Salah satu cara menikmati keindahan dari berbagai penjuru bumi tanpa harus menginjakkan kaki, bisa ditempuh dengan jalan literasi.
Saat melihat deskripsi yang berada di bagian buku, membuat saya tertarik membeli. Ditambah lagi tahu siapa penulisnya. Mungkin bagi kawan-kawan yang bergelut di bidang literasi baik itu karya tulis ilmiah, fiksi, puisi, dan lain-lain, sudah tidak asing lagi dengannya.
Pada ulasan kali ini, saya akan coba bercerita secara panjang dan lebar tentang buku dan penulisnya juga, hehe…kebetulan penulisnya merupakan suhu bidang tulis menulis yang tiada dua sebab saban orang memiliki gaya tersendiri dalam menulis.
Salah satu cara menikmati keindahan dari berbagai penjuru bumi tanpa harus menginjakkan kaki, bisa ditempuh dengan jalan literasi. Begitu prinsipnya.
Jika kamu ingin menikmati dan membayangkan nuansa Turki, buku di atas bisa jadi bahan bacaan. Selain itu akan menambah semangat dalam mengarungi kehidupan yang fana dan penuh dengan tanda tanya.
Saat menulis resensi buku keren dari Wahyu Syafi’ul Mubarok, semangat dalam memberi ulasan terhadap karyanya muncul dengan sendirinya. Menyaksikan lembar demi lembar kata, menyambung jadi satu berwujud kalimat pembangun jiwa.
Sebenarnya saya sungkan, ingin memberikan ulasan terkait buku tersebut. Sebab beliaulah yang telah menjadi inspirasi saya ketika bergelut di bidang literasi. Hehe
Memang, Surabaya menyimpan keindahan yang akan tetap dan terus terkenang. Salah satunya bisa bertemu pendekar pena yang lahir di Kota Soto (Lamongan) itu.
Pertama kali tahu beliau, saat kuliah penalaran. Kebetulan Mas Wahyu Syafi’ul Mubarok menjadi mentor, suhu, dan senior panutan bagi mahasiswa se-dunia. Hehehe
Kini tulisan Wahyu Syafi’ul Mubarok, baik yang bergenre fiksi maupun non fiksi, sudah mewarnai jagad bumi. Walau sedang mendalami dan menempuh studi di jurusan Fisika (Ilmu-Ilmu Alam), kepakarannya dalam bidang ilmu sosial seperti sastra tidak usah dipertanyakan lagi.
Terbukti beliau sering juara di beberapa kompetisi dan tidak jarang membuat iri (positif) kawan-kawannya yang juga mendalami studi di bidang rumpun ilmu sosial dan humaniora (sastra).
Buku Jejak dari Istanbul #1, bercerita tentang seorang anak bernama Lindu yang menuntut ilmu di SD Islam Bambu. Lahir di sebuah desa Bambu yang bapaknya berprofesi sebagai kuli elektronik.
Berawal dari Lukisan Haji Kosim, yang bergambar mengenai salah satu ikon Turki (Istanbul) membuat Lindu membayangkan, mencoba bertanya pada bapaknya, dan juga berupaya mengenai apa sebenarnya objek dari lukisan pemberian Haji Kosim tersebut.
Lindu berupaya mencari dengan segala cara tentang lukisan itu. Mencari melalui buku-buku di perpustakaan sekolah yang kecil, perpustakaan lain yang harus ditempuh dengan menggunakan sepeda bersama bapak, sembari menikmati pemandangan alam di desa dan lambaian daun-daun serta suara alam yang bersumber dari bambu.
Pada buku ke-1 itu, begitu menguras perasaan dan hati ketika sampai pada bagian cerita tentang keluarga Lindu. Mulai dari asal nama “Lindu”. Ibunya yang harus meregang nyawa ketika hujan dan bapaknya sedang bertugas membenarkan genset yang mati ketika malam hari dan hujan di desa Bambu.
Di situlah terdapat pelajaran atau ibrah berharga, Nabs. Bagaimana kita harus memuliakan ke dua orang tua kita.
Selain itu, pada bagian pertama buku Jejak dari Istanbul, juga mengisahkan perjuangan Lindu ketika menghadapi Ujian Nasional (UN), sepatu bertuah, menemukan mozaik berupa serpihan tentang Lukisan Haji Kosim dari buku Ensiklopedia Dunia, suasana yang meriah ketika Agustusan di kampung halaman, dan kisah-kisah pembangun jiwa ketika bagaimana Lindu harus merawat bapaknya yang sakit, perjuangan sebelum menginjakkan kaki ke Turki, dan hal-hal lain yang bisa memberikan embun di tengah kehidupan.
Rasanya kurang lengkap, apabila Nabsky belum menyempurnakan bacaan Jejak dari Istanbul #2. Di mana, Nabsky akan dibawa secara tidak langsung menikmati hawa dingin di beberapa kota yang ada di Turki. Pembaca serasa di bawa ke Turki, menikmati salju dan hawa dingin yang berhembus di Turki. Menikmati pemandngan dari balik kaca dengan otobus, azan yang berkumandang di Hagia Sophia, dan hal-hal lain yang penuh ibrah dan inspirasi.
Juga menyaksikan kisah-kisah mengenai tokoh-tokoh penting yang namanya harum di kalangan rakyat Turki seperti Muhammad Al-Fatih yang mampu membuat perubahan di usia muda, Ataturk, dan tokoh-tokoh lain.
Jika Nabsky kepo, silahkan coba cari buku tersebut dan nikmati khazanah ilmu, pengetahuan, dan pengalaman yang bisa dipetik dalam Jejak dari Istanbul. Juga kita akan terbawa menikmati aroma croissant khas Turki di pagi hari, hangatnya chai, hingga keramahan orang-orangnya.
Untuk mengakhiri ulasan ini, saya akan mengutip kalimat yang pernah diutarakan panglima perang kenamaan Prancis, siapa lagi kalau bukan Napoleon Bonaparte: Apabila dunia ini adalah sebuah negara, maka tempat yang paling layak sebagai ibu kotanya adalah Konstantinopel (Turki).