Menguak penyebab maraknya pohon yang tetumbangan, tim kami menginterview perwakilan paguyuban pohon pinggir jalan dan koordinator angin kencang. Berikut narasinya.
Bencana angin kencang terjadi beberapakali di Bojonegoro. Bulan kemarin, banyak pohon tumbang akibat angin yang tak bisa mengendalikan diri. Pertanyaannya, semara-mara itukah angin pada manusia?
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro, total sebanyak 1.445 rumah alami kerusakan akibat bencana angin kencang. Detailnya: 1.204 rumah rusak ringan, 194 rumah rusak sedang, dan 47 rumah rusak berat, seperti dikutip dari Kompas.com
Data tersebut, tentu bukan isapan kelingking belaka. Tapi benar-benar terjadi dan ada. Angin yang biasanya sejuk dan diharap-harap kehadirannya, tiba-tiba murka merusak banyak fasilitas.
Memang, tak hanya rumah yang rusak dan roboh akibat angin. Puluhan pohon dan tempat perbelanjaan juga menjadi korban. Pohon-pohon pinggir jalan, misalnya, bahkan banyak yang tumbang dan roboh secara berjamaah.
“Saya tidak tahu, tiba-tiba mereka tumbang begitu saja,” kata sebatang pohon berukuran tanggung.
Ia menceritakan jika angin datang memang tak seperti biasanya. Agak tergesa-gesa dan sedikit mengabaikan rambu-rambu yang mengatur kapan seharusnya ia pelan dan kapan seharusnya ia meningkatkan kecepatan.
“Sepertinya angin agak marah.” Ucapnya lugu khas ABG labil.
Pohon berukuran tanggung itu tak ikut tumbang karena ukurannya tak terlalu besar. Selain ukurannya kecil, saat angin kencang datang, ia aman karena di depannya ada banyak toko yang berderet-deret. Sehingga mampu memecah keganasan angin.
Tapi, hal berbeda tentu dirasakan pohon besar. Pohon-pohon dengan jumlah usia yang melebihi jumlah jari manusia tersebut, terlihat banyak tetumbangan. Di jalanan, pohon-pohon itu seperti guling yang berada di kasur tempat tidur: selonjoran. Mereka tak kuat menahan angin yang tiba-tiba datang.
“Ya, roboh saja. Biar diperhatiin,” ucap salah satu pohon besar yang asyik menumbangkan diri.
Pohon mahoni berdiameter 120 cm itu menjelaskan, saat hujan badai terjadi, sesungguhnya angin yang datang tak kencang-kencang amat. Setidaknya tak lebih kencang dari mulut seorang politisi. Hanya, dia memang sengaja merobohkan diri.
Merobohkan diri, kata pohon besar tersebut, kadang menjadi satu-satunya cara agar sebatang pohon bisa diperhatikan manusia. Sebab sejauh ini, manusia hanya butuh teduhnya, tanpa sekalipun memperhatikan kondisi akar pohon itu sendiri.
“Kalau roboh gini kan enak, diperhatiin.” Jelasnya penuh rasa percaya diri.
Menurutnya, manusia terlampau tidak bijaksana. Mereka jarang memperhatikan pohon. Mereka hanya perhatian kala sedang butuh saja. Contohnya, saat kepanasan lalu mencari pohon buat berteduh. Itu kan mirip lirik lagu Mundur Alon-alon: mung dibutuhno pas atimu loro.
Sesungguhnya, kata dia, pepohonan adalah sekuat-kuatnya makhluk hidup. Bagaimana tidak, tiap hari menyerap racun dan menggantinya dengan oksigen. Serupa menyerap pedih dan menggantinya dengan kebahagiaan.
Tapi, meski sudah diperlakukan sebaik itu, manusia tetap menjadi makhluk yang sulit mengucap rasa terima kasih. Tak hanya sering mengabaikan, tapi kian bodoh dengan mempersempit ruang hidup pepohonan.
Jadi, daripada cuma dijadikan tambal butoh, ucap pohon besar itu, ya mending memilih roboh. Toh dengan merobohkan diri, ia justru bisa lebih jadi perhatian khalayak ramai. Terlebih, lokasi robohnya pohon-pohon itu di jalan raya besar, bukan di tengah hutan.
Saat ditanya kenapa jumlah pohon yang roboh amat banyak, pohon besar itu mengatakan, memang sebelumnya sudah ada obrolan antar sesama pohon. Dari obrolan serius tersebut, lahir kesepakatan jika sudah waktunya mereka merobohkan diri.
“Bukan anginnya yang besar, tapi kitanya yang lagi pengen roboh. Angin saja kaget kok saat kita roboh,” tuturnya.
Ia menjelaskan, sesungguhnya angin datang dengan kecepatan 15 knot atau 24 km per jam. Itu memang kecepatan angin maksimum yang normal dan tidak luar biasa. Tapi, karena Paguyuban Pohon Pinggir Jalan sudah berniat roboh, kata ia: ya roboh saja.
Sementara itu, koordinator angin kencang yang sempat ditemui menceritakan, sore itu, mereka datang dengan kecepatan normal. Bahkan, seperti kecepatan saat hari-hari biasanya. Namun, karena pohon lagi pengen roboh, angin pun menambah kecepatan.
“Kecepatan kami sih biasa. Cuma ada reques dari paguyuban pohon agar mereka dirobohkan saja.” Jelasnya.
Angin kencang yang saat diwawancarai sedang asyik berembus itu menjelaskan, sebenarnya, ia kasihan pada pohon. Sebab, akhir-akhir ini, selain jarang mendapat perhatian manusia, ruang hidup pertumbuhan akar pohon kian menyempit. Sehingga kehidupannya pun terganggu.
Karena itu, saat paguyuban pohon mereques agar pihak angin merobohkan mereka, angin pun mengabulkan. Mengingat, ia kasihan pada nasib pohon yang kian lama kian mengenaskan.
“Kalau kami kan enak, kalau bosan tinggal berembus kemanaa gitu, lha kalau pohon, kan nggak bisa kemana-mana, ya kami kasihan saja.” Ucapnya.
Angin mengakui, sesungguhnya ia sempat tak setuju dengan keinginan pohon. Sebab, jalan tanpa pepohonan seperti kopi sonder gula. Tapi, setelah mendengar cerita sedih yang dialami pepohonan kepadanya, ia pun langsung bergerak cepat tanpa aba-aba.
“Sambil nangis, pohon bercerita tentang kekejaman manusia pada mereka, kami pun langsung marah. Kami marah bukan pada pohon, tapi pada manusia.” Kisahnya hampir terbawa emosi.
Angin yang awalnya kalem pun, karena mendengar kisah sedih dari pohon, langsung marah dan mengabaikan rambu-rambu kapan harus bergerak cepat dan kapan harus bergerak lambat. Mereka langsung gradak sehingga sejumlah pohon pun tumbang.