Jangan pernah jadi korek api kalau jadi lilin yang silaunya kalah sama bohlam lampu saja kau sudah tak kuat. Sebab korek api punya kedewasaan yang lebih tinggi daripada lilin.
Ada yang ingin keluar dari perutmu. Kau menuju WC. Kau baru saja sampai di WC. Sesampainya duduk, ada yang kurang. Biasanya, paling enak duduk di WC sambil ngerokok. Kau pun keluar lagi untuk mencari rokok.
Dengan susah payah sambil menahan hajat yang ingin kau keluarkan, akhirnya kau menemukan sebungkus rokok di dalam tas kerjamu. Setelah kau pegang rokok itu, kau bergegas lagi ke WC. Lalu, sesampainya duduk dan mengeluarkan rokok, ada yang kurang: korek api.
Sampai detik itu, entah kenapa, kau masih kuat menahan hajat yang rasanya sudah amping-amping di ujung tubuhmu itu. Karena tak bisa memasukkan kompor ke dalam kamar mandi, mau tak mau, kau harus mendapatkan korek api. Sampai ketemu.
Akhirnya hajatmu bisa kau keluarkan dengan keikhlasan yang luar biasa, ketika rokok dan korek api sudah ada di tanganmu. Sementara, WC dan kamar mandi jadi saksi bisu laku ikhlas level tinggi yang barusan kau tunaikan itu.
Meski kita sering menyamakan fungsi korek api dengan kompor, pada kegiatan beol sambil ngerokok di kamar mandi, jelas kompor tak mampu menggantikan peran korek api. Kecuali jika nyumet rokoknya di luar, baru masuk ke dalam.
Korek api punya peranan penting bagi perokok. Hingga ada bermacam istilah untuk menggambarkannya. Mulai rokok tanpa korek api seperti resepsi tanpa gandengan. Hingga rokok tanpa korek api serupa berdua terus tanpa kepastian.
Tak hanya bagi perokok, bagi siapapun yang menjadikan api sebagai tools menjalani hidup — entah pedagang atau pekerja bengkel las — peran korek api amat penting sekali. Sebab, ia satu-satunya instrumen api yang mudah dikendalikan dan dibawa kemana-mana.
Kompor mungkin jenis alat perapian yang mudah dikendalikan, tapi jelas ia tak mudah dibawa kemana-mana. Di sini, perbedaan peran korek api dan kompor yang amat ketara. Saking mudahnya ia dibawa kemana-mana, korek api jadi benda yang sepele.
Coba kalau korek api harganya mahal, pasti keberadaannya tidak sepele — seperti sepeda Brompton yang saat pengendaranya ngopi, ia harus diparkir di dekat meja perkopian.
Analogi dan filosofi sederhana kedewasaan korek api
Dalam khasanah analogi yang agak mendalam, korek api membuktikan pada kita bahwa untuk punya peran besar, tak mendapat perhatian adalah hal biasa. Rokok, mungkin lebih diingat daripada korek api. Meski tanpa korek api, rokok hanyalah benda mati yang tak bisa menghidupkan dirinya sendiri.
Ya serupa kayak istilah gula sama kopi. Gula punya peran besar tapi kopi lebih sering diingat dan disebut orang. Tapi, karena istilah itu sudah mainstream, adagium itu kayaknya tak perlu dibahas lebih mendalam di sini.
Korek api simbol effort. Upaya. Sebelum ia mengeluarkan api, harus ada gesekan terlebih dahulu. Harus ditekan. Harus digesek. Baru muncul apinya. Setelah api muncul dan bercahaya, yang disebut-sebut justru rokoknya. Lilinnya.
Kamu harus ditekan. Harus ada gesekan dalam timeline hidupmu. Baru setelah itu, kreativitasmu muncul. Peranmu timbul. Setelah peranmu tampak, yang disebut-sebut justru temanmu. Orang lain. Kamu bisa seperti itu?
Lilin tentu benda biasa yang tak bisa hidup tanpa korek api. Setelah korek api menyumbang sinarnya untuk lilin, korek api hilang ditelan puja-puji manusia pada cahaya lilin. Kamu bisa seperti itu?
Kebanyakan manusia, baik aku maupun kamu, sangat mengonsumsi puja-puji dari orang lain. Jadi jangankan punya cita-cita sebijak korek api, jadi lilin yang cahayanya kalah sama bohlam lampu saja nggak kuat gitu kok.
Korek api membuktikan pada kita bahwa punya peran besar dan tak mendapat perhatian orang lain itu hal biasa. Sialnya, itu maqom kebijaksanaan yang sulit ditiru manusia.
Yaiyalah. Kan manusia itu punya sifat manusiawi yang harus sering dimaklumi. Ya kalau gitu, jangan pernah menyepelekan korek api. Sebab ia lebih dewasa dan bijaksana daripada kemanusiaanmu yang sering takut tak dianggap dan tak dipuji orang lain tersebut.