Hikaru Matsuyama tentu karakter yang kalah populer dibanding Tsubasa Ozora, Taro Misaki, Kojiro Hyuga, atau Wakabayashi. Tapi, ia adalah manifestasi dari apa yang disebut filsuf Hannah Arendt sebagai: maaf dan janji.
Matsuyama bukanlah sosok yang dianugerahi bakat brilian. Ia menjadi manifestasi dari sosok yang mencintai dan bermimpi sebagai pesepakbola, oleh karenanya berjuang dan berlatih keras demi mewujudkannya. Ia adalah wujud aktual dari kata-kata motivasional JKT 48: Usaha keras tak akan mengkhianati.
Matsuyama adalah pemain yang elegan. Citra elegan Matsuyama tidak hanya menonjol dalam kepribadiannya, melainkan juga dalam gaya dan peran yang dia perankan.
Di antara banyak posisi yang bisa Matsuyama perankan, perannya sebagai seorang gelandang bertahan memikatku. Posisi dan peran yang dimainkan itu berada di depan pemain belakang: memainkan peran penyeimbang antara menyerang dan bertahan; melihat ke depan juga ke belakang.
Saat fase menyerang ia menjadi penghubung pemain belakang dengan pemain depan. Kemampuan untuk membuka ruang dengan mengirim umpan yang brilian ke pemain kawan sangat penting.
Sementara saat tim dalam fase bertahan, ia menjadi orang pertama yang bertugas untuk menghadang serangan lawan. Peran dan posisi ini dalam sepakbola modern disebut dengan regista atau deep-lying playmaker.
Imajinasiku tentang sosok Matsuyama ini terefleksikan dalam kehidupan nyata. Pemain sepakbola favoritku adalah pemain dengan posisi dan peran yang sama dengan Matsuyama.
Andrea Pirlo, Michael Carrick, dan Ahmad Bustomi di antara nama pemain sepakbola favoritku. Begitu pun saat bermain sepakbola, posisi dan peran di depan pemain belakang adalah favoritku.
** **
Filsuf perempuan Hannah Arendt mengajukan gagasan perihal maaf dan janji sebagai solusi atas pertikaian dan konflik dalam hidup manusia.
Manusia tidak bisa kembali ke masa lalu, karenanya maaf dan memaafkan menjadi syarat agar terbebas dari beban dan kesalahan yang terjadi.
Sebaliknya, manusia tidak bisa memprediksi masa depan, sebab itulah janji menjadi kunci agar ada jaminan bahwa kesalahan yang terjadi tidak terulang lagi di masa depan.
Maaf dan memaafkan adalah tindakan kuratif atas kesalahan, sedangkan janji menjadi upaya preventif agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan.
Berdamai dengan diri sendiri, dapat terwujud, jika manusia menginsafi maaf dan janji. Keduanya menawarkan kunci untuk manusia agar seimbang dalam perjalanan hidupnya: tidak terkungkung masa lalu dan berorientasi perbaikan ke masa depan.
Kesalahan menjadi perihal yang tidak bisa dihindari manusia dan sebaliknya, komitmen perbaikan harus selalu dipegang agar kehidupan menjadi lebih baik.
Terlalu berorientasi ke belakang akan terjebak nostalgia tak henti-henti. Terlalu kencang menghadap ke masa depan, berpotensi untuk menerabas batas.
Sebagaimana sepakbola yang saat menyerang tidak boleh lupa bertahan, atau saat fokus bertahan jangan lupakan untuk mencetak angka dengan menyerang ke depan, keduanya harus seimbang.
Masa lalu bagi manusia bukan untuk dilupakan, melainkan untuk diinsafi sebagai modal melangkah ke depan. Setiap manusia selayaknya mampu menyeimbangkan dan mendamaikan masa lalu dan masa depan.
Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika menyebut bahwa kita semua adalah regista. Kita adalah Matsuyama.