Kulihat Hanna Fransisca meruap bersama asap pedupaan. Sementara aku memandang patung Dewi Kwan Im di bilik sembahyang.
Hari-hari biasanya adalah hari yang gaduh: kepanikan jalan dan semburan asap gila, makian orang-orang yang dilanda kemacetan, suara klakson, serta terik matahari*.
Kini segalanya telah bermuara dalam sunyi. Jalanan mulai sepi. Setiap orang lebih memilih meringkuk dalam kamar dengan cahaya layar gawai menyinari wajah mereka hampir sepanjang hari dan petang.
Beberapa yang lain mencoba menemukan kenikmatan yang berbeda. Aku memilih untuk meracik bumbu atau menguleni adonan di dapur. Mencobai resep bakpao tionghoa. Mencumbui tungku pembakaran. Memanggil dewa dapur. Menanam benih kayu. Mengeruk tanah arang. Menciumi asap perjamuan**.
Di saat semacam itulah, aku berdialog dengan Hanna Fransisca. Dia bukan dewa dapur, hanya penyair dengan konde Tionghoa.
“Jadi sejak kapan kau mengenalku?” Hanna yang muncul tiba-tiba bak hantu itu melempar pertanyaan.
“Sejak 2012,” jawabku sambil menggambar titik tegak di tengah adonan bakpao.
“Itu adalah saat penerbit meluluskan tiga bukuku.”
“Ya. Kumpulan puisi Benih Kayu Dewa Dapur, kumpulan cerpen Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina, dan naskah drama Kawan Tidur. Aku jatuh cinta padamu melalui yang pertama.”
SEEETTT!
Hanna bergerak cepat mengambil 100 butir merica, bawang, kecap asin, bara api, tusuk besi, cuka, garam, pisau jagal, kecap manis, tambang, dan kipas angin***.
“Tolong jangan pakai doa pencabut nyawa!” sergahku. “Kalau minyak zaitun tak mengapa. Tapi kita tidak tengah memasak kambing, Hanna. Ini bakpao.”
“Mengapa tidak doa pencabut nyawa? Atau bolehkah doa pencabut karya? Bukankah itu memang tahun terakhirku menerbitkan buku? Setelah itu, aku lebih dikenal di berita sebagai ibu rumah tangga yang membandari judi togel,” protes Hanna.
“Kau memang terlalu keren. Membuka karier dengan Konde Penyair Han yang menyabet penghargaan kumpulan puisi terbaik Kompas 2010, lantas menutupnya dengan terlibat kriminalitas.”
“Aku tidak sekeren itu.”
“Tentu saja! Aku lebih suka pada doa penumbuh karya. Suara warga keturunan Tionghoa tentang kekerasan terhadap etnisnya pada 1998 telah memikatku. Berkat benih kayumu, seksualitas dalam sebuah karya sastra jadi begitu berisi, bukan sekadar seksi. Kau adalah penulis terbaik di ranah itu.” Aku mengangkat bakpao putih dari pemanggang.
“Diamlah, Mei, Tuhan tak pernah menjelma ular berbisa. Ia tak pernah menjelma cinta, yang membuat kita tiada****.” Suara itu kian sayup di ujung kalimat.
Kulihat Hanna meruap bersama asap pedupaan. Aku memandang patung Dewi Kwan Im di bilik sembahyang.
“Puisimu bukan hanya soal penggugatan dan seksualitas, tapi juga ihwal ketuhanan yang mengayomi,” gumamku sendiri sembari menggigiti bakpao daging babi.
*mengutip gambaran Hanna Fransisca dalam pembuka bukunya, Benih Kayu Dewa Dapur.
**mengambil judul bab dalam Benih Kayu Dewa Dapur.
***mengutip puisi Kambing Guling.
****mengutip puisi Ular.