Berawal dari kalimat tanya “Kalian tidak tahu, siapa saya?” sampai renungan tentang kehidupan yang fana.
Di tengah keramaian acara sastra, saya duduk di barisan belakang. Datang orang bak penyair, mendatangi kawan-kawan dan saya yang duduk di barisan paling belakang. Orang itu berkomentar tentang penataan buku-buku yang dibawa oleh kawan saya yang menurutnya kurang tepat.
Beberapa kalimat muncul dari mulut orang yang malam itu mengenakan topi kodok berwarna abu-abu. Mirip topi yang dikenakan Sartono Anwar (pelatih yang pernah melatih Persibo Bojonegoro) ketika memainkan strategi bermain bola dari luar lapangan berukuran panjang 100-110 meter.
Kemudian keluar kalimat yang membuat kuping saya keri, “Kalian tidak tahu siapa saya?, Ngopimu kurang jauh,..”. Sontak, hal tersebut membuat sanubari saya ingin berontak. Mengingat saya tidak terlalu banyak bicara, saya tidak jadi melakukan pemberontakan secara vulgar. Cukup berontak dalam sanubari saja, dan mengucap kalimat, “Ah, biarlah…” dalam sanubari.
Sependek pengetahuan saya, orang-orang yang berlagak seperti pertanyaan di atas, sedang bercermin dengan dirinya sendiri. Orang-orang seperti itu, adalah orang-orang yang ngopinya kurang jauh. Secara tak sadar, dia telah berhasil menampakkan kekonyolan dirinya di hadapan generasi muda yang dalam pandangannya ngopi kurang jauh dan tidak tahu apa-apa.
Sebagai generasi muda yang sedikit bicara plus banyak tidurnya, saya hanya menertawakan dalam hati. Saya banyak bertemu orang-orang, dari pinggir jalan hingga kuburan.
Orang-orang yang aksi sekali namun kenangannya diputar berkali-kali seperti kaset rusak, orang-orang senior yang ndakik-ndakik dihadapan juniornya namun mlempem di hadapan penguasa, orang-orang yang memiliki kesadaran penuh dalam perjuangan dan orang-orang yang memiliki kesadaran semu dalam perjuangan.
Organisasi-organisasi lokal yang memiliki pandangan ekonomi-politik yang jelas hingga bias. Organisasi kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan oligarki dalam proposal yang berkelanjutan, dan organisasi pelajar yang bermain cantik dengan partai politik dan seakan-akan menjadi kaki tangan penguasa.
Organisasi mahasiswa yang konon gandrung akan keadilan, namun gandrung juga untuk menikmati dinginnya AC istana dan menerima dengan tangan terbuka amplop pemberian penguasa. Dan berbagai fenomena alam dan sosial lain.
Kembali ke peristiwa malam dalam balutan sastra. Orang-orang yang kerap melontarkan kalimat tanya, “Kalian tidak tahu, siapa saya?”, adalah orang-orang yang gandrung akan eksistensi.
Puisi karya Gie, Taufiq Ismail, dan lain-lain, menggema pada malam itu. Di sebuah gedung tua, yang dulunya merupakan area yang dekat dengan rel kereta api.
Setelah acara berakhir, semua foto bersama. Saya langsung menuju warkop bersama orang berambut gondrong yang masih percaya akan adanya revolusi jilid II, setelah Revolusi I yaitu Revolusi Agustus 1945.
Malam semakin larut. Kepala semkain pusing. Namun saya berusaha mendengarkan dengan seksama ide demi ide dari orang gondrong yang masih percaya akan adanya revolusi.
Kami berdiskusi tentang ekologi, mazhab sastra, dan lain sebagainya. Datang penyair tua yang lain, kemudian orang yang bertopi abu-abu juga ikut ngopi, namun berbeda circle. Pada malam itu, di sebuah warung kopi yang dekat dengan bekas rel kereta api, ada tiga circle diskusi.
Semua berdiskusi dengan seni dialektika masing-masing. Dari dekat, kata LEKRA dan LESBUMI keluar dari mulut seorang diskusan. Kemudian saya dengan Bung Gondrong melontarkan kalimat pernyataan dan pertanyaan.
“Bung…, tadi sebenarnya saya ingin membaca puisi berjudul Matinya Seorang Petani, karya Agam Wispi. Tetapi karena situasi dan kondisi kurang mendukung, saya tidak jadi membaca puisi tersebut, wqwq. Emm..ngomong-ngomong tentang sastra? Apakah perlu mazhab seperti ‘realisme sosial’ yang dipopulerkan oleh LEKRA atau ber-universalisme kebudayaan seperti kawan-kawan manifes kebudayaan (Manikebu)?”
“Ya..perlu. Kalau saya lebih ke ekologi. Atau sastra ekologi. Itu menarik kalau dibahas dalam konteks lokal di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi ini. Jangan hanya cinta-cintaan saja, wqwq.”
Kemudian saya menjawab, “Setuju, Bung.” Itu cuplikan dialektika saya dengan Bung Gondrong pada malam itu. Bung Gondrong masih menjaga idealisme ke-jomlo-annya, idealisme gagasan revolusioner, dan tentunya Bung Gondong juga memiliki semangat literasi yang tinggi.
Orang tua bertopi kodok abu-abu, dalam diskusi membeberkan, mana penyair istana ‘kabupaten’ dan mana yang masih benar-benar menjaga independensi dalam seni.
Banyak ibrah yang dapat saya petik dalam acara malam itu. Tak ada yang perlu dibanggakan secara berlebihan. Karena sungkan dengan daun-daun tua yang berguguran di sepanjang jalan menuju pulang.
Sepeda onthel tua bercap singa, menemani kelana pada malam itu. Dari jalanan berbatu hingga aspal akrab dengan ban sepeda ontel tua. Kayuhan kaki berhenti di sebuah gubuk yang mirip pos kampling. Saya rasa tempat itu aman untuk menikmati tengah malam, dini hari, hingga terbitnya Sang Mentari.
Saya rebahkan badan. Tas slempang yang biasa saya kenakan, saya gunakan untuk bantal. Saya amat senang, dengan garis kehidupan yang telah dilukiskan Tuhan kepada saya. Sembari menunggu kabar dari Jakarta yang masih tanda tanya, Buitenzorg yang masih tanda tanya juga, perjalanan ke Probolinggo yang kurang mendukung, dan Harleem yang masih amat sangat dingin, saya akan mengenal Indonesia (Bojonegoro) lebih dekat. Dan mengungkapkan bahwa, “Hidup adalah proses yang tidak akan pernah selesai.”
Saya ingin mengulanginya tiga kali, “Hidup adalah proses yang tidak akan pernah selesai.”, “Hidup adalah proses yang tidak akan pernah selesai.”, dan “Hidup adalah proses yang tidak akan pernah selesai.”
Dalam, “Hidup yang tidak akan pernah selesai”. Saya bisa mengenal orang-orang Indonesia (Bojonegoro) lebih dekat. Ihwal pandangan ekonomi-politik-nya, gerakan, dan lain sebagainya. Namun, hingga tulisan ini lahir, rasa kudu ngguyu, melihat orang-orang yang sering berucap, “Internalmu diselesaikan dulu….”, “kuliahmu ndang diselesaikan”. “masa jomlomu segera selesaikan.”
“Oh, maaf. Saya bukan hamba Tuhan yang tunduk pada aturan ‘kebenaran relatif’. Saya memiliki dunia senidiri. Itu bukan urusan Anda! Apakah orang-orang yang ‘selesai secara intenal’ akan dengan lantang menyuarakan isu kerakyatan? Saya rasa tidak ada hubungan yang terlalu berpengaruh. Selesai atau tidak adalah tafsiran masing-masing.”
Dan kembali lagi, “Hidup adalah proses yang tidak akan pernah selesai.” Baik secara internal maupun eksternal. Kalau Anda pengagum “Hidup harus selesai dengan internal”, silakan pesan nisan ke pembuat nisan dan ukir nama Anda di atas nisan.
Toh, setelah itu, Anda tidak selesai begitu saja. Kenangan tentang Anda, akan mengudara. Karya, gagasan, memorabilia/kenangan orang bersama Anda akan terus berjalan. Bahwa, “Hidup adalah proses yang tidak akan pernah selesai.”
Selesaikanlah dulu ketakutan Anda, baru lantang bersuara. Buat apa ‘sarjana’ namun gemetar berhadapan dengan Si Loreng dan Si Cokelat di gelanggang dunia maya maupun nyata.
Sebagai aktivis kaleng-kaleng, untuk menutup tulisan ini, saya ingin berucap, “Rawat pergerakan yang memiliki pandangan ekonomi politik yang jelas bukan bias, dan hidup adalah proses yang tidak akan pernah selesai.” Jika tidak terima atau kontra dengan tulisan ini, saya dengan senang hati menerima masukan (kritik, saran, dsb) dari siapa saja. Dan jika memungkinkan, mari, ngopi kemudian tabayyun plus muhasabah bersama!