Kegagalan memang tak mengenakan. Tapi takdir dan ketetapan selalu baik buat kita. Meski kadang, perlu air mata untuk sekadar mampu menerimanya.
Setiap orang pastinya memiliki cita-cita. Begitupun aku. Dulu, aku pernah bercita-cita ingin menjadi perawat. Bukan karena aku hebat. Bukan pula karena aku cantik.
Tapi bagiku, itu termasuk perkerjaan yang mulia. Ya, mulia. Karena dengan menolong, kita bisa bermanfaat untuk orang lain. Ketika aku masih duduk di bangku SMK, aku sudah tak sabar ingin segera mengejar impianku.
Sebelum Ujian Nasional tiba, aku sudah memberanikan diri untuk terlebih dahulu daftar di salah satu Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan yang ada di Bojonegoro. Karena memang pendaftarannya sudah dibuka sih, hehehe.
Semua persyaratan telah aku persiapkan. Aku pun bergegas untuk daftar. Sesampainya di sana, aku melakukan berbagai tes.
Petugasnya mengatakan bahwa pengumuman diterima atau tidaknya sebagai mahasiwa baru, langsung diumumkan ketika tes telah usai. Setelah tes, aku tak sabar menunggu pengumumannya.
Namun, setelah beberapa jam aku menunggu, ternyata belum pasti. Sama seperti dia yang ku tunggu, tapi tak kunjung memberi kepastian. Hmmm..
Hasilnya, memang belum bisa diumumkan secara langsung. Karena sejak aku mengalami kecelakaan, ada bagian fisikku yang tak sempurna, jadi memerlukan pertimbangan apakah aku pantas diterima atau tidak. Kan untuk menjadi perawat harus sehat jasmani dan rohaninya. Sedangkan aku?
Aku mulai pasrah. Setidaknya aku sudah berani untuk mencoba. Aku menanamkan keyakinan bahwa apapun yang terjadi, itu pasti yang terbaik. Aku pun kembali beraktivitas sebagai anak sekolah. Aku happy-happy aja bersama teman temanku di dalam kelas, tanpa begitu memikirkan hasil tes tersebut.
Ting.. tong.. Bel sekolah berbunyi, menandakan pelajaran telah usai. Aku segera pulang. Karena teriknya sang surya, aku sangat haus. Haus akan kasih sayangmu. Uwuwuwuuu.
Sambil menyeruput es teh, ibu menghampiriku dan memberiku amplop. Sebelum aku membuka amplopnya, ibuku hanya bilang “Sing sabar yo, Nduk!”.
Aku semakin kepo dan aku pun langsung membuka amplopnya. Setelah kubuka, ternyata isinya surat pengumuman hasil tes kemarin. Dan, hmm… Sangat jelas terpampang bahwa hasilnya aku tidak diterima.
Sakit sih, seperti nembak dia tapi tidak diterima. Huhh. Tak kuasa aku menahan air mataku. Aku langsung pergi menuju kamarku, agar ibuku tak tahu kalau aku sedang menangyss ~
Kecewa sih pasti, tapi mungkin ini memang salahku. Iya salahku. Salahku karena aku menginginkan sesuatu yang tak sesuai dengan kemampuanku. Aku keburu menuruti kemauanku.
Harusnya aku sadar, fisikku tak sekuat dan tak sesempurna seperti yang lain. Lari saja aku tak bisa. Lalu bagaimana bisa aku jadi perawat? Bagaimana aku bisa menggendong pasien? Bagaimana caraku cepat tanggap dalam menangani pasien?
Jadi gini ya rasanya, kalau keinginan bertentangan dengan kemampuan. Awalnya memang berat sih, tapi aku harus bisa menerima dengan lapang dada. Aku tahu memang ini yang terbaik buat aku.
Aku tidak merasa rugi kok, aku bersyukur pernah gagal. Ada banyak pelajaran yang aku dapatkan dari pengalamanku yang berharga itu.
Untuk bisa bermanfaat, aku tidak harus menjadi perawat. Saya kira, takdir selalu baik dan akan selalu baik buat kita. Meski kadang, perlu air mata untuk sekadar mampu menerimanya.
Ira Aristiasari adalah mahasiswa semester awal yang suka membaca buku dan membaca perasaan si dia.