Sadar nggak sih, Nabs, kenapa angka 21 disebut selikur, tapi 25 tidak disebut demikian melainkan selawe dan 50 tidak disebut limangpuloh tapi seket. Berikut penjelasannya.
Pada pemahaman masyarakat Jawa, kata tak sekadar huruf yang disusun melainkan terselip makna yang sarat akan filosofi hidup. Dengan cara membaca alam dan melihat kejadian-kejadian yang kemudian oleh nenek moyang dijadikan suatu sikap sebagai cara hidup di dunia.
Dari respon itu, lalu, dijadikan pakem melalui ucapan, tradisi, kebudayaan dan identitas yang turun temurun ke generasi berikutnya dan menjadi budaya kepribadian orang Jawa.
Dalam bersikap dan berbicara, orang Jawa memberi penghormatan berbeda antara yang tua dan teman sebaya, sebagai pegangan hidup bersosial. Konsep ini sangat identik di Jawa dan sulit dicari padanannya.
Kromo inggil adalah bahasa halus apabila kita berbicara dengan seorang yang lebih tua, dan ngoko sebagai bahasa yang lebih kasar saat lawan bicara kita teman sebaya.
“Kowe mau soko endi, lor? Adalah bahasa ngoko saat bertanya pada teman sebaya, bila di-kromo inggilkan jadi: panjenengan wau saking pundi, pak/buk?” yang dalam bahasa Indonesia artinya “kamu tadi dari mana?”
Orang Jawa zaman dahulu selalu memiliki pertimbangan dalam membuat dan memaknai sesuatu, seperti filosofi pada angka-angka yang dijadikan petuah pengingat usia manusia sebagai lelakon hidup.
Angka 1 sampai 10 dalam bahasa Jawa memiliki makna yang lebih pada menganal diri sendiri dan ungkapan rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa.
Tapi, di tulisan ini, saya coba mendeskripsikan makna yang terkandung pada angka 11, 21, 25, 50 dan 60 terlebih dahulu.
Nabs, ini sebutan angka dalam bahasa Jawa ngoko dan kromo inggil:
1 siji/setunggal
2 loro/kaleh
3 telu/tigo
4 papat/sekawan
5 limo/gangsal
6 enem
7 pitu
8 wolu
9 songo
10 sepuloh/sedoso
Unik dan aneh dan memancing permenungan. Sebab, saat mencapai angka 11, sebutanya bukan sepuloh siji tapi sewelas/setunggal welas, 12 rolas/kaleh welas, 13 telulas/tigo welas sampai angka 20.
Filosofi yang terkandung pada angka belasan ini, manusia telah memiliki rasa welas yang diselipkan pada satuan angka belasan yaitu las/welas yang berarti (kasih sayang). Di usia ini, manusia telah mengerti kasih sayang pada orang tua, saudara dan ketertarikan pada lawan jenis.
Untuk angka kelipatan 10, penyebutannya hampir sama dengan bahasa Indonesia, menggunakan satuan puloh atau dasa sebagai penggunaan kromo inggil di belakangnya. Misal, 10 sepuloh/sedoso, 20 rongpuloh/kalehdoso, 30 telongpuloh/tigangdoso dan seterusnya.
Bila melihat pakem di atas, angka 21 harusnya disebut dengan kata rongpuloh siji, tetapi anehnya tidak demikian. Melainkan selikor. Menggunakan kata tambahan likur.
Pada penyebutan kata ini, orang Jawa memberi pengingat likur adalah kependekan dari “lingguh kursi” (duduk di kursi). Penggunaan satuan likur digunakan untuk angka 21-29.
Di usia ini, orang Jawa memaknai sebagai usia seseorang yang sudah saatnya duduk di kursi. Maksudnya mencari kedudukan atau pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidup. Mereka tak lagi dipangku ortu.
Dan menariknya, di tengah angka tersebut ada penyimpangan penyebutan pada angka 25. Angka 25 tidak menggunakan likur— berbeda dengan penyebut angka sebelum dan sesudahnya, yang mana satuan likur selalu ada dan terpakai.
Pada angka 25, orang Jawa menyebutnya selawe. Pada penyebutan angka tersebut, selawe merupakan singkatan dari kalimat “seneng-senenge lanang lan wedok” ( senang-senangnya laki-laki dan perempuan).
Ini adalah gambaran, pada usia 25, umumnya seorang laki-laki atau perempuan menikah dengan pasangan yang dicintainya. Pasangan muda-mudi di usia tersebut, telah mencapai keseriusan hubungan menuju komitmen pernikahan.
Oke lanjut. Pada angka 30, tak ada penyebutan yang spesial — mirip seperti bahasa Indonesia — hingga angka 49. Angka ini menggunakan satuan puloh/dasa dan tambahan angka di belakangnya.
Misal, 31 disebut telongpuloh siji/tigangdasa setunggal, 32 telongpuloh lara, 33 telongpuloh telu dan seterusnya hingga mencapai angka 49. Sebenarnya ini disebut sampai angka 100. Tapi pada angka 50 dan 60, terdapat penyebutan yang berbeda lagi.
Ya, pada angka 50, disebut seket, kenapa tidak limangpuloh? Penyebutan ini juga tak lepas dari filosofi. Seket adalah singkatan dari senengane ketunan (suka memakai kopyah atau kerudung bagi ibu-ibu ). Pada usia 50, orang Jawa hampir bisa dipastikan lebih suka memakai peci atau kopyah dan kerudung.
Ini bisa kita lihat saat acara pernikahan ataupun saat mereka bepergian. Terlepas dari kesukaan memakai kopyah itu demi menutupi rambut yang sudah mulai menipis dan memutih, beda urusan.
Masyarakat Jawa menilai seorang yang telah memasuki lansia wibawa dan kharismanya terdapat pada peci atau kopyah yang dikenakan dengan setelan kemeja dan celana panjang. Ini sebagai cerminan diri dari usia yang kian tua.
Pada angka 60, juga tidak disebut enempuloh tetapi sewidak. Di sini orang Jawa menanamkan kesadaran akan segala penciptaan Tuhan yang dalam batas waktu tertentu akan kembali pada pencipta. “sewidak” adalah singkatan dari “sejatine wis wayahe tindak”. (sudah saatnya kembali pada sang pencipta).
Manusia diciptakan Tuhan untuk mengemban amanat. Bersyukur diciptakan begitu sempurna. Dan pada usia ini manusia sudah saatnya untuk mencari bekal guna kembali kepada pencipta; bekal itu berupa iman, amal dan Taqwa.
Ini bukan sebuah tolok ukur di mana kita perlu mendekatkan diri pada Tuhan saat memasuki usia 60. Kesadaran akan rasa syukur, iman dan Taqwa kepada Tuhan harus ditanamkan bahkan sejak dini sebab kita juga tidak tahu sampai usia berapa hidup kita di dunia.
Filosofi angka 60 hanya menegaskan bahwa pada usia 60, kok sampai gak mendekat pada Tuhan, itu kebangetan. Ini pun juga tidak mutlak bahwa di usia 60 kita sebagai manusia akan mati. Angka 60 gambaran bahwa Rasulullah Saw wafat pada usia 60.
Untuk angka 70 sampai 100 penyebutannya sama dengan angka 30 dan 40 yaitu mengunakan satuan puloh kembali, dengan tambahan satu angka di belakangnya.
Itulah makna dari angka-angka yang sering kita sebut sebagai nominal uang, ukuran, usia dan sebagainya khususnya masyarakat Jawa. Penamaan bilangan yang mengandung falsafah amat mendalam ini tentu tak hadir sekadar begitu saja. Dalam penentuannya pun mereka tak sembarangan sebab filosofi ini telah ada ratusan tahun dan masih relevan sampai saat ini.
Moco ing waskita atau membaca kejadian, fenomena dan tanda-tanda pada alam yang telah terjadi adalah panduan untuk memahami kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. catatan kejadian alam yang polanya sudah diuji berulang-ulang secara empiris. Ingatan tersebut kemudian dicatat ketika orang telah mengenal tulisan.
Betapa arif dan bijaknya orang Jawa kuno, menyematkan pesan moral melalui angka-angka untuk anak cucu sebagai laku hidup dan keselamatan di dunia maupun akhirat yang, sialnya, bahkan orang Jawa masa kini tak pernah kepikiran sama sekali.