Komunitas literasi dan lapak buku yang biasa mengisi Car Free Day (CFD) tidak terlihat. Minggu (8/12/2019) pagi, CFD Bojonegoro libur. Ruang bebas asap kendaraan itu berganti menjadi ajang balap motor. Aktivitas masyarakat saat itu berganti. Dari olahraga ringan menjadi ekstrem. Untungnya, tidak terjadi setiap minggu.
Alun-alun Bojonegoro adalah ruang publik. Setiap minggu pagi, CFD menjadi sarana masyarakat untuk berkumpul. Mulai dari olahraga bersama, jual-beli makanan hingga kumpul komunitas. Termasuk komunitas literasi yang kerap melapak buku. Membuka kesempatan masyarakat untuk membaca atau meminjam buku.
Bojonegoro memiliki beberapa komunitas literasi. Misalnya Perpus Gatda, Lapak Buku Emperan dan Bojaksara. Mayoritas anak muda gemar membaca buku. Berserikat dan berkumpul untuk mengajak masyarakat membaca buku. Tentunya demi meningkatkan minat baca dan budaya literasi. Khususnya masyarakat di Bojonegoro.
Sebenarnya, hampir setiap kota yang memiliki komunitas literasi. Bahkan, ada pula yang bersifat perseorangan. Ada yang melapak buku, membuat perpustakaan hingga membuat event besar. Tidak sampai di situ. Simpul pergerakan literasi nasional saling terhubung dan kuat. Misalnya Pustaka Bergerak yang tersebar di berbagai kota.
Lingkar literasi ini tentu sangat baik. Bergerak dan berjuang dalam meningkatkan minat baca masyarakat. Satu di antaranya adalah pegiat sosial asal Solo bernama Danny Setiawan. Dia memiliki rumah dengan ruang tamu yang dipenuhi buku. Seperti perpustakaan yang boleh dibaca siapa saja.
“Gerakan literasi bukan hanya soal ketersediaan buku. Menyediakan buku itu sangat mudah. Poinnya adalah minat dan mau membaca,” kata pria yang akrab disapa Mas Ndoets tersebut saat ditemui di rumahnya (30/11/2019).
Menurutnya, membuat perpustakaan itu sangat mudah. Cukup membuat kegiatan sosial, donasi pasti ada. Apalagi buku bacaan dari donatur. Sangat mudah seperti Thanos melenyapkan separuh populasi dunia. Cukup dengan menyentikkan kedua jari tangan. Bukan jari kaki. Dipastikan itu malah menyusahkan.
Pria berambut gimbal tersebut cukup sering melakukan kegiatan sosial. Sudah lebih dari lima tahun. Terutama soal pengumpulan donasi berupa buku. Namun, tidak semua buku memiliki kesempatan dibaca. Tentu tergantung dengan selera manusianya, bacaan mana yang disukai. Itu jika memang suka membaca.
Menurut Danny, kesukaan terhadap membaca buku itu yang harus ditingkatkan. Bukan hanya menyediakan buku bacaan. Apalagi membuat perpustakaan. Sudah terlalu banyak. Dia bercerita perpustakaan gratis pun tidak banyak dikunjungi.
“Awal berdiri saja ramai, mungkin tidak sampai satu tahun juga sepi lagi. Paling ramai kalau pas ada kegiatan saja atau kunjungan penelitian anak mahasiswa,” kata pria berusia 43 tahun tersebut.
Lanjutnya, Danny mengajak berdiskusi dan berpikir. Literasi bukan soal ada atau tidak adanya buku. Tetapi ada dan tidak adanya kemauan membaca. Berangkat dari persoalan tersebut, sejenak telinga hening. Otak di kepala semakin riuh.
“Coba dicarikan alternatif lainnya, bagaimana membuat kegiatan yang berfokus pada pentingnya membaca dan mengajak untuk sering membaca? Hehehe…,” tanya bapak beranak tiga tersebut seolah memberi tantangan.
Kegiatan terkait buku sudah sangat sering. Misalnya pembagian buku gratis. Bahkan, event musik dengan tiket masuk berupa buku pun ada. Lalu, apa lagi yang belum? Menurut Danny, di dalam suatu event perlu diisi dengan sebuah kampanye. Syaratnya, konteks harus jelas agar tetap sasaran.
“Melihat belakangan ini, hoax menjadi masalah di media mana saja. Kenapa tidak mengajak masyarakat untuk sering membaca dengan kampanye anti hoax? Untuk menghindari hoax itu kan harus banyak membaca, gak cuma dari buku saja,” tegas pria yang gemar minum teh ketimbang kopi tersebut.
Kampanye anti hoax harus diangkat para pegiat literasi. Caranya dengan mengajak untuk sering membaca. Tidak harus buku. Konten media sosial, berita, esai, hasil riset, apapun itu harus dibaca. Sumber dan valid-nya data juga harus diperhatikan.
Sering membaca akan memudahkan dalam melawan berita hoax. Itu karena banyak sumber yang dibaca. Kemampuan literasi akan semakin tajam. Benar atau tidaknya akan tertangkap logika yang sudah terlatih. Akhirnya, dengan sendirinya muncul kesadaran masyarakat betapa pentingnya membaca.