Penggunaan masker dan sering cuci tangan menjadi kebiasaan baru. Tanpa aturan yang dipaksakan untuk ditaati. Bagi yang tidak mentaati, hukumannya pun simple tapi bersifat fundamental. Sebuah pandangan tajam yang mampu menyerang psikologis.
Suasana Bojonegoro tampak normal, seperti biasanya. Langit cerah dan cuacanya cukup panas. Nuansa itu saya nikmati sambil ngopi santai di Kedai Mbah Yi. Tanpa dinyana, seorang kawan lama datang menghampiri.
“Heeee… Wota kowe? Hahahaha…,” sapa dia.
Saya cukup kaget dengan kehadiran sosok yang menggunakan masker tersebut. Namanya Rizky Dahlan. Pria yang cukup akrab dengan per-vvota-an atau dunia idol. Jauh sebelum Covid-19 menyerang dunia.
Memang, memasuki era pandemi, penggunaan masker menjadi lumrah. Semua orang lebih aware dengan kesehatan. Bukan hanya masker kesehatan kulit wajah.
Dulunya, penggunaan masker hanya pada kondisi khusus. Misalnya, saat sedang sakit, mengolah sampah, lokasi berpolusi atau penggunaan zat kimia. Juga, saat menjadi kamen rider.
Selain itu, masker wajah juga akrab dengan dunia per-idol-an jejepangan. Kalau kamu fans JKT48 atau idol group 48 family lainnya pasti paham. Karena itulah, Dahlan menyapa saya dengan sebutan vvota.
Sekarang ini, pradigma penggunaan masker berbanding terbalik. Ini semua karena pandemi global Covid-19. Di manapun berada, apapun aktivitasnya, manusia menggunakan masker.
Alasan kesehatan menjadi latar belakangnya. Penularan virus harus dicegah. Salah satunya menggunakan penutup muka. Khususnya, hidung dan mulut harus tertutup.
Malahan, terasa aneh jika melihat orang tidak menggunakan masker. Dalam batin berkata “Ini orang perduli kesehatan gak sih?”. Atau “Orang ini PD juga yha dengan mukanya. Nabi aja mukanya disensor”.
Sesungguhnya, mereka termasuk golongan orang yang mengimani konspirasi.
Fenomena ini yang disebut New Normal. Kebiasaan baru terkait perilaku masyarakat. Kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga kesehatan. Hal yang sebelumnya terkesan “agak” diabaikan.
Penggunaan masker dan sering cuci tangan menjadi kebiasaan baru. Tanpa aturan yang dipaksakan untuk ditaati. Bagi yang tidak mentaati, hukumannya pun simple tapi bersifat fundamental. Sebuah pandangan tajam yang mampu menyerang psikologis.
New Normal adalah pergeseran budaya. Sering terjadi dan terus menerus berubah. Namun, dalam fenomena ini sifatnya memaksa. Masyarakat dipaksa keadaan saat terjadi wabah.
“The New Normal itu kan terjadi terus-terusan sebenarnya. Cuma perubahannya gradasional, jadi kita nggak terasa,” kata seorang budayawan, Sabrang Mowo Damar Panuluh, dilansir dari channel Jamaah Al Youtubiyah.
Penggunaan masker wajah menjadi hal yang normal. Namun, juga butuh membiasakan diri. Pasalnya, semua masyarakat terkesan sebagai anonymous. Tanpa melihat wajah, agak susah mengenali orang lain. Terlebih yang tidak terbiasa bertemu orang lain.
New Normal berbeda dengan New Protokol. Jangan salah sangka. Pemerintah menggaungkan new normal. Namun, sebenarnya maksudnya new protokol. Protokol baru dalam menjalankan aktivitas.
Memang, kebiasaan baru penting didukung dengan aturan. Pasalnya, daya tidak bersifat mengikat, kecuali adat. Karena itu, perlu aturan untuk mendisiplinkan. Terutama di ruang publik. Ini demi meniaga kesehatan masyarakat dan mengakhiri masa pandemi global.