Kebiasaan kecil, yang bahkan belum sempat kita sadari dampaknya, kadang serupa efek kepak sayap kupu-kupu bagi orang lain. Ia membangkitkan. Atau bahkan menyelamatkan.
Ponsel saya bergetar. Sebuah chat masuk. Saya buka. Dari Farid Fakih. Ternyata, penulis muda itu mengirimi saya sebuah link dari The New York Review yang membahas tentang penerjemahan dan kepenulisan.
Esai yang dikirim Farid sangat panjang. Panjang sekali bahkan. Saya sempat berupaya men-skip esai itu begitu saja. Meski, pada akhirnya, terpaksa saya baca juga esai berjudul Carrying a Single Life: On Literature and Translation tersebut demi menyenangkan hati Farid.
Selain menganalogikan proses menerjemah dan menulis serupa operator kapal yang mengangkut makna kata dari satu pulau ke pulau lainnya, Teju Cole, si penulis esai, menyamakan giat menulis dan menerjemah sebagai proses penyelamatan hidup manusia.
Cole bercerita tentang Pia Klemp, seorang ahli biologi dan pekerja kemanusiaan yang bersengketa dengan hukum Italia hanya karena Klemp menyelamatkan hidup imigran gelap pada 2017 silam.
Klemp menyelamatkan kapal-kapal hampir punah yang membawa para imigran. Klemp tak menyesal dengan apa yang dia lakukan. Atas nama kemanusiaan, dia berani menanggung resiko.
Cole juga bercerita tentang seorang ahli geografi muda bernama Scott Warren. Warren berupaya membantu para pencari suaka menyeberang dengan aman. Dia menyediakan air dan, jika memungkinkan, rumah untuk berlindung. Warren ditangkap dan didakwa menyembunyikan para imigran.
Lalu, Cole menarik sebuah garis hubung antara karya penulis dan penerjemah yang rumit dan sederhana, dengan tindakan berani dan mahal dari orang-orang seperti Pia Klemp dan Scott Warren.
Cole percaya jika karya sastra punya hubungan linear dengan resiko yang dilakukan beberapa orang untuk menyelamatkan orang lain. Sebab, baginya, tindakan bahasa dapat dengan sendirinya menjadi tindakan keberanian.
Sebuah cerita atau dongeng dari Finlandia mampu membangkitkan anak kecil di sudut Kota Bojonegoro untuk berani punya cita-cita, hanya karena dia pernah mendengar atau membaca cerita itu.
Mao Zedong tak pernah mengenal Karl Marx secara langsung. Tapi dia membaca pemikiran-pemikirannya. Eka Kurniawan tak pernah menemui Knut Hamsun. Tapi, karena pernah membaca Hunger, Eka mampu menjadi seorang penulis besar.
Saya sempat berpikir, sebuah cerita, dari sudut bumi yang tak terkenali, barangkali mampu memicu motivasi dan semangat seseorang untuk bertahan dan memperjuangkan hidup. Asal, tentu saja, cerita itu tersampaikan.
**
Farid memang sangat sering mengirimi saya berbagai referensi bacaan yang menyenangkan. Meski kadang, apa yang dia kirim, silap dari keterbacaan mata saya karena urusan kecil yang justru lebih menyita daripada membaca.
Sebagai anak muda yang tak
hanya produktif nulis tapi juga ultra produktif ndesain undangan pernikahan teman-temannya, Farid pemuda yang mendekati sempurna disemat jomblo kualitas premium.
Farid lelaki flamboyan. Sebuah prototipe lelaki yang akan berusaha terlihat misterius dan sok cool di depan perempuan. Tapi, sesungguhnya, dia tidak misterius blas. Sebaliknya, cenderung pemalu dan tidak pernah jelas.
Tapi, mantan Ketua LPM kampus yang mengaku sudah punya pacar tapi-tak-ada-bukti-otentik-terkait-pengakuannya-tersebut, memang punya semangat tinggi dalam hal belajar, meneliti dan mencari — untuk tidak menemukan — beasiswa pendidikan.
Tak jarang, semangatnya memburu ilmu itu nyiprat-nyiprat dan nular ke teman hingga siapapun orang yang ditemuinya. Saya, mungkin satu di antara banyak orang yang ditulari Farid dalam hal semangat dan kemauan untuk belajar.
Saat bertemu Farid, kadang saya merasa sedih. Saya berpikir, kenapa tak menemuinya saat masih berusia 20-an tahun atau jaman awal kuliah saja. Sehingga, masih banyak potensi positif dalam diri saya, yang bisa tertolong dan dimaksimalkan.
Bertemu Farid, kadang serupa bertemu penyesalan akan masa lalu. Terutama tentang keputusan-keputusan yang pernah saya ambil secara serampangan dan nir orientasi masa depan.
Saya, mungkin pernah membuat keputusan yang sukar dimaafkan. Dan jika dimungkinkan kembali ke masa lampau, saya ingin menemui diri saya sendiri dan memukulinya sampai mimisan, agar tak sembarang mengambil keputusan.
Tapi, penyesalan memang dibutuhkan. Setidaknya untuk memberitahu bahwa kita pernah berbuat lucu dan salah di masa lalu. Yang selanjutnya, di masa kini, harus diperbaiki.
Selain kerap melempar ingatan saya pada masa-masa awal menjadi mahasiswa, berbincang atau bertemu Farid selalu mampu membangkitkan semangat saya melakukan perkara-perkara yang dulu pernah saya lakukan tapi saya tinggalkan begitu saja.
Menulis jurnal atau melakukan penelitian, misalnya, dulu saya sempat akrab sejenak. Lalu, menjadi tak tertarik dan lebih sering menjauhinya. Dan meninggalkannya dan melupakannya.
Saat ngopi atau ngobrol-ngobrol ringan bersama Farid, misalnya, dia sering sekali membahas perkara-perkara teoretis yang —kadang— membosankan. Mulai menulis jurnal ilmiah berbasis teori hingga melakukan penelitian.
Bahkan, sejumlah judul penelitian seperti: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Seseorang terhadap Kegiatan Rasan-rasan, Studi Tentang Pengaruh makanan terhadap Ucapan seorang Pegawai Pemkab, hingga Pengaruh Gadget terhadap Ketahanan Lelaki menjadi Jomblo; pernah disodorkan Farid pada saya.
Memang terkesan guyon. Tapi, Farid tentu bukan tanpa alasan membahas perkara-perkara itu pada saya. Dia membangun jembatan semangat. Menyalakan kobaran api yang pernah ada di dalam dada saya, tapi hilang entah kemana.
Serupa analogi penyelamatan yang tertulis dalam esai Carrying a Single Life: On Literature and Translation, Farid mencoba menyelamatkan semangat saya untuk melakukan hal-hal yang dulu pernah saya lakukan, tapi menghilang.
Sebab saya percaya, perihal atau tingkah kecil, yang bahkan belum sempat kita sadari dampaknya, kadang serupa efek kepak sayap kupu-kupu bagi orang lain. Ia membangkitkan. Atau bahkan menyelamatkan.