam ini. Tapi justru mereka para pendukung Manchester United.
Bagaimana tidak, pasca dihajar tim tak terkenal Watford 2-0, tepat keesokan harinya, Imam Besar Patah Hati berkunjung ke Kota Bojonegoro. Tentu saja, itu kesempatan bagus bagi para Manchunian untuk melepas kesedihan.
Mawar, salah seorang pendukung MU yang diawal menyapa saya, sengaja datang ke Alun-alun Bojonegoro untuk melepas kesedihan. Ya iyalah, sehari sebelumnya, dia patah hati karena tim kebanggaannya kalah dari tim tak terkenal bernama WhatsApp, eh Watford — tim yang bahkan didirikan tidak tahu tujuannya untuk apa: What For?
“Tentu saja saya ambyar, untung saja hujannya campur banyu, kalau campur sari, teles kebes netes eluh ning dadaku,” ujar Mawar sambil prembik-prembik menahan tangis.
Mawar tentu tidak datang sendirian. Ia mengaku, 80 persen mereka yang datang ke Alun-alun Bojonegoro malam ini adalah pendukung MU. Sedang 2-0 (lho, ini kan skor Watford vs MU), 20 persen lainnya, adalah mereka yang dihianati pasangan.
Nabs, kita tahu, kondisi Manchester United saat ini memang sedang Langit Mendung Kutho Ngawi. Nandur prestasi jebul tukule suket degradasi. Cidro di mana-mana, ambyar pun menjadi niscaya.
Saat Imam Besar Didi Kempot ke Bojonegoro, misalnya, poin MU menunjukkan angka 25, berada di klasemen 8. Kita tahu, 25 ditambah 8 sama dengan 33. Dan angka 33, masih jauh di bawah angka 49 yang menjadi poin tim pemuncak klasemen Liga Inggris saat ini. Duh.
Opo mergo kahanan uripku iki, melarat poin seje karo Livepooooollll ~
Aku nelangsa, mergo kebacot lara
Ora ngira saikine hehehehe
Bahkan, jauh-jauh hari sebelum Dedi Kempot datang ke Bojonegoro, ia telah berpesan dengan bijak: Ning kepriye maneh mergo kahananku, cah MU entenono tekaku !!11!!
Saat Didi Kempot menginjakkan kaki ke Bojonegoro, ia langsung meneduhkan para pendukung MU dengan: ngalemo-ngalem ning dadaku, tambanono rasa sedih ning atimu. Ngalemo-ngalemo ning aku, ben ra adem kesiram udane dalu.
Tentu saja Didi Kempot tahu, kepada Mawar dan para pendukung MU lainnya, dia berpesan dan mendinginkan hati yang lara dengan: sambatmu wes tak tampa wengi iki, wis tak woco opo karepe atimu, trenyuh ati iki moco tulisanmu, ra kroso netes eluh….. Cendol Dawet!!!
Cendol Dawet Seger!! piro, 500-an. Terus, gak pakek ketan: Ji, ro, lu, pat, limo, enem, pitu, wolu: tak gintang gintaaang, tak gintang gintaaang, tak gintang gintaaang, tak gintang gintaang~