Fenomena perampasan lahan jadi tak terlihat ketika kita semua sibuk memperhatikan Covid 19. Berikut hikayat perampasan lahan dari masa ke masa.
Tahun 2020 menjadi tahun yang sulit bagi masyarakat Indonesia. Sejak masuknya virus Covid-19 ke Indonesia, pemerintah dengan lantang menyerukan physical distancing atau bahkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah.
Efek samping diberlakukannya PSBB yaitu sejumlah industri dan mata pencaharian menjadi tersendat.
Masyarakat kecil seperti buruh, petani, pedagang, dan lain sebagainya mengalami dampak yang paling besar.
Seperti halnya dengan adanya Hari Tani Nasional tahun ini yang masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana permasalahan tentang perampasan lahan milik petani masih terus terjadi dan seakan tidak ada titik akhir penyelesaiannya.
Tidak sampai di situ, pada bulan selanjutnya setelah perayaan Hari Tani, rakyat Indonesia dibuat lebih sengsara dengan disahkannya UU Cipta Kerja Omnibus Law pada 8 Oktober 2020. Dimana sebelum Undang-Undang disahkan, banyak penolakan terhadap beberapa pasal yang merugikan lingkungan hingga petani itu sendiri.
Dalam perkembangannya, petani yang semula melawan kolonialisme atas hak kepemilikan tanah, berubah melawan bangsa sendiri dalam kata lain, para pemilik modal dan aparat yang melakukan perampasan lahan.
Melihat Sejarah
Berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) RI No. 169 tahun 1963, tanggal 24 September ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional. Penetapan Hari Tani ini muncul karena lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 1960, yang sekaligus menjadi arti penting perlawanan petani terhadap kolonialisme dan hak atas kepemilikan tanah.
Permasalahan agraria sudah terjadi jauh sebelum ditetapkannya UUPA pada 1960. Pada 1865 Undang-undang kehutanan pertama kali diterbitkan, yang melanjutkan prinsip kekuasaan negara (state domain) pada masa Raffles dan menjadi sebab dari kelahiran Agrarische Wet 1870 yang menyatakan bahwa semua tanah (termasuk yang di luar Jawa) diklaim sebagai hak milik.
Untuk mengatur pelaksanaan Agrarische Wet 1870, maka dibuatlah aturan pelaksanaannya yaitu Agrarisch Besluit 1870. Aturan ini menjadi sangat berpengaruh karena melalu aturan ini diperkenalkan satu asas yang disebut domein verklaring (pernyataan milik).
Pada akhir abad ke-19, VOC mengklaim hak atas hasil tanah, pengerahan tenaga kerja, dan pengumpulan pajak.
Pada masa Soekarno, potensi hutan di luar pulau Jawa masih belum bisa dimaksimalkan.
Antara tahun 1950 hingga tahun 1960-an, pembangunan sektor industri kehutanan masih dalam tahap perencanaan. Struktur birokrasi kehutanan masih di bawah Kementrian Pertanian dan belum terorganisir dengan baik, sehingga belum bisa memberikan peningkatan riil terhadap devisa negara.
Pada periode Orde Lama ini juga, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-peraturan Pokok tentang Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA) mulai ditetapkan. Pada periode ini juga ada desakan kepada pemerintah untuk segera membuat produk undang-undang agrarian baru menggantikan warisan kolonial yang tidak merugikan masyarakat Indonesia.
Produk baru yang dibuat ialah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir. Akan tetapi, UUPA tetap paling berpengaruh besar terhadap politik pertanahan sehingga menjadi undang-undang yang dibahas khusus pada periode ini.
Pada masa Orde Baru, dasar hukum utama pada sektor kehutanan ialah Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) Nomor 5 Tahun 1967. Undang-Undang ini merupakan sumber hukum utama dalam penyusunan kebijakan kehutanan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun.
UUPK inilah yang menjadi lahirnya kategorisasi pemilikan hutan sebagai “hutan negara”, yaitu kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Undang-Undaang ini juga memasukka hutan adat menjadi hutan negara.
Pada masa reformasi, aspirasi daerah semakin didengar, pendekatan pusat (top-down approach) ditinggalkan, dan wewenang pemerintah pun dibagi. Maka pada periode ini ditandai dengan munculnya peraturan-peraturan daerah baik tentang masyarakat hukum adat maupun tentang hak ulayat.
UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1967. Dalam konteks hutan adat, beberapa norma dari undang-undang sebelumnya masih diteruskan oleh UU 41/1999.
Darurat Agraria
Dari tahun ke tahun nampaknya masih banyak konflik agraria yang terjadi di Indonesia, apalagi ditambah adanya pandemi Covid-19. Tidak sampai di situ, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada bulan Oktober 2020 semakin merugikan keberlangsungan ekosistem dan lingkungan.
WALHI dalam wacana penolakannya menyebutkan bahwa RUU Cipta Kerja menghapuskan izin lingkungan dan diganti dengan persetujuan lingkungan. Pada UU Lingkungan Hidup menyebutkan, setiap orang yang tindakan, usaha, atau kegiatan baik memakai, menghasilkan atau mengelola limbah B3 hingga menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Dalam omnibus law kata “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dihilangkan (Mongabay, 21 Oktober 2020).
Konflik agraria yang masih terjadi hingga kini belum terselesaikan namun ditambah dengan adanya regulasi yang berorientasi pada pengerusakan lingkungan. Konflik agraria yang masih terjadi misalnya adalah kasus perampasan lahan.
Pengalihan fungsi lahan secara besar-besaran yang kemudian dijadikan sebagai wilayah industri, pertambangan, dan proyek proyek lainnya yang kemudian dikuasai oleh pemilik modal dan bukan oleh rakyat pemilik tanah sangatlah merugikan.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah mencatat ada 16 kasus perampasan lahan masyarakat yang tersebar di 9 provinsi di Indonesia. Sembilan provinsi yang dimaksud yakni Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Timur, Jambi, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Papua.
Kasus perampasan lahan yang baru-baru ini terjadi di Sumatera, tepatnya konflik antara petani dengan PT. Artha Prigel yang telah menewaskan dua orang petani dan dua orang luka-luka pada 21 Maret 2020. Keduanya tewas ditikam oleh pegawai perusahaan dimana penikaman tersebut dilakukan di hadapan polisi yang melakukan pembackingan (YLBHI, 37:2020).
Kasus ini sudah dilaporkan ke Polres Lahat, namun hingga kini tidak ada perkembangan yang signifikan. Hanya ada satu tersangka dan sementara polisinya tidak terjerat. Kasus ini, menurut YLBHI dilakukan oleh aktor perampas lahan yang tidak tersentuh hukum (impunitas).
Berbagai konflik agraria yang terjadi di tengah pandemi ini menunjukkan realitas pelaksanaan Hak Asasi Manusia yang buruk. Virus yang menakutkan rupanya tidak dapat menghentikan pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan perampasan lahan. YLBHI telah merilis situasi konflik di empat provinsi pada 12 April 2020, yang berarti tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak tahu.
Nabila Syasabil adalah mahasiswa Sejarah Universitas Airlangga Surabaya dari Kota Jombang.
Daftar Bacaan
Arief Rahman. 2013. Sejarah Pengaturan Hutan Adat di Indonesia. Institut Pertanian Bogor
Era Purnamasari. 2020. Badai Pandemi dan Perampasan Lahan: Catatan YLBHI Atas Peminggiran dan Keselamatan Rakyat Oleh Negara. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
MONGABAY. 2020. Mengapa Lingkungan Hidup Terancam dengan Ada Omnibus Law? (online), diambil dari mongabay.co.id, diakses pada tanggal 28 November 2020 pukul 23.45 WIB
SEJARAH SOSIAL. ____. Kronik Agraria Indonesia: Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor (online), diambil dari sejarahsosial.org, diakses pada tanggal 28 November 2020 pukul 22.57 WIB
WALHI. 2020. RUU Cipta Kerja: Cilaka Cipta Investasi, Perkeruh Kondisi Krisis Multidimensi. Kertas Posisi