Saat ini, malam hari di Surabaya seperti bukan malam hari di Surabaya. Ia malam hari di planet Neptunus.
Pukul setengah 9 malam, aku keluar mencari kopi wifi, muter-muter di putaran pertama gagal menemukan warung kopi alias Giras di sepanjang sudut timur Surabaya ini.
Giras yang biasa buka 24 jam non-stop pun sudah punah di pukul setengah 9 -an malam. Beberapa masih buka, aku hampiri tapi tidak melakukan pelayanan, sebab pukul 9 sudah tutup total.
Aku lanjutkan perjalanan hingga sekian jalan selanjutnya dan selanjutnya, baru menemukan warung buka, warung yang biasanya buka 24 jam juga.
Aku datang di warung tersebut, lalu penjual bilang warung tutup. Aku lobi agar bisa bungkus kopi, alhasil bisa, bisa membungkus kopi. Akhirnya, drama pencarian kopiku selesai.
Ya, begitulah fenomena di Surabaya beberapa waktu ini. Pukul 9 segala aktivitas giras, warung, toko, minimarket dan lain-lainnya sudah tidak ada alias lenyap, dan nihil harapan untuk menemukannya.
Seperti semalam, saat mencari air mineral, saya harus sekian kali muter-muter, dan nihil hasil. Masih air mineral, apalagi mencari kopi, apalagi wifi, apalagi kekasih hati. Ehh
Namun, pembahasanku bukan pada itu. Aku lebih ingin melihat dengan sudut pandang karena ini bulan puasa. Bulan di mana dianjurkan seseorang untuk berpuasa, bila tiada halangan.
Dan dari situlah, aku rasa, (mungkin) alasan beberapa orang tidak berpuasa adalah karena aktivitas giras yang ditiadakan di malam harinya. Mungkin, masih mungkin sih.
Namun bagi banyak orang, termasuk aku, alasan besar kopi adalah imun tubuh, kopi adalah penghias suasana, kopi adalah alasan adanya kenikmatan, kopi adalah tuangan inspirasi, adalah roh dari eksistensi, dan lain-lain, atau bahkan lebih dari itu. Itu masih dari faktor manusianya, belum dari sektor warungnya.
Bagi beberapa orang, di beberapa lingkungan, giras adalah tempat mengadu nasib, juga mata pencaharian, juga tempat mencari nafkah, juga tempat menyambung hidup.
Sehingga saat malam hari diharuskan u
mengakhiri kegiatan operasional, otomatis mereka akan mencari ‘pendapatan’ pada esok harinya. Artinya, waktu untuk berpuasa dilakukan untuk mencari penghidupan, dengan membuka giras.
Bukan soal (menghargai) puasa atau tidak, ini adalah soal perut, urusan perut. Perut sekian orang yang bermata-pencaharian dan berpenghidupan dari warung ataupun giras.
Walaupun memang dari dulu masih ada yang tidak berpuasa di bulan puasa karena ngopi, namun (aku rasa) untuk sekarang, lebih tinggi godaan dari yang lalu-lalu.
Alasannya, seperti tadi, orang-orang kebingungan mencari tempat nyangkruk di malam hari, sehingga melampiaskannya di pagi hari. Juga eksistensi warung yang tiada di malam hari, sehingga harus beroperasi di pagi hari.
Setidaknya dari pengalaman, diriku merasakan seperti itu, dimana jiwaku seolah meronta dan tergoncang saat mencari kopi di malam hari tidak menemukan, dan ingin membalas — ingin melakukan ritual ngopi di pagi hari. Tapi itu masih ingin, namun keinginan yang sudah menggumpal.
Meskipun –jika boleh pamer– aku masih bolong satu di puasa kali ini, sebab saat itu terlalu forsir tenaga dan kurang asupan makanan karena agenda yang padat waktu itu. Jadi ya agak lumrah.
Kembali lagi. Dari keinginan untuk ngopi yang telah menggumpal itu, aku tak tahu kapan akan meletus. Beberapa kali aku agendakan untuk tidak berpuasa karena ingin menikmati seduhan kopi, namun beberapa kali juga gagal.
Tempat untuk ngopi (dan wifi) di malam hari bisa disebut mustahil dicari di sini, sehingga apalagi solusinya bila malam hari tidak ada, jika bukan melampiaskannya pada esok hari. Ah sudah sajalah.
Singkatnya, mungkin begitulah persoalan kopi, puasa dengan manusia dan warungnya, dari sudut pandang yang mencoba menerka dan belum tahu apa-apa. Intinya, hargailah tindakan dan pilihan seseorang, terlebih kehidupan dan penghidupan seseorang.