Gunung Jali merupakan nama kuno dari Bukit Tegiri. Lokasinya berada di Dusun Tegiri, Desa Tebon, Kecamatan Padangan, Bojonegoro. Ia tercatat sebagai gerbang pertama masuknya islam pesisir menuju pedalaman. Lokasinya disinggung prasasti Majapahit, Singashari, Kahuripan, hingga Medang Kamulan.
Dengan asumsi dan ciri yang amat kuat, Gunung Jali juga dikenal dengan Tegiri, berasal dari kata Tebon Giri. Masyarakat mengenal dan mengenang keistimewaan tanah ini dengan nama Mesigit Tebon, yang terletak di Dusun Tegiri, Desa Tebon, Padangan, Bojonegoro.
Secara harfiah, istilah “Jali” memiliki arti pohon jagung. Begitupun, istilah “Tebon” bermakna pohon jagung. Gunung Jali (Bukit Tebon) merupakan sawah perbukitan yang dulu dipenuhi pepohonan jagung. Tak heran jika saat ini, lokasi itu dikenal dengan Desa Tebon Padangan.
Secara geografis, Gunung Jali merupakan perbukitan di pinggir sungai Bengawan. Ia diselimuti puluhan hektar sawah di tiap sisinya. Gunung Jali tercatat sebagai tempat penting di berbagai zaman. Sebab lokasinya diapit tiga titik peradaban kuno; Ngloram, Maribong, dan Jipang.
Secara semiotika, Gunung Jali Tebon jadi titik temu antara Budaya Jawa dan Arab. “Kendi Ketemu Tutup”: kaki Huruf Jawa ada di bawah, kaki Huruf Hijaiyah ada di atas: saling menutup. Dalam kaidah Islam Nusantara, Jawa dan Arab simbol kuatnya pondasi dan bangunan tauhid.
Posisi Gunung Jali Tegiri sebagai titik temu peradaban, tak hanya diceritakan secara lisan. Tapi ditulis secara ilmiah dalam buku penelitian dan sejumlah prasasti yang tercatat dari zaman ke zaman. KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur) misalnya, selain konon sering berkunjung kesana, ia juga menulis dalam bukunya.
Dalam The Passing Over: Kebebasan Beragama dan Hegemoni Bernegara (1998), Gus Dur menyebut lokasi ini sebagai prototype toleransi beragama di Nusantara. Di tempat inilah Sayyid Jumadil Kubro membangun pemukiman muslim, sebelum berdakwah di pusat Kota Majapahit.
Tulisan Gus Dur ini, ternyata sesuai data History of Java (1817) karya Thomas Stamford Raffles. Dalam bukunya, Raffles menulis bahwa Sayyid Jumadil Kubro bermukim dan berdakwah di Gunung Jali. Raffles bahkan menyebut, di tempat inilah Sunan Ampel muda sowan dan bertabaruk pada Syekh Jumadil Kubro.
Sebelum islam datang, Gunung Jali (Bukit Tebon) sudah disebut sebagai perdikan kaum Hindhu-Budha. Sejumlah prasasti mencatat lokasinya. Gunung Jali jadi titik temu tiga peradaban kuno: Ngloram, Maribong, dan Jipang. Kota-kota kuno ini kelak dikenal sebagai Imperium Jipang (cikal bakal Blora dan Bojonegoro). Syekh Abdurrohman Klotok dalam Manuskrip Padangan (1820) menyebutnya dengan istilah Biladi Jipang Padangan.
Diabadikan Tiga Prasasti
Wilayah Ngloram tercatat dalam Prasasti Pucangan (1041 M) yang dibuat Raja Airlangga (Kerajaan Kahuripan). Prasasti itu menyebut Ngloram sebagai tempat kemunculan Aji Wurawari, figur keramat di akhir periode Kerajaan Medang Kamulan. Raja Airlangga adalah leluhur Raja Jayabaya. Sementara Jayabaya, dalam khazanah pewayangan, adalah kakek Angling Dharma. Artinya, sejak mbah-mbahnya Angling Dharma pun, Imperium Jipang sudah ada.
Lokasi Maribong (Merbong) disebut dalam Prasasti Maribong (1264 M) yang dibuat Raja Wishnuwardhana (Raja Singashari). Dalam prasasti itu, Maribong yang semula ikut wilayah Jipang, ditetapkan sebagai tanah perdikan bebas pajak. Ia istimewa karena jadi lokasi Para Brahmana. Artinya, secara ilmiah, sebelum Kerajaan Majapahit berdiri, Imperium Jipang sudah ada.
Kawasan Jipang, selain disinggung Prasasti Maribong, juga disebut dalam Prasasti Canggu (1358 M) yang ditulis Raja Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit). Prasasti itu, menetapkan wilayah Jipang sebagai pelabuhan dan pintu gerbang Majapahit. Artinya, secara ilmiah, sebelum Kesultanan-kesultanan islam berdiri di Pulau Jawa, Imperium Jipang sudah ada.
Secara geo-historis, lokasi Ngloram, Maribong, dan Jipang tak jauh dari Gunung Jali, bahkan mengapit lokasinya. Jika di-analogikan dalam Diagram Venn, Gunung Jali berada tepat di tengah irisan tiga peradaban kuno itu. Ini alasan utama kenapa Gunung Jali cukup istimewa.
Ini juga alasan Sayyid Jumadil Kubro memilih Gunung Jali sebagai tancapan tongkat dakwahnya. Sebab, tempat itu jadi titik temu antara Ngloram (Medang Kamulan), Maribong (Singashari), dan Jipang (Majapahit). Gunung Jali menjadi stasiun perantara dan gerbang peradaban.
Sampai saat ini, Bukit Tegiri dikenal sebagai lokasi yang banyak ditemui peninggalan klasik berupa batu pasujudan, batu arca, dan bahkan fosil tulang purba. Sayangnya, banyak pula yang sudah dijarah orang-orang tak bertanggung jawab dari luar kota. Andai bebatuan artefak itu masih ada, peluang untuk penelitian masih lebar terbuka.