Bentang alam di kedua sisi lembah Lusi dan Bengawan ternyata sangat penting secara historis pada periode Islam. Sebagian besar kisah tentang para Wali, tokoh suci nan kharismatik yang konon membawa Islam ke tanah Jawa, berkaitan dengan wilayah ini dan dari sepanjang pesisir Utara-Timur Jawa.
Tentunya hal ini berhubungan dengan keberadaan kota-kota perdagangan kuno, karena bagaimanapun, Islam masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan.
Dalam sejarah keluarga Raja-raja Mataram, daerah-daerah ini juga di “tua” kan, sebagai tempat asal-usul leluhur mereka; Medang Kamulan. Kisah-kisah yang terkait dengan Sela mengabarkan kejadiannya, sementara Jipang hanya dapat ditundukkan oleh Mataram secara susah payah.
Para pujangga Surakarta telah memasukkan cerita-cerita tentang Pesisir Utara-Timur dan bentang alam lembah Lusi dan Bengawan dalam sejarah paling legendaris mereka; Aji Saka dan Angling Dharma.
Jelaslah naskah Babad terinspirasi dari legenda lama untuk kemudian diterapkan dalam mitos-mitos baru dengan cara yang luar biasa, dan sedemikian memperdaya pelantun dan pendengarnya.
Sedangkan para Rakawi Majapahit, yang umum diketahui, seperti ingin membatasi diri mereka pada negeri-negeri di lembah Brantas, karya-karya mereka bahkan tersimpan di Bali, tak terkecuali Sutasoma.
Apapun asumsi yang kemudian ditarik oleh para sarjana sejarah, pada akhirnya membawa kisah klasik tentang pewaris wilayah Lusi dan Bengawan, Blora dan Bojonegoro, menjadi sangat menarik untuk digali dan diteliti lebih lanjut.
Bengawan dikenal sebagai wilayah penentu berakhirnya transisi Keraton Medang, pengantar ketetapan Kahuripan, dan Jawa tidak benar-benar terbelah meskipun terbagi menjadi dua Mandala; Jenggala dan Panjalu. Sehingga ketika Majapahit berhasil menyatukan kedua wilayah kerajaan tua Jawa itu, dengan sendirinya menjadi pertanda era kejayaan ke seluruh penjuru Nusantara.
Betapapun sulitnya bukti penyatuan Mandala itu akibat kesengajaan tafsir prasasti yang terlepelintir, namun jejak penyatuan itu akan lebih mudah ditemui dalam konteks geoarkeologi dan kebudayaan yang tertinggal di bukit-bukit hulu Lusi sekaligus Bengawan. Di sini, kebijakan endemik yang terpatri dalam “Etika Jawa”, pada dasarnya merupakan bunga rampai laku “Lelana” dan motif pencarian “Mrtasanjiwani”.
Pengembaraan seorang Mpu Kerajaan, sebagaimana Narottama dan Bharada, datang mengikuti pendahulu mereka ke wilayah terakhir “Wiku Bramacari” ini, di mana ia belajar sastra Kawi. Ia kemudian mencipta Hanacaraka, 20 huruf itu. Faktanya, karya ini memberikan ruang bagi pembaharu berjuluk Ummul Barahin, atau kitab Sifat 20 itu, agar menemukan jalannya di Tanah Jawa.