Guru hebat tak pernah meminta kita untuk belajar secara langsung. Tapi kita yang belajar darinya tanpa diminta, meski tak secara langsung.
Seorang lelaki paruh baya sedang menghisap rokok di depan rumah dengan penuh kenikmatan. Malam yang gelap dengan penuh kepulan asap menemaninya. Nampaknya ia sedang melantunkan sebuah dzikir tanpa suara. Hal itu terlihat dari mulutnya yang seakan-akan mengucapkan sesuatu namun tidak mengeluarkan suara.
Lelaki paruh baya itu bernama Awan. Orang-orang di sekitarnya lebih akrab menyapa dengan sebutan Kiai Awan. Kiai yang penuh kharismatik dan penuh kesederhanaan. Selain itu ia juga sangat dekat dengan para santri.
Kiai Awan juga terkenal sangat ikhlas serta sabar, ia sekalipun tak pernah marah di depan santri. Untuk menghadapi santri yang nakal, ia lebih memilih menggunakan cara-cara humor. Humor selalu ia selipkan baik dalam keadaan santai maupun sedang mengajar.
Santri yang ada di dekatnya pun selalu merasa aman dan bahagia. Mereka merasa sangat beruntung memiliki sosok kiai seperti itu. Setiap jum’at pagi Kiai Awan selalu mengajak para santri untuk ro’an (kerja bakti/bersih-bersih bersama).
Dalam mengajak santri Kiai yang satu ini tak pernah memakai pendekatan instruksi. Pendekatan yang sering dipakainya adalah pendekatan menekan kesadaran. Ia tak pernah memerintahkan santri, tetapi selalu memulai duluan baru kemudian diikuti para santri. Dalam hal apapun ia selalu memberikan contoh.
Kiai Awan sudah tidak diragukan lagi kedekatannya dengan santri. Pernah suatu ketika ia mengundang para santri ke rumah untuk makan bersamanya. Sedikit pun wajahnya tak menunjukkan rasa malu, meski harus makan dan duduk berdampingan dengan santri.
Menurutnya, untuk mendidik santri seorang Kiai itu tidak selalu harus berada di atas. Adakalanya harus menjadi santri agar benar-benar merasakan perasaan santri. Selain itu juga sangat mudah untuk mengenali karakter santri. Kiai yang mengenali karakter santrinya, ia tak akan pernah kesulitan untuk mendidiknya.
Begitu juga dengan santri yang sudah kenal dekat dengan sang kiai. Santri pasti akan memiliki rasa ta’dzim yang mendalam. Rasa ta’dzim yang di dalamnya mengandung sebuah kecintaan. Cinta terhadap kiainya yang kemudian menjadi jembatan kecintaan terhadap ilmu. Dalam kitab Ta’limul Muta’alim disebutkan orang yang mencari ilmu haruslah bisa mencintai ilmu.
Pagi itu dari kejauhan di surau kecil pesantren nampak suara tetangisan terdengar. Terlihat seorang kiai sedang dipeluk para santrinya. Kejadian itu mengisyaratkan sebuah perpisahan dan kehilangan.
Sayangnya pengabdian Kiai Awan harus terhenti di sini, lantaran ia harus kembali ke tanah kelahiran untuk merawat pesantren tinggalan ayahnya.
Isak tangis pun tak terhindarkan, air mata para santri menjadi pengiring perpisahan Kiai Awan. Siapapun tidak pernah rela ditinggal sosok kiai yang sabar dan penyayang. Selamat jalan Kiai meski raga kita terpisah, sebagai seorang santri jiwa ini tetap menyatu bersamamu.
Bojonegoro, 29 Juli 2021