Putus cinta tak hanya murni karena niat pelakunya. Tapi karena ada pilihan lain weton dan hitungan hari yang dianggap tidak cocok penanggalan Jawa.
Segala sesuatu tak akan terjadi jika belum waktunya ditetapkan. Mempertahankan sesuatu boleh-boleh saja. Tapi, saat waktu dan takdir memutus untuk dipisah, ya harus berani berpisah.
Waktu itu, teman saya berwajah muram. Tatapan kosong menerawang ke langit gelap, duduk di sebuah ayunan tanpa sedikit pun menggerakan tubuhnya.
Dia hanya diam dalam lamunan, seolah tak mempunyai semangat untuk melanjutkan hidup. Lontaran pertanyaan tak satu pun dijawab olehnya, entah apa yang terjadi.
Perempuan yang suka meneriakan kesetaraan bagi kaum perempuan ini, sedang dilawan perasaan yang tak karu-karuan. Terbaca dari wajahnya tanpa ekspresi, menunjukan ada kesedihan mendalam di sana.
Barulah beberapa menit kemudian, tersirat kabar bahwa dia telah berpisah dengan kekasihnya. Hubungan yang telah direncanakan akan indah itu, telah terputus secara sepihak hanya karena weton dalam hitungan pasaran jawa mereka tidak cocok.
Dia Aina, sangat menyesalkan pertemuan kala menginjak semester lima itu. Bagaimana tidak, hubungan yang telah terjalin setahun itu, tiba-tiba saja berubah berupa sikap acuh.
Tingkat kepedulian yang awalnya menjadi prioritas sebagai pembeda Rangga dengan lelaki lain, kini kian meredup. Hingga suatu saat, Aina mencoba bertanya, kenapa Rangga bersikap berbeda seperti itu.
Di sebuah taman kota, akhirnya Rangga mengaku dan menangis untuk berpamitan. Rangga memilih pergi meninggalkan ikatan kisah. Dia tak mau tetap tinggal sebab hubungan ini seperti tak bisa dilanjutkan.
Saat Aina menanyakan alasan, hanya ada dua alasan terbesar yang menjadi landasan keputusan Rangga untuk pergi. Pertama: mereka sama-sama anak tunggal. Kedua: orang tuanya tak merestui, sebab hitungan Jawa antara Aina dan Rangga jelek.
Dan yang paling menyakitkan dari kisah ini adalah Aina yang seorang aktivis militan, yang selalu meneriakkan perlawanan dari sebuah perjuangan bersama-sama. Namun saat itu juga, Rangga menyerah pada keadaan. Sebab tak berani melawan takdir.
Dalam pikirannya, Aina berpikir: bukankah Allah tak akan mengubah suatu kaum, ketika kaumnya tidak melakukan usaha. Namun seringkali manusia takut pada budaya. Sehingga semacam takut pada konsekuensi nasib yang belum tentu terjadi.
Joko Kuncoro atau Jokun adalah mahasiswa dan aktivis progresif, pernah disengat luka karena cinta, tapi baik-baik saja.