Pertanyaan kenapa kita harus optimistis, saya kira sama tidak pentingnya dengan pertanyaan kenapa kita harus menangis, kenapa kita harus berhenti merokok, atau kenapa aku mencintaimu.
Pertanyaan kenapa kita harus takut, saya kira sama tidak pentingnya dengan pertanyaan kenapa kita menjadi laki-laki/perempuan, kenapa punya kepala, dan kenapa jatuh cinta.
Pertanyaan kenapa harus optimistis dan kenapa harus takut tak membawa apa-apa selain kelihaian mengarang alasan belaka. Padahal dalam hidup, ada kalanya kita menutup mata dari bingkai alasan.
Toh semua tahu, apapun hadir bukan tanpa alasan, bukan? Lalu, kenapa masih saja bingung memikirkan alasan di balik apa yang dilakukan?
Hidup memang selalu dipenuhi ketakutan-ketakutan, kecemasan-kecemasan hingga kekhawatiran-kekhawatiran, yang kadang, itu hanya bayangan belaka dan tak pernah terbuktikan.
Ketakutan, kecemasan dan kekhawatiran, bagi saya semacam aplikasi dalam tubuh. Ia ada sebagai perangkat lunak bawaan. Kita bisa menginstalnya, namun bisa juga mengabaikannya.
Meski, tentu saja, seringnya, kita tetap menginstal dan merasakan pengaruh dan dampak buruknya. Dan itu sangat wajar belaka. Sebab, seberani apapun manusia di dunia ini, memiliki ketakutan adalah niscaya.
Ketakutan memiliki fase yang berbeda di tiap tahap hidup manusia. Saat bersekolah, tak bisa mengerjakan PR adalah ketakutan. Lalu, saat kuliah, ia bergeser menjadi takut tidak lulus.
Pasca lulus kuliah, ketakutan mewujud menjadi takut tak dapat jodoh dan tak dapat pekerjaan. Setelah dapat pekerjaan dan menikah, takut tidak punya keturunan. Setelah punya keturunan, takut tidak bisa mencukupi kebutuhan.
Sebenarnya, daftar ketakutan itu masih bisa diperpanjang hingga panjangnya melebihi gerbong kereta api. Tapi saya tidak memilih melakukan itu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa ketakutan selalu ada di tiap fase hidup manusia.
Dari sanalah, Tuhan berperan memberi banyak kejutan. Apa yang kerap kita takutkan, seringnya justru tidak pernah terjadi. Tapi sialnya, terkadang kita sudah kadung ketakutan terlebih dahulu.
Di usia 12 tahun, bapak mengirim saya ke salah satu pondok pesantren di Jawa Timur. Harapannya, tentu agar saya bisa menjadi anak yang saleh dan paham agama.
Tapi, saya keburu takut kena hapalan dan menerima pelajaran Ilmu Falak. Dampaknya, saya takut dan tidak betah di-pondokkan. Tiap kali ditanya, saya selalu menangis.
Bapak memindahkan saya ke pondok pesantren lainnya. Tak butuh waktu lama. Ketakutan saya akan hapalan dan Ilmu Falak kembali menghinggapi.
Saya pun tidak betah dan memilih di rumah saja. Meski, hingga waktu itu, saya juga masih belum menerima hapalan maupun bertemu pelajaran Ilmu Falak.
Upaya orangtua mengirimkan dan mencarikan saya pondok pesantren serupa usaha Goku mencari 7 bola naga atau Luffy dkk mencari harta karun rahasia. Penuh seluruh dan tak kenal patah semangat.
Meski, pada akhirnya, saya hanya belajar di dekat rumah saja. Sebab target saya sederhana: saat tidak betah dan takut menerima pelajaran, saya bisa langsung pulang ke rumah.
Ketakutan saya pada hapalan dan Ilmu Falak ternyata tidak terbukti. Dan tidak akan pernah terbukti. Sebab saya sadar bahwa selain saya punya bakat menghapal, hapalan juga menyenangkan ketika dilakukan bersama banyak teman.
Ilmu Falak yang benar-benar saya takuti ternyata juga tidak begitu menyeramkan. Dia menyenangkan karena mempelajari lintasan benda-benda langit —konfigurasi bumi, bulan dan matahari. Sesuatu yang sesungguhnya sangat saya gemari.
Tapi sialnya, kesadaran dan pemahaman saya akan asyiknya hapalan dan tidak menakutkannya Ilmu Falak, justru datang ketika usia saya sudah 18 tahun. Usia penuh goda bagi lelaki muda.
Bisa dibayangkan, saya menyimpan ketakutan semu pada Ilmu Falak selama hampir 6 tahun. Penyebabnya sederhana: saya tidak tahu ilmu Falak itu apa. Dan saya mengira semua yang mondok akan menerimanya.
Padahal, jika toh menyeramkan, tentu bisa memilih untuk tidak menerima pelajaran tersebut. Tapi saya kadung ketakutan. Saya takut pada istilah. Namun belum tahu apa di balik istilah itu.
Terkadang saya menyesal, kenapa saat saya berusia 12 tahun dulu, belum ada mesin pencari serupa Google. Andai dulu sudah ada Google, tentu saya akan tahu apa itu Ilmu Falak. Dan andai sudah tahu, tentu saya tidak akan merasa takut.
Tapi sialnya, berandai-andai pada masa lalu justru memperbesar penyesalan. Dan saya selalu berupaya untuk tidak pernah berandai-andai pada masa lalu. Sebab jika itu saya lakukan, banyak perkara yang akan saya sesalkan.
Kenapa harus optimistis?
Seperti bayang-bayang saat tubuh mendekati cahaya, ketakutan akan selalu ada dalam diri manusia. Bentuknya beragam. Wujudnya variatif. Sesuai tahap fase hidup manusia.
Jika Tuhan selalu menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan, berarti, ketakutan juga punya pasangan dong. Iya, ketakutan pasti punya pasangan: Keberanian.
Meski KBBI mengatakan jika optimistis maupun optimisme sebagai: penuh harap, saya mengartikannya agak beda. Bagi saya, optimisme dan optimistis adalah laku berani. Keberanian. Berani berharap.
Jika sudah pernah takut, tidak ada salahnya untuk pernah optimistis bukan? Bukankah untuk melahirkan sesuatu yang baru, harus berpasangan?
Saat merasakan makanan yang pedas, kita bisa reflek mencari penawar berupa minum air. Lalu, saat kita merasa ketakutan, kenapa kita tidak segera mencari penawar berupa optimisme?
Saya memaknai optimisme bukan sesuatu yang vulgar dan harus tampak di muka. Optimisme juga tidak harus bersuara dan terdengar di telinga. Tapi ia ada. Tapi ia berada.
Optimisme adalah pasangan dari ketakutan. Atau ketakutan adalah pasangan dari optimisme. Sebab barangkali, ketakutan dan optimisme adalah dua sejoli yang melahirkan kita ke muka bumi.