Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Cecurhatan

Hidup Selama Pandemi, Sebuah Pengalaman dari Kaca Mata Kelas Pekerja

Adi Prabowo by Adi Prabowo
12/01/2022
in Cecurhatan
Hidup Selama Pandemi, Sebuah Pengalaman dari Kaca Mata Kelas Pekerja
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Selama pandemi, frasa bahagia memang absurd. Tapi berucap syukur adalah secuil makna kearifan hidup.

Ketika akhir tahun 2019, isu covid mulai masuk ke Indonesia. Tahun 2020, hingga pertengahan 2021, adalah masa yang sulit. Kita tidak bisa memungkiri bahwa pandemi COVID-19 yang berlangsung selama hampir dua tahun ini telah mengobrak-abrik setiap lini kehidupan kita.

Beberapa tahun sejak pandemi semakin parah di pertengahan tahun itu, pikiran saya sudah tidak bisa diajak berkompromi.

Saya adalah pekerja yang terjebak krisis ekonomi dampak dari pemberlakuan berbagai langkah antisipatif seperti PSBB, PPKM, social distancing, DiRumahSaja, WFH, dan berbagai ragam kebijakan yang lainnya.

Sebagaimana ribuan pekerja lain. Di sebuah desa kecil di pinggiran kota Madiun, kota dimana tempat ribuan bahkan jutaan kelas pekerja terus bergeliat dengan berbagai kesulitan yang terjadi selama pandemi.

Lewat sudut kamar 3×3, saya melihat bagaimana pelan-pelan pandemi semakin mengancam tak hanya kesehatan, tetapi juga berbagai sektor ekonomi.

Bertahan dari hari ke hari, rasanya penuh ketidakpastian. Bagaimana spesies microkospic sekecil itu datang mengancam sebuah geliat kehidupan manusia di lima Benua.

Nabs, saya tak ubahnya pemuda desa yang punya mimpi modernis bekerja dan sukses membangun kehidupan ketika dewasa. Tapi sebagaimana hingar bingar dunia menyimpan banyak sudut-sudut duka, mimpi saya juga tak sepenuhnya tercapai.

Seperti mimpi-mimpi pemuda lain; mimpi itu tersangkut di awang-awang.

Belum lagi pandemi semakin mengancam mobilitas perekonomian berbagai sektor. Tak banyak yang bisa saya kerjakan untuk menambal penghasilan.

Hidup dengan berbagai kesulitan lebih-lebih dengan adanya musibah pandemi. Bagi saya, hari ke hari itu hanya sekadar bagaimana bertahan hidup, tegar di antara tegang rasa lapar keseharian yang nyata, impian punya rumah, dan tanah yang ngablu bersama berita naik turunnya saham, aset, ekonomi digital, dan lain sebagainya, yang tak pernah mampir di depan pintu rumah menyembuhkan perut yang lapar.

Bersama setiap ketidakpastian itu, saya kerap dihantui pertanyaan. Bagaimana nasib kelas pekerja yang tidak lebih beruntung daripada saya?

Mereka yang menghidupi keluarga, buruh yang harus memenuhi cicilan rumah atau pemuda desa yang datang ke kota besar berkelindan dengan kebutuhan harian yang mesti dipenuhi dengan berbagai ancaman di tengah pandemi seperti ini.

Hidup terasing di kota orang lain pada masa pandemi Covid-19 tidak mudah.

Peribahasa, “lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang lain”, tidak berlaku. Semua negara sedang “hujan batu” akibat Covid-19.

Ini bukan pertanyaan yang lahir dari perasaan moralis, ingin menolong atau menyelesaikan masalah jutaan orang papa yang tersebar di sudut-sudut tersembunyi Indonesia.

Ini adalah kegelisahan yang lahir persis karena saya tahu buruh di Indonesia bukan hanya saya dan beberapa orang saja, ini juga wakil yang untuk melihat orang lain dari apa yang saya rasakan.

Dari penduduk di berbagai pulau yang tersebar di Indonesia, punya kompleksitasnya sendiri. Di tengah berbagai derap dan prioritas kehidupan kelas minoritas mengarah pada kecemasan hidup bercampur aduk dengan ketakutan.

Orang dikejar ketakutan, kehidupan sosial berubah. Bahwa kita tahu virus ini tak dapat disepelekan adalah keyakinan yang saya pegang. Virus corona berbahaya, lebih berbahaya jika tidak ditangani dengan baik.

Saya tak bisa berbuat banyak ketika berbagai sektor ekonomi lain yang sebelumnya menawarkan kemilau penghasilan yang lebih menggoda menjadi lumpuh sebab pandemi.

Hanya mengandalkan kesuburan tanah dan keringat menjadi petani harapan satu-satunya yang tak pernah ingkar janji bagi saya. Ini adalah upaya diri menguji kembali pengetahuan dan cara hidup selama pandemi dari pinggiran.

Setelah selama hampir dua tahun babak belur dihajar pandemi. Tahun 2021 telah mencapai ujung meski harus bersabar sampai saat ini tiba, tampaknya ada harga yang perlu saya bayar di penghujung tahun ini selain menyambut datangnya tahun baru.

Saya perlu menegaskan rasa syukur, pertama karena pandemi telah mereda meski kita tetap harus waspada.

Kedua, karena rentetan panjang kejadian selama pandemi saya bisa belajar bagaimana saya bisa lebih empati pada orang lain dan memperoleh pelajaran ketika hidup dihantam kesulitan. Bertahan dan bersabar sampai waktu di mana COVID-19 bisa dikendalikan.

Menemukan hal-hal baru di luar dari apa yang pernah saya bayangkan. Sadar bahwa dalam diktum waktu, lakon hidup selalu menjadi pusat untuk dibaca dan dimaknai.

Tentang penyerahan diri, meredam ambisi, dan kekecewaan adalah wacana yang cukup menarik untuk direnungkan.

Bagaimana semua porak-poranda akibat makhluk microkospic tersebut. Yang terjadi kemudian kehidupan berkubang dalam kekurangan dan keterbatasan menjadi katalisator yang menjelaskan tentang arti sebuah kedewasaan hidup.

Tentang bagaimana kita sebagai makhluk hidup memiliki kewajiban dan tuntutan yang terbentuk dari banyaknya harapan yang berbeda antara satu sama lain. Bangun, menyadari, mengenal, menerima, dan berusaha mengatur diri sambil menjalani kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, hal itulah yang menjadi nyawa utama.

Akhirnya catatan hidup selama tahun 2021 ini, bagi saya adalah melihat geliat hidup yang sesungguhnya, berjibaku dengan rasa takut dan cemas selama pandemi, keluar dari ketakutan mencari ketenangan.

Kendatipun selama padami itu frasa bahagia memang absurd. Tapi berucap syukur adalah secuil makna kearifan hidup. Bagaimanapun rasa syukur adalah kredo hidup dalam bagian yang diberlakukan pemerintah untuk mencecah penyebaran virus Covid 19.

Tags: Cerita BuruhCovid-19Pengalaman

BERITA MENARIK LAINNYA

Mencermati Bahasa Indonesia Generasi Milenial
Cecurhatan

Mencermati Bahasa Indonesia Generasi Milenial

25/05/2022
Agar Anak Kita Peduli Lingkungan
Cecurhatan

Agar Anak Kita Peduli Lingkungan

24/05/2022
Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan
Cecurhatan

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

16/05/2022

REKOMENDASI

Mencermati Bahasa Indonesia Generasi Milenial

Mencermati Bahasa Indonesia Generasi Milenial

25/05/2022
Agar Anak Kita Peduli Lingkungan

Agar Anak Kita Peduli Lingkungan

24/05/2022
Tauladan Membaca di Tengah Keluarga

Tauladan Membaca di Tengah Keluarga

23/05/2022
Syekh Yahya Klangon: Perang Jawa dan Peradaban Islam Kota Bojonegoro

Syekh Yahya Klangon: Perang Jawa dan Peradaban Islam Kota Bojonegoro

22/05/2022
Politik Hukum Kebangkitan Nasional

Politik Hukum Kebangkitan Nasional

21/05/2022
Semangat Al-Birru: Pelajaran Kesepuluh dari Kiai Ahmad Dahlan

Semangat Al-Birru: Pelajaran Kesepuluh dari Kiai Ahmad Dahlan

20/05/2022

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved