Semua orang, tak terkecuali kamu— iya, kamu — sedang terinfeksi fenomena psikologis bernama FOMO.
Coba ingat-ingat, apakah gadget menjadi benda pertama yang kamu cari saat bangun tidur? Dan apakah gadget juga jadi benda terakhir yang kamu pegang sebelum tidur? Jika iya, kamu sedang mengalami fenomena psikologis bernama Fear of Missing Out (FOMO).
Saat ini, harus diakui, manusia jauh lebih dekat dengan gadget dibanding dengan manusia lainnya. Sedekat-dekatnya kamu sama si dia, bisa jadi, masih lebih dekat antara kamu dengan si gadget. Sehari tanpa gadget, kamu bisa mati gaya. Sehari tanpa si dia, biasa aja kan ya?
Ketakutanmu jauh dari gadget, merupakan sebuah fenomena psikologis yang lahir di era internet. Saat menggunakan internet menjadi kebutuhan pokok, rupanya menciptakan fobia baru, fear of missing out; yakni rasa takut ketinggalan berita di internet dan jejaring sosial.
Penyandang FOMO biasanya akan mencari-cari ponselnya saat bangun tidur. Bahkan setiap saat, tidak bosan ngecek notifikasi yang masuk di akun medsos. Mereka juga telaten menelusuri berbagai berita terhangat di jejaring sosial hingga lupa waktu. Dan sangat takut ketinggalan berita terbaru.
Dilansir dari Time.com, istilah FOMO dimasukkan ke Oxford English Dictionary sejak 2013 silam.
Dalam tulisan berjudul This is the Best Way to Overcome Fear of Missing Out, penulis Eric Barker menjelaskan jika FOMO lahir dari ketidakbahagiaan personal. Ia hadir ketika seseorang merasa hidupnya kurang memuaskan. Ketika seseorang merasa ada yang kurang pada hidupnya, secara otomatis mereka bakal berupaya mencari kekurangan itu melalui pengecekan di media sosial.
Fenomena FOMO juga berawal dari sebuah pertanyaan sederhana: apakah orang lain di luar sana lebih bahagia daripada dirinya? Nah, untuk mengetahuinya, kembali lagi, mereka bakal berupaya mencari tahu hal itu melalui media sosial.
Kenyataannya, FOMO memang mengajak orang-orang untuk memperhatikan medsos sesaat setelah dia bangun bobok, sebelum bobok bahkan saat sedang maem atau berbincang bersama orang lain. FOMO, tentu saja, berawal dari kehidupan yang dirasa kurang begitu baik, tidak bahagia, kurangnya tingkat kepuasan, dan yang pasti, takut kehilangan.
Seseorang berpikir aktif di jejaring sosial bakal membuat perasaan menjadi lebih baik. Padahal, bisa jadi lebih buruk. Di jejaring sosial, ada banyak hal yang dibagikan; pamer kemesraan, pamer prestasi, hingga pamer punya pacar baru. Hal sederhana seperti itu bisa membikin seseorang jadi membanding-bandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain
Seperti dilansir dari beritagar.id, Dr. Lee Hadlington dan Dr. Mark Scase, psikolog dari De Montfort University, Inggris, bahkan menyatakan jika orang-orang dengan kecenderungan neurotik dan ekstrovert memiliki kemungkinan lebih tinggi dalam mengalami FOMO. Hmmm
Bagi penyandang FOMO, Nabsky, memang tidak bakal merasa gimana-gimana. Sebab, tidak ada yang berubah dari dirinya. Rasanya tetap seperti biasa. Tapi, bagi orang lain atau orang yang kebetulan sedang berkomunikasi dengannya, tentu bakal terasa. FOMO mengurangi kualitas manusia sebagai makhluk sosial.
Coba bayangkan, kamu sedang ingin bercerita banyak hal pada kawanmu. Tapi, kawanmu malah terlihat sibuk bermain dengan gadgetnya, bukankah itu menyebalkan? Meski, tentu saja, kawanmu itu tidak pernah tahu jika sebenarnya kamu sebal akan perbuatannya tersebut.
Saat ini, pengidap FOMO tentu sangat banyak. Bahkan, tidak menutup kemungkinan tiap hari kamu menemuinya. Bisa saja pengidap FOMO itu orang terdekatmu, kawanmu, atau bahkan dirimu sendiri, Nabsky. Apakah FOMO bisa dihindari? Nantikan tulisan kedua untuk mengetahui jawabannya.