Di sejumlah lagu Campursari kontemporer, terkandung konsep pesimisme defensif. Di mana kekalahan tak lagi dilawan, tapi dipasrahkan secara elegan dengan kerelaan ilahiah penuh sikap qonaah.
Kemunculan lagu-lagu Campursari kontemporer menjadi fenomena menarik. Sebab, meski tema besarnya masih berkutat pada rasa sedih akibat kegagalan cinta layaknya campursari di era sebelumnya, ada satu unsur baru. Yakni sikap pasrah nan elegan.
Ya, memang everything has changed,
It all happened for a reason — kayak lirik lagu Lathi yang sedang booming itu. Begitupun, jagad Campursari juga melahirkan gelombang second wave layaknya musik Punk.
Oke, sebelum membaca lebih dalam, saya mau memberi tahu bahwa membaca artikel ini berpotensi ngerusak tatanan ati sing wes pengen lali karo gede duwur balungane cahe ~
Lirik di sejumlah lagu Campursari yang muncul di era 2018 hingga 2020, meski tak semuanya, diam-diam menerapkan konsep pesimisme defensif. Sebuah konsep menerima kekalahan dengan cara tak melawannya secara head to head, tapi membelokkannya pada kepasrahan.
Baca juga: Tasfir Lirik Sugeng Dalu: Lagu Melankolis nan Bijaksana
Nabs, sepintas tak banyak perbedaan antara lagu-lagu campursari era YouTube dan era kaset VCD player. Tapi, jika diteliti lebih seksama, perbedaan itu ada dan memang tampak begitu nyata di telinga. Terutama tentang respon sakit hati yang lebih bijaksana dan dewasa.
Sikap pasrah dan nerima ing pandum, begitu tampak di tiap lirik-lirik Campursari era YouTube. Kesannya seperti: jika dulu penghianatan dan kekalahan dilawan dan dirutuki, saat ini dipasrahkan dan dibiarkan penuh kerelaan.
Keberpihakan pada takdir tuhan dan sikap penuh kerelaan, menjadikan lagu-lagu Campursari berbahasa campuran ini terasa begitu seksi. Terlebih, dibingkai dengan nada minor yang penuh melankolia kesedihan.
Penggunaan bahasa campuran daerah (Jawa) dan Indonesia juga jadi pembeda, antara lagu Campursari yang hadir di era YouTube dan yang lahir di era kaset VCD player. Secara tak langsung, ini menunjukan bahasa mengalami dinamikanya sendiri.
Baca juga: Weird Genius Mendunikan Budaya Indonesia Melalui Lathi
Mari kita lihat sejumlah lagu yang mewarnai hadirnya second wave of Campursari ini. Lagu-lagu di bawah ini dipilih bukan karena paling mewakili, tapi memang paling sering diputar di warung kopi, sekaligus paling menampakkan sikap pasrah pada kekalahan secara elegan.
Pengutipan lirik sengaja tidak saya urutkan. Tapi lebih pada penyesuaian dan pemetaan, di titik mana sikap pasrah dan nerima itu menjadi kekuatan yang benar-benar ditampakkan.
Dalan Liyane — Hendra Kumbara
Yowes ben tak lakoni nganti sak kuat-kuate ati /Pesenku mung siji, sing ngati-ati /Tetep tak dongakno mugo urip mulyo/Isoku mung nyuwun mugo ora getun/Cekap semanten maturnuwun.
Dalam lirik di atas, kita bisa merasakan bahwa kekalahan dan kesedihan tetap dilakoni sekuat-kuat hati. Dipasrahkan. Bahkan, masih didoakan yang terbaik untuk si pemicu luka. Tentu saja ini amat dewasa dan bijaksana. Ibaratnya: sudah jatuh, tertimpa tangga, tapi malah mendoakan yang terbaik bagi pelakunya. Padahal, doa orang teraniaya, amat mujarab.
Korban Janji — Guyon Waton
Abot tak trimo kanti ikhlas legowo/
Sing tak karep koe ra disiyo-siyo/
Ben cukup mung aku korban janji manismu/Udan bledek kang dadi saksiku.
Dalam lirik ini, menerima penghianatan secara ikhlas memang berat. Dan itu diakui. Tapi toh dia tetap menerimanya dengan ikhlas. Dan berharap hanya dirinya sendiri yang sakit. Bahkan, masih sempat berdoa agar si pemicu luka tak disia-siakan orang lain. Mendoakan perihal baik pada orang yang telah melukai tentu sikap yang keren sekali.
Sugeng Dalu — Denny Caknan
Aku wis ora gagas kata luka/
Wis cukup wingi, ra pengen baleni/
Mario lehmu dolanan ati/
Wis wayahe we kapok blenjani/
Perihe ati sing mbok paringi/
Wis cukup, ra bakal tak baleni/
Lirik di atas tak menampakkan kemarahan apapun, atas perilaku penghianatan dari si pemicu luka. Memang ada rasa kapok secara psikologis, tapi tak ada pembalasan. Yang ada hanya sikap pasrah. Hebatnya, si penanggung luka justru memberi nasehat bijaksana pada si pemicu luka. Ini menunjukan betapa cinta memang (harusnya) bijaksana.
Tak Ikhlasno — Happy Asmara
Yen pancen iki wis garise/ aku ikhlas lahir batine/ Kabeh kudu tak lalekke/ masio abot sanggane/
Yen pancen uwis garise kowe gandeng karo de’e/ Mung dungoku mugo langgeng saklawase/
Membalas luka dengan sikap ikhlas secara lahir batin tentu bukan perkara mudah. Lirik di atas, membuktikannya. Selain mampu berdamai dengan garis takdir. Si penanggung luka masih sempat berdoa agar si pemicu luka tetap langgeng dengan pasangan barunya. Sikap ini membutuhkan kedewasaan yang amat luar biasa.
Kartonyono Medot Janji — Denny Caknan
Loro ati iki /Tak mbarno karo tak nggo latihan/ Budalo malah tak duduhi dalane/ Metu kono, belok kiri, lurus wae/ Ra sah nyawang sepionmu sing marai ati tambah mbebani/
Pada lirik di atas, penghianatan dan sakit hati dijadikan metode berlatih menghadapi kejamnya hidup. Tak berhenti sampai di situ, si penanggung luka justru memberi jalan agar dirinya justru dihianati. Bahkan, masih menguatkan si pemicu luka untuk tidak melihat ke belakang, agar tak terbebani saat melakukan penghianatan itu.
Dari 5 contoh lagu Campursari di atas, kita bisa tahu bahwa di sejumlah lirik lagu Campursari kontemporer, terkandung konsep pesimisme defensif. Di mana kekalahan tak lagi dilawan, tapi dipasrahkan secara elegan dengan kerelaan ilahiah dan sikap qonaah.
Sikap-sikap yang memiliki unsur pasrah total dan permaafan secara brutal seperti itu, biasanya hanya dimiliki orang-orang dengan rasa cinta yang Thoriqotuna Thoriqotul Muhabbah. Yang metodenya benar-benar penuh perasaan cinta sampai tak berani melukai orang yang (pernah) dicintai, meski dia terluka olehnya.