Beberapa praktik kurang etis atau kebohongan yang dipelihara banyak mahasiswa Indonesia di luar negeri dapat terus berlangsung dari waktu ke waktu. Yang berbahaya adalah ketika semua kebohongan tersebut dipelihara dari satu generasi ke generasi lain.
Melihat berarti mengalami. Ini menjadi bekal saya dalam menuliskan catatan saya selama tinggal di Inggris. Mendapat kesempatan menempuh pendidikan formal di luar negeri memberi saya kesempatan dapat melihat dari dekat dan merasakan bagaimana lakon yang dijalani para mahasiswa yang sedang menimba ilmu di negeri orang. Namun, ini bukan hal mudah bagi saya. Apalagi pemikiran yang saya tuangkan ini, boleh jadi tak populer.
Di sela-sela bekerja dari rumah dan diselimuti suasana muram akibat penyebaran COVID-19 di berbagai belahan dunia, saya mencoba mengulas beberapa praktik yang biasa dilakukan sebagian mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Inggris.
Saya lebih suka menyebut praktik-praktik tersebut sebagai kebohongan. Ya, kebohongan yang diwariskan dari generasi ke generasi dan dipercaya oleh sebagian orang sebagai sebuah kebenaran. Praktik yang saya maksud berkaitan dengan bidang akademik sampai yang bersifat umum, saya uraikan sebagai berikut.
IPK tidak Penting
Begitu banyak pemikiran yang menyuarakan bahwa Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tidak penting ketika kuliah di luar negeri. Menurut para penganut mazhab ini, prestasi itu jamak bentuk dan kategorinya. Maka, hal terpenting ketika kuliah di luar negeri adalah memeroleh ijazah, menikmati pengalaman belajar dari dosen berkaliber dunia, lalu kembali ke Indonesia.
Sampai di sini, Saya tidak menolak semua alasan mereka. Namun akal sehat saya menolak pemikiran sebagian kawan-kawan yang menganggap bahwa kuliah di luar negeri hanya sekadar ajang pamer dan panjat sosial. Tanpa dibarengi itikad maupun tanda-tanda upaya, meskipun secuil, untuk menunjukkan kemampuan dengan menorehkan IPK yang baik.
Wajah para penganut mazhab ini biasanya sama sekali tak menunjukkan gurat bersalah ketika menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bersenang-senang seolah tidak ada hari esok. Nyaris saban hari pergi ke luar rumah untuk berjalan-jalan dan menikmati suasana “luar negeri”.
Setiap akhir pekan piknik ke luar kota lalu berlibur keliling Eropa setiap akhir musim. “Kapan lagi menikmati hidup. Nikmati selagi muda”. Demikian mereka katakan. Bagi saya sendiri, hal itu menjadi urusan pribadi selama biaya kuliah mereka bukan berasal dari dana publik (beasiswa).
Silakan saja sepuas hati menikmati hidup. Tak ada soal bila merasa tak perlu untuk mendongkrak kemampuan akademik. Namun, bila uang kuliah mereka itu bersumber dari dana publik, maka, perilaku itu tak dapat dibenarkan. Bagi saya, hal itu hanyalah sikap seorang pengecut dan pemalas. Sungguh sia-sia negara membiayai orang semacam ini.
Soal IPK? Fakta menunjukkan, IPK memiliki tempat yang terhormat dalam kacamata pendidikan luar negeri, paling tidak untuk level S-1 dan S-2. IPK dipercaya sebagai penunjuk karakter kinerja dan moral baik seorang mahasiswa.
IPK juga masih dipandang penting sebagai bahan pertimbangan diterima atau tidaknya seseorang pada program S-2 dan S-3. Mereka yang memperoleh IPK Dengan pujian, hampir dapat dipastikan memperoleh tempat di universitas.
Sebaliknya, mereka yang memiliki IPK rendah, memerlukan waktu dan prosedur yang lebih lama, bahkan tak jarang berujung penolakan. IPK juga memiliki kekuatan besar bagi mereka yang memiliki keinginan memasuki dunia kerja, tak terkecuali di perusahaan-perusahaan luar negeri.
Sederet fakta ini menjadi bantahan bagi para penganut “Mazhab IPK tidak Penting”. Maka, sungguh miris sekaligus menyedihkan apabila masih banyak orang Indonesia yang kuliah di luar negeri memercayai bahwa IPK itu tidak penting.
Dosen “Sangat Baik”
Berbagai cerita dari rekan sejawat memberi benang merah bahwa para pengajar di perguruan tinggi luar negeri sangat baik. Definisi sangat baik yang saya tangkap adalah ramah dan responsif terhadap pertanyaan dan kebutuhan peserta didik.
Pada tataran profesional, saya tidak memiliki keraguan sedikit pun atas klaim ini. Yang menjadi masalah adalah menyarukan sikap “baik” dengan sikap “profesional”. Kesaruan inilah yang bisa menyebabkan kesesatan berpikir.
Saya dapat mengamini bila dosen di luar negeri adalah para individu profesional. Itulah mengapa yang mereka lakukan disebut profesi, bukan pekerjaan biasa.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki latar kualifikasi dan kompetensi yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Namun, hal ini tidak menjamin bahwa mereka baik secara pribadi.
Tidak jarang saya bertemu dengan dosen yang menunjukkan sikap rasis terhadap warna kulit dan etnis tertentu. Ini adalah fakta, bukan isapan jempol semata. Betul mereka profesional, tapi bukan berarti mereka terbuka pada pertemanan atau hubungan pribadi lainnya.
Hal ini sudah seharusnya tidak luput dari definisi “baik”. Apabila tidak, selamanya para dosen di Indonesia akan selalu dibandingkan secara inferior terhadap dosen luar negeri. Padahal, perbandingan tersebut didasarkan pada pemikiran parsial dan cenderung sesat.
Sekolah Gratis
Banyak mahasiswa Indonesia di luar negeri yang kuliah dengan mengajak “pasukan”, yakni dengan mengajak pasangan dan anak-anak mereka. Dengan cara ini mereka dapat turut menikmati kesempatan mengenyam pendidikan formal di luar negeri.
Kesempatan yang tidak mudah diperoleh ini jarang sekali dilewatkan. Ada beragam alasan yang melatarbelakangi. Di antaranya kemampuan berbahasa asing bagi anak-anak mereka. Dalam tempo beberapa bulan, anak-anak akan menunjukkan kemampuan berbicara bahasa asing yang seringkali lebih baik dari orang tuanya.
Ini salah satu keuntungan yang memang menjadi target banyak keluarga muda Indonesia. Dari sudut pandang positif, kemampuan bahasa asing terbukti dapat menjadi modal sosial dan budaya ketika kembali ke tanah air.
Sekolah merupakan hak dasar anak yang dilindungi komitmen internasional. Itu adalah sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan. Dalam perjalanannya, saya seringkali mendengar cerita kebanggaan para orang tua Indonesia terhadap anak-anak mereka yang sekolah di luar negeri.
Saya pun ikut bangga dan berharap lebih banyak anak-anak Indonesia yang memeroleh kesempatan yang sama. Namun, di balik kebanggaan ini, ada pernyataan yang cukup menggelitik, yaitu “sekolah di sini (Inggris) sudah berkualitas, gratis lagi”.
Apabila merujuk pada hasil studi PISA (2018) dan sejarah panjang Inggris selaku negara adikuasa, pernyataan ini masih dapat diperdebatkan. Katakanlah memang pendidikan dasar dan menengah di Inggris memiliki kualitas setinggi langit.
Namun, yang patut diperdebatkan adalah “sekolah gratis”. Terdapat informasi yang tersembunyi dari ungkapan tersebut. Entah karena ketidak-tahuan atau kesalahan berpikir.
Pemerintah Inggris memang memiliki kebijakan Makan Sekolah Gratis atau Free School Meals (FSM). Kebijakan ini mewajibkan pemerintah membiayai makan siang para peserta didik yang tidak mampu membayar.
Atas alasan tertentu, banyak orang tua asal Indonesia yang memutuskan tidak membayar sepeser pun makan siang anaknya di sekolah. Namun di balik itu, semakin tinggi jumlah peserta didik di suatu sekolah yang tidak membayar makan siang, maka semakin tinggi pula tingkat kemiskinan di sekolah tersebut.
Memang, tingkat kemiskinan tersebut dilaporkan tidak mempengaruhi kinerja sekolah, namun, tingginya angka FSM memengaruhi peringkat sekolah secara nasional. Tingginya FSM juga berbanding lurus dengan jumlah peserta didik dari keluarga imigran.
Informasi ini yang sering luput, atau mungkin disembunyikan. Alasannya beragam, namun yang paling masuk akal adalah demi menutupi gengsi dan malu.
Metode Mengajar yang Atraktif
Selain sekolah gratis, guru-guru di luar negeri, khususnya Inggris, sering dikatakan memiliki metode dan pendekatan belajar yang sangat atraktif. Tidak jarang orang tua mengunggah gambar, video dan status pendek terkait aksi guru di kelas yang sedang mengajar, di akun media sosial masing-masing.
Berbagai praktik baik dan cerita sukses bahkan menjadi viral lalu diteruskan dari satu orang ke orang lain. Tentu, hal ini bisa menjadi hal yang sangat positif bagi perkembangan, dan perbaikan pendidikan di Indonesia. Selama itu positif, kenapa tidak? Kenyataannya, media sosial membangun persepsi yang berbeda atas apa yang disebut “kenyataan”.
Sebagai contoh, akhir-akhir ini viral di media sosial bagaimana guru di Inggris mengajarkan cara mencuci tangan yang kreatif. Guru mengajak anak menyanyikan lagu selamat ulang tahun, atau lagu anak populer lainnya, sebanyak dua kali sebelum membilas tangan dengan air bersih.
Yang menjadi masalah bukan metode atau lagunya, melainkan kesimpulan besar yang diambil. Premis yang terwujud dari praktik ini adalah: “Guru di Inggris sangat atraktif dalam mengajar, kenapa di Indonesia tidak?”. Inilah yang sangat mengganggu pikiran Saya.
Begitu cepatnya kesimpulan ditarik lalu kemudian dipercayai bahwa yang dilakukan guru di Indonesia belum baik. Tidak adil rasanya apabila kesimpulan itu ditarik dari fenomena mencuci tangan. Bahkan, lebih tidak adil apabila dibandingkan dengan tuntutan sistem politik dan sosial di Indonesia yang begitu berat terhadap guru.
Intinya, mengambil praktik baik itu sah, dan dapat dijadikan pelajaran serta referensi perbaikan. Namun, terburu-buru dalam mengambil keputusan dan kesimpulan berdasarkan observasi yang singkat itu, jelas tidak arif.
Mengunggah dan membagikan berbagai cerita dari berbagai sudut pandang berbeda melalui berbagai media, merupakan langkah yang lebih bijaksana.
Barang Lebih Berkualitas dan Murah
Sebelum saya menjejakkan kaki di Inggris, banyak rekan Indonesia yang sudah lebih dulu kuliah di Inggris menyarankan saya untuk tidak membawa perlengkapan musim dingin dari Indonesia.
Pun demikian, dengan barang elektronik, seperti telepon genggam, laptop atau gawai lainnya. Berdasar pengalaman mereka, barang-barang tersebut lebih baik dibeli di Inggris, karena lebih berkualitas dan harganya lebih murah.
Jujur saja, saya memendam pertanyaan besar terhadap klaim ini. Namun lagi-lagi, tanpa melihat dan mengalami, saya tidak punya daya membuat bantahan.
Keabsahan atas klaim ini baru dapat saya buktikan ketika saya menjejakkan kaki di Inggris. Ternyata, semua barang baik di Indonesia maupun di Inggris memiliki kualitas yang sama baiknya.
Ekonomi global telah memungkinkan banyak barang di berbagai penjuru dunia memiliki kualitas yang sama. Lain soal apabila barang yang dibandingkan adalah barang asli tapi palsu, maka hingga ujung dunia pun perbandingannya tidak akan ditemukan.
Pun demikian dengan harga. Era globalisasi telah menjadikan harga suatu merek global memiliki harga yang relatif sama di semua negara. Bahkan, untuk barang elektronik populer, harga di Indonesia biasanya lebih murah.
Biasanya barang-barang jenis ini sama-sama diproduksi di negara dunia ketiga sehingga kualitasnya sama, pun harga. So, kenapa harus beli di luar negeri kalau begitu?
Fakta lainnya yang tak kalah mencengangkan adalah bagaimana pemikiran harga barang merek tertentu di luar negeri lebih murah itu, sebetulnya adalah sengaja dikonstruksi.
Salah satu caranya adalah dengan membeli barang bekas dari toko amal atau media dalam jaringan. Sungguh mengenaskan ketika kemudian barang yang dibeli dengan cara demikian dibangga-banggakan dan dilabeli lebih murah dan bagus daripada barang di Indonesia.
Konstruksi berpikir yang sangat tidak masuk akal. Apabila barang bekas tersebut dibandingkan dengan barang yang sama dalam kondisi baru di Indonesia, barang manakah yang lebih baik? Sesederhana itu sejatinya cara berpikirnya.
** **
Tulisan ini merupakan refleksi atas apa yang saya alami selama dua setengah tahun berada di Inggris. Terdapat banyak hal yang dapat dipelajari, dan dijadikan bekal berkontribusi terhadap bangsa dan negara.
Akan tetapi, tidak selamanya rumput tetangga itu lebih hijau. Tidak selalu apa yang dilihat dan dipelajari di negara orang dapat dipraktikkan di Indonesia. Konteks akan selalu menjadi faktor penting yang harus dipikirkan.
Beberapa praktik kurang etis atau kebohongan yang dipelihara banyak mahasiswa Indonesia di luar negeri dapat terus berlangsung dari waktu ke waktu. Yang berbahaya adalah ketika semua kebohongan tersebut dipelihara dari satu generasi ke generasi lain.
Yang saya maksud dengan generasi adalah mahasiswa, orang tua, dan anak-anak yang akan atau telah selesai mengenyam pendidikan formal di luar negeri. Kebohongan yang terus dipelihara akan menjadi kebenaran. Inilah makna kebohongan antargenerasi yang saya maksud dalam tulisan ini.
Dalam konteks yang lebih luas, kebohongan hanya akan membawa petaka bagi bangsa Indonesia. Berkaca pada “kebohongan” data penyebaran COVID-19 di salah satu negara, dunia mengalami kegagapan dalam mengambil langkah terbaik untuk menyelamatkan jiwa.
Sesungguhnya, inilah nilai luhur dari kejujuran. Terlalu naif rasanya apabila pengetahuan dibangun di atas pondasi kebohongan. Cukuplah kebohongan itu berhenti di Belanda dengan kasus The Next Habibie yang cukup viral di media sosial dan media massa. Indonesia perlu akal sehat dan pemikiran jujur, bukan kebohongan yang dipelihara dari generasi ke generasi.
Cecep Somantri adalah pegawai Kemendikbud yang sedang menempuh tugas belajar Doktoral di The University of Nottingham, Inggris atas beasiswa Pemerintah Indonesia. Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mencerminkan institusi profesi atau institusi penyalur beasiswa.