Perokok dan yang bukan perokok adalah manusia. Dan manusia, tempatnya salah dan lupa.
Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin. Tentunya kamu tidak asing dengan petuah peringatan tersebut.
Pesan peringatan itu, akan kamu jumpai pada berbagai macam kemasan produk tembakau. Di mana, menunjukan efek dari produk yang ada di dalamnya.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 memberlakukan, kemasan produk tembakau harus menyertakan gambar, peringatan wajib dan pembatasan usia (18+).
Setelah pengenalan gambar grafis dalam kemasan rokok Indonesia, pada 24 Juni 2014, semua produk rokok menggunakan gambar dan tulisan untuk peringatan merokok.
Desember 2018, iklan rokok di televisi mulai memperkencang peringatan akan bahaya merokok. Gencarnya peringatan akan bahaya merokok, seolah menjadikan rokok sebagai kambing hitam.
Perkara itu menjadi peluang bagi aktivis anti rokok untuk membombardir pertahanan para perokok. Terlebih, statement Pak Sutopo dijadikan senjata utama untuk bermain peluang. Hingga apapun penyakitnya, rokoklah penyebabnya.
Sedang para perokok, tak kalah cerdas, mereka membela diri dengan argumentasi cukai rokok bisa menopang dana kesehatan bagi negeri. Padahal, sudah sejak zaman Majapahit, cukai adalah upeti.
Cukai rokok adalah upeti dari barang berbahaya. Yang tujuannya, mengendalikan peredaran agar tidak over load. Karena itu, diberi cukai. Sedang pendapatan dari cukai, digunakan untuk keperluan negara.
Dari cukai tersebut, mau dialokasikan kemana itu menjadi urusan pengambil kebijakan. Yang penting, masih mengakomodaai kebutuhan masyarakat.
Karena itu, bagi kamu para perokok, tak usahlah berakting seperti pahlawan tak bertopeng dengan dalih turut andil menopang dana kesehatan masyarakat.
Sedang buat yang tak merokok, tak perlu lah bermain peluang dengan mengkambing hitamkan rokok, hingga muncul apapun penyakitnya, rokoklah penyebabnya.
Ditilik dari teori apapun, rokok memang lebih banyak mudharatnya. Terlalu banyak merokok, membikin seseorang lebih memprioritaskan rokok dibanding kebutuhan lain. Itu belum unsur kesehatan.
Kelangkaan rokok, juga berdampak buruk. Sebab, bisa menimbulkan kriminalitas. Misalnya, untuk beli rokok, seorang perokok terpaksa mencuri karena harganya mahal. Itu belum unsur hilangnya lapangan kerja bagi buruh tembakau.
Jadi, merokok itu buruk. Tapi, mempersulit regulasi rokok yang memicu kelangkaan rokok, juga buruk. Yang jelas, perokok adalah manusia. Sedangkan yang bukan perokok, juga manusia. Dan manusia, tempatnya salah dan lupa — suka lupa kalau dia tempatnya salah dan lupa.