Banyak orang berkata, lelaki tak seharusnya terlalu menunjukan perasaan mereka. Betapa sungguh ini konvensi yang tidak adil bagiku.
Seakan-akan ada sebuah aturan yang tak pernah disahkan, tapi sangat ketat dan harus dipatuhi hanya untuk memastikan seorang lelaki tak kehilangan wibawanya.
Karena itu, aku akan tetap diam meski harus menderita sendirian.
Mungkin itu yang menyebabkanku dengan mudah meledak untuk hal-hal lain. karena ada sebuah tekanan yang terus-menerus kuredam dan akhirnya aku menggunakan momen-momen lain yang tak berkaitan sebagai wadah pelampiasan.
Biasanya, kukeluarkan dalam bentuk kekerasan dan amarah. Tapi, melakukan itu tak akan pernah melegakan, karena aku mengemas muatan itu dengan kata-kata amarah yang jauh dari substansi permasalahanku.
Aku tak pernah benar-benar dengan jujur dan berani mengatakan apa yang persisnya aku rasakan. Gengsi kata banyak orang, padahal bukankah itu sebenarnya varian dari rasa ketakutan?
Aku cemburu padanya, pada seseorang yang aku damba, seseorang yang ingin kudekati. Tapi, tak perlulah melampiaskan rasa cemburu, aku bukan siapa-siapa untuknya.
Jangankan menjadi yang teristimewa, menjalin pertemanan dan komunikasi saja sangan sulit. Aku kembali terikat dengan sebuah aturan tadi; aku lebih memilih diam dan menahan semua ledakan-ledakan api cemburu yang terus membakar di dadaku.
Aku cemburu pada seseorang yang tak tahu bagaimana cara mendekatinya. Pada akhirnya, rasa cemburu ini membakar hingga menghanguskanku secara perlahan dari dalam.
Dan karena aku adalah pria yang ingin mematuhi konvensi dan norma tak tertulis tersebut, maka aku akan tetap diam meski harus menderita sendirian. Bagiku, ini jalan sunyi seorang aktivis lelaki.