Sumpah Pemuda, selama ini masih lekat aspek historis (sejarah). Sementara aspek yuridis (hukum), kedudukan sumpah pemuda dalam sistem hukum Indonesia belum mendapat perhatian sama sekali.
Peristiwa sumpah pemuda lazim dirayakan oleh masyarakat Indonesia setiap tanggal 28 Oktober.
Peristiwa sumpah pemuda merupakan peristiwa di mana tercetus semangat dari perkumpulan pemuda di Indonesia yang menegaskan esensi untuk “Bertumpah darah satu, tanah Indonesia,.. berbangsa satu, bangsa Indonesia,.. serta menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia” yang diputuskan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam acara Kongres Pemuda II.
Nabs, dalam peristiwa ini pula diperkenalkan lagu Indonesia Raya yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia.
Heroisme peristiwa sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928 inilah yang kemudian perlu digali dan diteladani oleh generasi muda Indonesia.
Dikarenakan peristiwa sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928 menjadi turning point atas tumbuhnya semangat kebangsaan oleh kelompok pemuda di Indonesia.
Meski begitu, kajian terkait sumpah pemuda selama ini masih berkaitan dengan aspek historis dan bersifat menceritakan kembali terkait peristiwa sumpah pemuda.
Aspek yuridis (hukum) terutama yang berkaitan dengan kedudukan sumpah pemuda dalam sistem hukum Indonesia belum mendapatkan perhatian serta kajian tersendiri.
Oleh karena itu, tulisan ini berfokus pada analisis serta menentukan kedudukan hukum naskah pemuda dalam sistem hukum Indonesia.
Kedudukan Hukum Naskah Sumpah Pemuda
Mengutip teori jenjang norma hukum sebagaimana disampaikan oleh Hans Kelsen ditegaskan bahwa norma hukum itu memiliki sifat berjenjang serta hierarkis sehingga norma yang lebih rendah mendasarkan validitasnya pada norma yang lebih tinggi.
Dalam pandangan Hans Kelsen, norma hukum itu berpuncak pada Grundnorm (norma dasar) yang bersifat presupposed serta menjadi bintang pemandu bagi norma di bawahnya.
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Hans Nawiasky bahwa norma hukum itu berpuncak pada staatfundamentalnorm (norma fundamental negara) sebagai leistar (bintang pemandu) bagi norma di bawahnya.
Menurut Jimly Asshidiqie (2020), perlu pelurusan atas hubungan antara Hans Kelsen dan Hans Nawiasky yang pada literatur hukum secara umum Hans Nawiasky “dianggap” sebagai murid dari Hans Kelsen, Nabs.
Padahal, menurut Jimly Asshidiqie (2020), Hans Kelsen dan Hans Nawiasky hidup dalam satu zaman dan tidak terpaut usia yang jauh.
Dapat dimungkinkan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky saling berguru antar sesama pakar hukum, namun menyatakan Hans Nawiasky sebagai “murid dan penerus” Hans Kelsen adalah tidak tepat.
Nabs, mengacu pada konsep staatfundamentalnorm yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky, Jazim Hamidi (2006), menegaskan bahwa staatfundamentalnorm memiliki empat karakteristik, yaitu: pertama, merupakan norma hukum tertinggi dalam rezim hukum positif, kedua, norma hukum tertinggi tersebut dapat diubah oleh suatu tindakan ekstrakonstitusional (extraconstitutional act).
Ketiga, staatfundamentalnorm merupakan dasar bagi pembuatan dan validitas konstitusi, dan keempat, staatfundamentalnorm memiliki bentuk tertulis.
Jika melihat empat karakteristik dari staatfundamentalnorm tersebut maka Jimly Asshidiqie dan M. Ali Syafaat (2006), menegaskan bahwa yang tepat disebut sebagai staatfundamentalnorm adalah naskah proklamasi 17 Agustus 1945.
Hal ini dikarenakan bahwa naskah proklamasi 17 Agustus 1945 memenuhi empat karakteristik staatfundamentalnorm menurut Jazim Hamidi.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah naskah sumpah pemuda juga dapat dikategorikan sebagai staatfundamentalnorm dan bagaimana implikasi hukumnya?
Jika mengacu pada empat karakteristik staatfundamentalnorm menurut Jazim Hamidi, maka naskah sumpah pemuda dapat dikategorikan sebagai staatfundamentalnorm.
Hal ini dikarenakan bahwa, pertama, naskah sumpah pemuda merupakan kesepakatan dasar kebangsaan yang mendahului dan mendasari terbentuknya konstitusi Indonesia.
Dalam hal ini, karakteristik pertama dan kedua staatfundamentalnorm telah terpenuhi.
Kedua, naskah sumpah pemuda secara substansial berisi terkait nilai-nilai dasar kebangsaan yang menjadi leistar atau bintang pemandu bagi pembentukan konstitusi.
Berdasarkan pada uraian tersebut, maka naskah sumpah pemuda telah memenuhi karakteristik ketiga dan keempat dari staatfundamentalnorm.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa selain naskah proklamasi 17 Agustus 1945, naskah sumpah pemuda 28 Oktober 1928 juga merupakan staatfundamentalnorm.
Kedudukan hukum naskah sumpah pemuda 28 Oktober 1928 sebagai staatfundamentalnorm memiliki beberapa fungsi, diantaranya: pertama, substansi naskah sumpah pemuda mendasari terbentuknya konstitusi Indonesia sehingga dalam perubahan konstitusi (amandemen) harus mendasarkan pada substansi naskah sumpah pemuda.
Kedua, substansi naskah sumpah pemuda dapat menjadi batu uji serta sumber penalaran hukum bagi hakim dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) karena sebagai staatfundamentalnorm, maka apabila ada UU yang bertentangan dengan substansi naskah sumpah pemuda maka seyogianya berstatus batal demi hukum.
Ketiga, substansi naskah sumpah pemuda perlu digali dan dikontekstualisasi sehingga dapat menjadi sumber hukum dalam penyusunan peraturan perundang-undangan serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik ( beginselen van behoorlijke regelgeving).
Implikasi
Kedudukan hukum naskah sumpah pemuda yang merupakan staatfundamentalnorm menemui implikasinya dalam proses pembentukan maupun pengujian suatu Undang-Undang.
Dalam rangka pembentukan suatu Undang-Undang, substansi dari sumpah pemuda harus dijadikan sebagai substansi pemandu dalam merumuskan Undang-Undang.
Terkait dengan substansi sumpah pemuda, terdapat substansi yang perlu mendapatkan penegasan yaitu substansi yang ketiga yang pada prinsipnya bertujuan untuk “..menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Kata “menjunjung” dalam hal ini berarti menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan nasional (bahasa negara).
Hal ini tidak berarti menempatkan bahasa Indonesaia lebih tinggi dari bahasa daerah.
Secara implisit, substansi ketiga sumpah pemuda mengamanatkan untuk memelihara dan melestarian bahasa daerah dan tetap menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, Nabs.
Akan tetapi, dalam praktiknya, seringkali bahasa Indonesia didudukkan lebih tinggi dari bahasa daerah.
Dalam lirik lagu, “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Kita….” Pengertian “Satu Bahasa Kita” menjadi bermasalah karena bahasa Indonesia bukan “satu-satunya” bahasa di Indonesia.
Nabs, bahasa Indonesia adalah bahasa negara dalam arti bahasa yang mempersatukan berbagai suku dan etnik di Indonesia tanpa mengurangi maupun menghapuskan eksistensi bahasa daerah yang telah ada dan berkembang di Indonesia.
Bahasa daerah juga wajib dijunjung tinggi dan dilestarikan. Hal ini salah satunya juga memberikan kritik terhadap salah satu tulisan dari Dicky Eko Prasetio (2020) yang berjudul “Dari Sumpah Pemuda ke Sumpah Milenial: Orientasi Virtual Sphere dalam Meningkatkan Jiwa Kritis dan Santun Bermedia Sosial di Era Pandemi COVID-19”.
Salah satu orientasi dari tulisan tersebut adalah penegasan bahwasanya esensi sumpah pemuda adalah, “Bertanah air satu, tanah air Indonesia, …berbangsa satu, bangsa Indonesia, serta berbahasa satu, bahasa Indonesia”.
Pemahaman mengenai “berbahasa satu, Bahasa Indonesia” sejatinya adalah pereduksian atas eksistensi bahasa daerah dan oleh karena itu yang tepat adalah “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” bukan “berbahasa satu, bahasa Indonesia”.
Oleh karena itu, seyogianya esensi sumpah pemuda dimaknai sebagai “Bertanah air satu, tanah air Indonesia, …berbangsa satu, bangsa Indonesia, serta menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Pemahaman bahwa bahasa Indonesia sebagai “satu-satunya” bahasa di Indonesia sejatinya berdampak pada eksistensi berbagai bahasa daerah di Indonesia.
Bahkan, hal ini diperkuat oleh kajian dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bahwa hingga pertengahan tahun 2022 terdapat 11 bahasa daerah di Indonesia yang sudah dinyatakan punah.
Dalam peraturan perundang-undangan, permasalahan inferioritas kedudukan bahasa daerah salah satunya terjadi dalam Pasal 33 ayat (2) UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang hanya menegaskan bahwa, “Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan…”.
Dalam kaidah ilmu hukum, khususnya legislative drafting, kata “dapat” berarti kebolehan dan jika tidak dilaksanakan maka tidak apa-apa.
Hal ini menurut hemat penulis adalah salah satu upaya melemahkan kedudukan bahasa daerah di Indonesia.
Oleh karena itu, penulis menyarankan, rumusan Pasal 33 ayat (2) UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional diubah menjadi, “Bahasa daerah wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan secara proporsional untuk mendukung upaya pengenalan dan pelestarian bahasa daerah”.
Mengubah rumusan “dapat” menjadi “wajib” menjadi hal penting karena kata “wajib” memiliki makna keharusan sehingga harus dilaksanakan.
Selain itu, orientasi dan gagasan mengenai revisi UU Sistem Pendidikan Nasional yang rancangan dan naskah akademiknya sudah beredar pada versi Agustus 2022, juga sejatinya tidak menyinggung secara spesifik mengenai bahasa daerah.
Padahal, lingkup pendidikan merupakan lingkup terpenting untuk mengenalkan sekaligus melestarikan bahasa daerah di Indonesia.
Dengan demikian, revisi UU Sistem Pendidikan Nasional diharapkan juga memberikan kepedulian terhadap eksistensi bahasa daerah, khususnya upaya mewajibkan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar tentunya pelaksanaannya secara proporsional dengan tetap melihat dan mengacu pada kondisi dan realitas masyarakat setempat.
Dengan demikian, implikasi naskah sumpah pemuda sebagai staatfundamentalnorm adalah bagi penyusunan suatu Undang-Undang, substansi dari naskah sumpah pemuda seyogianya menjadi pemandu bagi perumus Undang-Undang, sedangkan bagi Undang-Undang yang sudah disahkan maka substansi dari naskah sumpah pemuda diharapkan dapat menjadi salah satu “penguji” suatu Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.