Jika buku jadi representasi pengetahuan dan ilmu, maka, tidak salah jika ia lebih berbahaya daripada peluru.
Nabsky pasti pernah melihat ilustrasi gambar yang seolah berkata bahwa buku memiliki kekuatan yang sama dengan peluru, atau bahkan lebih. Nah, gambar tersebut tidak salah, Nabs.
Ini karena buku mengandung pengetahuan atau informasi, yang mana dua hal ini adalah salah satu sumber dari kekuasaan, selain senjata, jabatan, dan, tentu saja, uang. Masa, sih?
Michel Foucault, filsuf kontemporer asal Jerman yang begitu terkenal itu, bahkan membuat satu buku khusus berjudul Power/Knowledge yang mengulas hubungan mesra antara kekuasaan dan ilmu pengetahuan.
Di dalam buku itu, dia menjelaskan bagaimana kedua hal itu saling berpengaruh satu sama lain. Bagaimana pengetahuan dijadikan alat propaganda untuk meraih kekuasaan dan juga bagaimana kekuasaan digunakan untuk mempengaruhi pengetahuan.
Kok bisa kekuasaan mempengaruhi pengetahuan? Bisa banget dong. Lewat kebijakan dan anggaran pendidikan, lewat perijinan buku-buku yang diterbitkan dan diperjual-belikan di satu negara, lewat kontrol terhadap institusi perpustakaan, dan banyak lagi.
Nabsky tentu ingat dari masa ke masa, ada jenis-jenis buku yang dilarang oleh pemerintah yang berkuasa. Kenapa? Tentu karena dianggap sebagai ancaman.
Contoh nih, di jaman penjajahan Belanda, pribumi tidak diperbolehkan menerbitkan buku-buku yang bisa membuat pribumi terprovokasi untuk melawan penjajahan dan merebut kemerdekaan.
Bangkitnya semangat nasionalisme tentu akan mengancam dominasi Belanda di Indonesia, sehingga kontrol ketat dilakukan pada penerbit dan juga penjual buku.
Setelah merdeka, tentu hubungan mesra kuasa dan pengetahuan masih bisa kita lihat geliatnya. Era orde baru sampai dengan era reformasi juga banyak sekali buku-buku yang dirampas.
Apalagi di era orde baru, bukan saja buku yang dikontrol secara ketat. Pers dan media yang merupakan sarana lain ilmu pengetahuan juga banyak yang dibreidel. Tempo adalah salah satu media yang dibredel kala itu.
Bahkan nih, Nabs, di akhir tahun lalu ketika kebebasan telah dijamin di dalam undang-undang dasar, ketika hak untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat juga dilindungi, nyatanya masih saja ada aksi-aksi memalukan yang dilakukan oleh aparat di Kota Kediri.
Kenapa buku dilarang, koran dibredel, media ditekan? Karena pengetahuan punya pengaruh luar biasa bagi manusia. Karena pengetahuan tidak bekerja dengan dominasi dan paksaan yang kelak akan luntur dengan aksi perlawanan, ia bekerja secara halus dan menjangkiti pikiran, yang mengendalikan kepercayaan dan laku seseorang.
Itu mengapa buku dikatakan lebih berbahaya dari peluru. Sebab, jika buku jadi representasi pengetahuan dan ilmu, maka, tidak salah jika ia lebih berbahaya daripada peluru.
Waduh, ngeri juga ya kalau pengetahuan ternyata disalahgunakan untuk kepentingan segelintir orang.
Ketika kita secara tidak sadar dipengaruhi oleh informasi yang salah, yang kemudian membuat kita melakukan tindakan merugikan bagi banyak orang dan diri sendiri, tapi justru menguntungkan sebagian orang.
Nah, Nabs, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, penting sekali buat kita membekali diri dengan pengetahuan yang banyak dan informasi dari beragam sumber.
Ini memberikan kita kesempatan untuk menimbang dan membandingkan seluruh data. Kemudian, kita bisa memilah dengan akal sehat, data mana saja yang bisa kita percaya kebenarannya.
Caranya bagaimana? Banyak baca buku, banyak berinteraksi dengan orang, banyak baca berita dan tentu saja dari berbagai sumber. Tidak hanya satu. Sekarang, akses informasi bisa mudah sekali diperoleh, tinggal buka HP dan ada banyak sekali yang bisa kita telusuri.
Akses buku juga semakin mudah karena perpustakaan bisa dikunjungi di setiap daerah, bahkan beberapa orang menggelar lapak baca gratis di jalan-jalan. Kalian bisa tuh, datang dan membaca di sana sembari berdiskusi untuk mengetahui sudut pandang lain dalam berpikir.
Dengan pengetahuan yang luas, kita jadi punya pegangan untuk tidak terombang-ambing dalam pusaran arus informasi yang bebas. Kalau kata anak-anak muda Bojonegoro, Ngaostik, ngaos dan stik (tongkat/pegangan): membaca adalah pegangan hidup.
Bukan hanya baca buku, tapi juga baca isi hati si dia. Biar hatimu juga tidak diombang-ambing ketidakpastian. Wqwq ~