Kenapa zebra yang lugu dan baik itu dimangsa buaya? Kenapa jerapah yang lugu dan baik itu dimangsa singa. Aku tak terima.
Nama Rufat Bashar menjadi semacam dongeng bagi para penghuni kos di Asrama Kemangi, tempat di mana saat mahasiswa dulu, saya ngekos. Konon, Rufat pernah ngekos lama di tempat itu.
Bagi mereka yang ngekos di Asrama Kemangi, tak akan asing dengan nama Rufat. Kisah tentang Rufat serupa mitos yang berulangkali diceritakan. Mereka yang tak mengenal Rufat pun, seolah seperti sudah kenal dekat, meski tak pernah sekalipun bertemu.
Saya mendengar kisah Rufat dari Sobirin, teman sekosan saya. Sobirin mendengar kisah itu, dari kakak senior yang lebih lama ngekos di tempat itu. Kakak senior itu mendengar kisah tersebut langsung dari bapak kos, yang kebetulan sangat dekat dengan Hamam, kawan baik Rufat.
Tak banyak yang tahu tentang Rufat dan teman-temannya. Meski hingga hari ini saya belum pernah menemuinya, kisah-kisah tentangnya selalu saya simpan rapi dalam hati. Dan saya ingin menuliskannya. Agar lebih banyak lagi orang yang mendengar kisah tersebut.
Karena itu, tepat bila kisah itu segera saya tulis. Agar para politikus di daerah ini tak menganggap Rufat dan teman-temannya serupa legenda Angling Dharma atau Batman atau Tere Liye. Bahwa Rufat memang ada. Bukan lamunan apalagi tokoh fiksi belaka.
** **
Rufat tak pernah sekalipun terlihat menangis. Setidaknya, itu kata orang-orang yang pernah dekat dengannya. Tapi, di sebuah sore, untuk pertamakalinya, teman-temannya menyaksikan dia menangis tersengguk-sengguk karena perkara yang sepele.
Sore itu sepulang kuliah, Hamam, Rufat, dan Baidil nonton TV bersama. Ini kegiatan yang tak biasa mereka lakukan bersama. Hari itu, mereka sedang mager dan iseng santai di beranda depan kamar kos, sambil melolos berbatang kretek.
Meski hidup sekosan hampir 3 tahun, mereka tak pernah nonton TV bareng. Praktis, hanya saat sedang ada tontonan Piala Dunia atau UEFA saja. Di luar itu, TV serupa radio yang dihidupkan hanya untuk menunjukkan adanya kehidupan di dalam kos.
Karena TV diletakkan di meja yang letaknya di beranda depan kamar, mereka bertiga yang awalnya tak berniat nonton TV pun, jadi nonton begitu saja. Tanpa ada niatan khusus menonton TV. Apalagi nonton bersamaan.
Mereka yang awalnya acuh tak acuh pada layar kaca selebar kardus mie instan tersebut, tiba-tiba seperti anak TK yang disuruh gurunya memperhatikan papan tulis: ngowoh dengan seksama.
Azan Ashar baru berkumandang saat layar TV menampilkan sebuah adegan yang sesungguhnya biasa-biasa saja. Tapi entah kenapa, membuat Rufat seperti kerasukan hakim garis: mendadak menghakimi banyak hal dalam hidup.
Dalam acara bertajuk Wild and Wild and Wild yang ditayangkan salah satu stasiun TV itu, layar kaca menampilkan seekor zebra kehausan yang penuh perjuangan berjalan tertatih demi mencari air minum, hingga ia menemukan sebuah sungai kecil.
Sesaat setelah zebra itu meminum air. Tiba-tiba seekor buaya dengan gerak mengagetkan, keluar dari dalam air dan menggigit leher si zebra. Lalu menggeret zebra itu ke tengah-tengah sungai yang dalam, untuk selanjutnya dimakan bersama buaya-buaya lainnya.
Adegan itu membuat Rufat berdiri dari tempat duduknya. Dia mengisap kreteknya dalam-dalam, lalu menendang asbak yang ada di depan Hamam dan Baidil. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia menyingkir ke arah toilet.
“Mungkin dia kebelet berak,” kata Hamam pada Baidil.
“Dia tak sedang mabuk kan?”
“Tidak.” Jawab Hamam.
Mereka berdua masih menyaksikan kelanjutan adegan dari proses pemangsaan secara tragis tersebut. Sementara Rufat membenamkan diri di toilet, bersama satu puntung rokok yang dia bawa.
15 menit kemudian, Rufat kembali bergabung di dekat mereka, duduk di tengah-tengah mereka. Dia terlihat kalem dan tampak berminat untuk kembali nonton TV bareng . Meski ada yang berbeda di matanya. Kelopaknya memerah. Serupa mata perempuan pasca menangis.
Acara Wild and Wild and Wild masih belum usai. Setelah adegan anaconda memakan tikus dan gerombolan hyena memangsa seekor rusa, kini layar kaca menampilkan sebuah adegan di mana jerapah lari terbirit-birit dikejar gerombolan singa.
Dengan sekali sontekan lengan seberat 50 kg dan gigitan mematikan, seekor singa betina mampu meraih leher jenjang si jerapah lugu itu. Seketika itu juga, terdengar lengkingan suara jerapah yang kesakitan.
Berikutnya, layar kaca menampilkan 4 singa lain yang dengan mudah membenamkan taring di tubuh si jerapah.
Rufat kembali berdiri dari tempat duduknya. Tanpa banyak bicara, dia memukul TV menggunakan tangan kosong. Dan seketika itu juga, TV kehilangan suaranya. Rufat kembali memukul TV itu sampai 3 kali hingga layarnya pecah.
Spontan, Hamam dan Baidil berdiri. Berusaha menenangkan Rufat. Tapi dia seperti tak terima ditenangkan. Dia mendorong Hamam ke belakang hingga roboh berguling-guling. Rufat juga sempat menghantamkan gelas kopi di depan Baidil, untung Baidil sempat menghindar.
Hamam dan Baidil terdiam dan tak berniat melanjutkan perkelahian, ketika mereka melihat air mata menetes di pipi Rufat. Sebuah momentum yang sangat jarang mereka temui. Sebab mereka sadar, kalaupun Rufat dalam kondisi mabuk, dia tak akan pernah menangis.
** **
Siapa yang tak mengenal Rufat Bashar. Untuk urusan berkelahi dan giat-giat berbasis fisik, dia jago sekali. Sesaat sebelum memulai kuliah, dia pernah menghajar 15 mahasiswa senior tanpa ampun hanya gara-gara dia melihat para senior itu menggoda mahasiswi baru.
Jauh-jauh hari sebelum itu, tepatnya saat dia masih berada di bangku SMA, Rufat pernah mendatangi sebuah sekolah, lalu menantang seluruh siswa lelakinya untuk berkelahi dengannya, hanya karena sekolah itu dihuni seorang siswa lelaki yang terkenal playboy.
Tentu saja, siswa playboy itu langsung bersujud di depan Rufat. Sebab, jika itu tak dia lakukan, Rufat akan membakar sekolah beserta isinya. Kisah ini menjadi semacam cerita rakyat yang selalu dituturkan saat penerimaan siswa baru di sekolah Rufat.
Meski terkenal nakal, Rufat sosok yang membenci penindasan dan ketidakadilan. Dia juga benci pada seorang lelaki yang melukai perempuan. Itu alasan banyak lelaki yang tiba-tiba bisa berubah jadi setia dan beriman, saat Rufat melintas di depannya.
** **
Sore itu, saat Hamam dan Baidil melihat Rufat menangis, mereka sangat kaget. Mereka tak mengira, sosok yang mirip Umar Bin Khattab itu menangis tersedu hanya karena melihat tontonan TV. Hamam dan Baidil tak berani bertanya karena takut Rufat kian marah.
“Kenapa zebra yang lugu dan baik itu dimangsa buaya?, Kenapa jerapah yang lugu dan baik itu dimangsa singa. Aku tak terima. Akan kumusnahkan seluruh buaya dan singa yang ada di muka bumi” Kata Rufat kepada mereka berdua, sambil menyeka air mata.
Mendengar ucapan itu, Hamam dan Baidil sempat tertawa dalam hati. Tapi tak berani menampakkannya. Sebab, jika mereka tertawa atau menjawab saat itu juga, amarah Rufat bisa kian tak terbendung.
“Kalau begitu, boleh dong saya bunuh buaya dan singa-singa itu. Toh mereka sudah berani melukai makhluk-makhluk yang lugu dan lemah.”
“Tenang, Rufat. Itu kan rantai makanan. Jadi harus ada. Dan kita tak perlu marah menyaksikan itu,” jawab Hamam pelan.
“Berarti, kalau buaya dan singa-singa itu saya musnahkan, itu juga rantai makanan dan harus ada begitu?”
“Rufat, tenang. Mereka hewan dan kita manusia. Manusia tak akan melakukan itu, Rufat. Jika ada manusia yang berkelakuan demikian, ia bukan manusia. Tapi hewan,” timpal Baidil lebih filosofis.
Rufat terdiam. Dia tampak mengatur nafas untuk melancarkan senggukan tangis. Dia mengusap air mata yang mengucur di pipinya. Dia meminta Hamam dan Baidil mendekat. Lalu memeluk mereka berdua sambil berkata: “Maafkan saya. Saya hanya tak tega melihat hewan lugu yang baik itu, dimangsa hewan yang sudah terbiasa memangsa.”
Mendengar itu, Hamam dan Baidil terkaget dan hampir terlonjak. Itu jawaban yang amat sederhana tapi punya kedalaman makna sedalam samudera. Tak sembarangan orang bisa merenungkannya.
Kalaupun harus memangsa, kata Rufat, hewan-hewan buas itu harusnya memangsa hewan yang pantas untuk dimangsa karena terbiasa menyusahkan, seperti tikus atau hyena atau celeng.
Zebra dan jerapah tak pernah menyusahkan, mereka terlalu lugu untuk dimangsa. Rufat kasihan dan tak terima. Namun, kini amarahnya sudah menguap. Dia mulai bisa kembali berpikir jernih.
** **
Saya dan Sobirin sering merenung saat bercerita tentang Rufat. Sebab, hingga kini kami berdua belum menemukan siapa Rufat yang sebenarnya. Kami sempat mengira jika Rufat Bashar punya hubungan baik dengan bapak kos. Sebab, bapak kos sering dipanggil Pak Bashari.
Atau, bapak kos adalah Rufat itu sendiri?