Satu detik sebelum ini adalah lalu, dan detik selanjutnya adalah nanti, sedang kini berdiri di tengah yang samar. Sesamar itu pula beda cinta dan obsesi. Marx, Schopenhauer, Kant dan Plato pun membahas cinta dan obsesi.
Mencintai dengan cara yang paling sederhana adalah membebaskan, tapi kesederhanaan tentu tidak selalu berbanding lurus dengan kemudahan. Bisa jadi yang sederhana itu, seperti kata JokPin, adalah cara yang paling sulit dalam mencintai.
Yang kemudian ditulis dengan keluasan hati seorang Sapardi, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.”
Barangkali, mencintai dengan keluasaan itu adalah membiarkannya berlarian di teras rumah, sembari kita melihatnya sesekali dengan perasaan was-was, apakah ia akan berlari lebih jauh dan kau tak dapat lagi melihat punggungnya yang basah akan keringat, atau apakah ia akan duduk saja termenung memandangi pohon jambu di halaman sembari kau menerka-nerka kemana ia layangkan pikirnya, dan di dalam pikiranmu, kau disiksa rasa ingin tahu.
Dan barangkali, itulah api yang membakar kayu tanpa pernah ia tahu apa yang disimpan di dalamnya. Sementara kau terus diam, tanpa pernah berkata dan melakukan apa.
Sampai detik ini, saya kira, kita semua meraba-raba, bagaimana cara terbaik dalam mencintai. Jika Marx pernah mengatakan bahwa cinta yang tak mengharapkan balas adalah rasa cinta yang mandul, tentu itu karena nafsu untuk memiliki dalam diri Marx lebih besar. Tapi apakah itu sebuah hal yang salah?
Tidak ada yang bisa menentukan salah atau benar dalam hal cinta. Tapi terkadang, kita sulit untuk membedakan mana cinta dan mana obsesi semata, karena garis yang memisahkan mereka setipis kini, lalu, dan nanti.
Satu detik sebelum ini adalah lalu, dan detik selanjutnya adalah nanti, sedang kini berdiri di tengah yang samar. Sesamar itu pula orang kadang tak bisa membedakan cinta dan obsesi.
Pada dasarnya, dalam cinta sendiri pun terdapat nafsu atau gairah, keinginan kuat yang oleh Schopenhauer dikatakan bahwa mulanya dapat dikendalikan, namun dalam kondisi tertentu lambat laun malah berkembang menjadi gairah yang menggebu, yang geloranya sanggup melampaui segala keinginan yang terdapat dalam diri kita.
Yang kemudian menjadi dorongan kuat untuk kita melakukan segalanya demi orang yang kita cintai. Pun demikian dengan obsesi. Untuk itu mengapa dikatakan garis pemisahnya begitu tipis. Atau malah jangan-jangan, keduanya tak terpisah meski tak juga bisa disamakan.
Pembahasan perihal cinta adalah hal yang selalu dianggap amat sepele oleh kebanyakan orang. Terdengar amat mellow dan tidak rasional, untuk itu ia dikesampingkan, tapi sesekali ia menjadi hantu di pojokan kamar yang membuat kita gelisah tak bisa tidur di malam hari.
Saya ingin membicarakan ini supaya kalian juga tak tidur malam nanti, menemani saya mendefinisikan cinta dan memikirkan kembali cara terbaik untuk mencintai. Mengosongkan hati dan menamatkan apa saja yang sudah kita isikan di dalamnya, dan adakah cinta jadi salah satu di antaranya?
Bukan, bukan itu sejujurnya. Mengapa kemudian perkara cinta dianggap sebagai perkara remeh yang tak pantas diberi ruang untuk dibicarakan secara terang di muka umum? Kita sejauh ini hanya membicarakan di dalam kamar, di ruang-ruang temaram ketika mendadak patah hati atau sedang berbunga-bunga karenanya.
Pembicaraan mengenai cinta hanya dilihat dari sisi pengalaman personal yang dengan itu tidak bisa kita dapatkan definisi universal yang dapat kita gunakan bersama-sama sebagaimana pemikiran mengenai persoalan-persoalan lain, seperti politik misalnya.
Plato, tokoh pemikir yang pasti diketahui oleh siapapun yang belajar filsafat, atau bahkan oleh orang-orang yang tak mempelajarinya, pernah dengan begitu serius mengabdikan hidup untuk memahami cinta.
Itu dapat kita lihat dalam karyanya Symposium dan Phaedrus, J.J. Rousseau juga pernah menyinggung cinta secara ringkas dalam bukunya Discours sur I’inegalite.
Kant, Platner, dan bahkan Schopenhauer sekali pun pernah mendedikasikan waktu untuk membahas cinta dengan lebih sungguh-sungguh, dan kita lihat karya-karya mereka kemudian tidak dianggap sebagai hal yang remeh untuk dikesampingkan.
Lantas, mengapa dewasa ini pembahasan perihal cinta dianggap sebagai hal yang remeh? Apa karena jarang ada di antara kita yang mau dengan sungguh-sungguh berpikir tentang itu?
Bagi saya sendiri, ada dua cara mendefinisikan cinta. Cara-cara Barat dengan meminjam pandangan-pandangan Yunani dalam mendefinisikan cinta sebagai suatu yang mulia, yang terbebas dari nafsu dunia, dan murni layaknya cinta pada Ilah.
Lantas cara kedua, dengan meminjam pandangan-pandangan India, yang lebih nyata seperti menekankan pada perwujudannya dalam tindakan yang bisa kita lihat dalam kitab Kamasutra.
Entah padangan ini benar atau salah, kalian tentu boleh mendebatnya. Tapi mana yang paling tepat? Saya tidak punya jawaban untuk itu. Lagi pula, saya juga masih meraba-raba.
Jika saya menuliskannya dan secara kebetulan kalian membaca, maka itu adalah upaya saya untuk mengajak kalian memikirkannya. Supaya malam nanti, kalian juga tak tidur sebab dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban.
Dan supaya, kita bisa melihat dengan lebih jujur tanpa takut diberikan label bucin (budak cinta) atau pujangga gila, tapi jangan lupa untuk memberi jarak dan sejenak tidak mencampuradukkan pengalaman pribadi di dalamnya. Hehe
Jangan serius-serius dong, Nabs.