Gerakan mahasiswa di Ibu Kota Jakarta mulai terasa gaungnya. Gerakan yang menuntut dibatalkannya RKUHP dan sejumlah UU yang tidak pro rakyat tersebut diikuti oleh seribuan mahasiswa dari berbagai universitas pada Kamis (19/9/2019). Setelah sekian lama, gerakan mahasiswa kembali menunjukkan eksistensinya.
Berbagai isu yang terjadi di Indonesia belakangan ini memang membuat masyarakat gerah dan was-was. Sejumlah isu dan masalah seperti silih berganti menerpa. Dari diskriminasi mahasiswa Papua, kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, revisi UU KPK, hingga Revisi Kitab Undang-undang Pidana.
Dinilai tak pro rakyat dan tidak bisa memberikan solusi konkret dalam permasalahan di Indonesia saat ini, kelompok mahasiswa dari berbagai universitas pun meluruk Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka menuntut agar sejumlah RUU yang tidak pro dengan rakyat dibatalkan.
Secara singkat, aksi ini mengingatkan kita semua terhadap gerakan mahasiswa pada Mei 1998. Saat itu, gelombang mahasiswa bersama dengan masyarakat turun ke jalan untuk menuntut Presiden Indonesia saat itu, Soeharto mundur. Perjuangan dan aksi yang memakan korban tersebut akhirnya bisa melengserkan Soeharto dari kursi RI-1.
Semangat Mei 98 tersebut nampaknya jadi bahan bakar utama mahasiswa dan aktivis Indonesia saat ini. Ada benang merah dari aksi 1998 dengan 2019 ini. Mereka sama-sama menentang pemerintah yang dianggap sewenang-wenang.
Aksi mahasiswa Kamis lalu membuahkan sedikit hasil. Setelah melakukan audiensi, pihak DPR RI sepakat untuk tidak mengesahkan UU tentang Minerba, Pertanahan, Ketenagakerjaan dan RKUHP dalam 4 hari ke depan.
Pasal Kontroversial di RKUHP
Salah satu poin utama dari tuntutan mahasiswa dan para pendemo di gedung DPR RI adalah penolakan terhadap Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang kabarnya akan segera disahkan.
Dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sedang digodok oleh DPR RI, ada sejumlah pasal yang kontroversial. Contohnya pasal 604-607 RKUHP tentang tindak pidana korupsi yang juga jadi perhatian utama gerakan mahasiswa maupun masyarakat.
Dalam RKUHP tersebut, tidak memasukkan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat, dan pidana tambahan berupa biaya pengganti. Pasal tersebut membuat mereka yang terlibat dalam tindak pidana korupsi bisa melenggang bebas tanpa ada hukuman.
Sejumlah pasal kontroversial lain pun jadi bahan perdebatan. Contohnya Pasal 470 sampai dengan 472 RKUHP tentang hukuman bagi perempuan yang menggugurkan kandungan atau aborsi. Pasal tersebut dinilai sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Ada pula pasal 218-219 RKUHP, soal penghinaan Presiden. Pasal ini bisa dijadikan senjata untuk melakukan kriminalisasi terhadap banyak pihak. Tempo bahkan menyebut pasal ini sebagai warisan pemerintah kolonial.
Itu adalah sedikit contoh dari beberapa pasal kontroversial yang termuat di RKUHP. Pasal dan ketentuan hukum yang tidak berpihak kepada masyarakat. Mereka yang tertindas bakal lebih sengsara. Mereka yang berkuasa, bisa lepas dari jerat pidana.
Pemerintah tentunya tak boleh menutup mata dan telinga. Ini adalah saat yang tepat untuk mendengarkan dan mengakomodasi suara rakyat. Jangan sampai peristiwa Mei 98 yang merenggut banyak korban terulang. Seperti kata Bung Karno, Jas Merah: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah.
Gelombang protes dan aksi menentang RKUHP diprediksi bakal terus berlangsung. Mahasiswa dari berbagai universitas akan terus mengawal isu ini. Sudah saatnya mereka kembali jadi garda terdepan dalam upaya perubahan.