19 Juni 2045 lalu, saya mewawancarai sosok Ahmad Wahyu Rizkiawan di kediamannya, Baureno. Berikut laporannya.
Saban orang memiliki beragam cara sendiri untuk memperingati hari kelahiran seseorang. Salah satu di antaranya mempersembahkan karya sederhana yang akan abadi sepanjang masa.
Seratus tahun Indonesia merdeka. Telah beberapa kali ganti presiden. Begitupun dengan daerah asal yang konon sebagai lumbung pangan dan energi. Di mana lagi kalau bukan Bojonegoro. Juga telah beberapa kali ganti bupati.
Setelah tugas dari Belanda dan menikmati kopi dari beberapa penjuru bumi jeda, saya sangat rindu dengan suasana surga pojok kota one and only Pohagung. Maka dari itu istri dan anak-anak, saya ajak untuk pulang kampung.
Ketika menginjakkan kaki di kampung halaman, saya agak kaget. Pasalnya sawah-sawah yang tersebar berubah menjadi gedung-gedung yang menjulang tinggi ke cakrawala. Tempat berkhayal menjadi pilot dimana menjadikan layang-layang sebagai pesawat hanya tinggal kenangan.
Setalah bersua dengan keluarga dan kawan-kawan lama. Tiba-tiba saya teringat dalam pikiran, kalau sekarang tanggal 19 Juni 2045.
Sontak ingatan melemparku pada usia 20-an, pada saat itu saya pernah membuat status WA tentang tulisan yang keren dan membawa saya menyelami figur Subcomandate Marcos karena lahir di bulan Juni. Berkat tulisan itu, saya agak kepo tentang Marcos.
Sebuah tulisan karya Imam Besar Jurnaba, Ahmad Wahyu Rizkiawan, mengulas tentang pemberontak yang suka baca buku itu. Hati kecil berkata, “sebelum berkelana lagi, alangkah baiknya menemuinya”.
Dan saya juga ingin bertanya kepadanya, apakah dia tahu kalau artikelnya tentang Marcos pernah dikutip sebuah produsen kaos terkenal di Indonesia yang bernada perjuangan, aktivisme, dan sebagainya. Bahkan, nama “Ahmad Wahyu Rizkiawan” terpampang di akun sosial media tersebut. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 2020, saat itu saya berusia 22 tahun.
Telah lama tidak kontak dengannya, dan saya tak tahu bagaimana kabarnya. Terakhir bertemu, yang saya ingat, dia akan membuat sebuah tempat belajar bagi semua kalangan yang dia kelola bersama istrinya di sebuah desa di perbatasan Bojonegoro- Lamongan
Malam itu juga, saya bilang kepada istri dan anak-anak saya yang kebetulan sedang melihat gubug-gubug kecil, perkebunan, dan gedung-gedung yang berada di yayasan di Dusun Pohagung yang saya dan istri saya kelola bersama.
“Dik, saya mau ke suatu daerah perbatasan Bojonegoro dengan Lamongan yang mengandung banyak kisah”, saya bilang kepada istri untuk bersua dengan senior yang telah melahirkan beberapa karya dan kabarnya telah taneg mengelola pesantren itu.
“Teng pundi Mas?” sahut istri saya
“Ndek Baureno, pripun? Sampeyan arep melu?”
“Hmm..ngomong-ngomong untuk apa ke Baureno, malam-malam begini?”
“Saya mau bersua dengan salah satu orang yang telah memberi corak dan warna dalam kehidupan saya”
“Sinten niku Mas?”
“Saya pertama kali menyebutnya Imam Besar Jurnaba alias Kang Ahmad Wahyu Rizkiawan. Seperti kabanyakan orang hebat lainnya, beliau memiliki banyak nama. Kebetulan hari ini tanggal 19 Juni, merupakan hari kelahirannya juga kelahiran tokoh idolanya, yaitu Marcos. Maka dari itu saya akan bersilaturahim ke padepokannya”
“Hmm…gak sesok isuk wae ta Mas? Bengi-bengi ngene lho. Mboten Mas kapan-kapan wae aku tak mbaturi arek-arek, nitip salam wae yo, atos-atos, Mas”
“Saya berangkat sekarang karena beliau dulu ngopinya malam hari bahkan hingga dini hari di beberapa wakop yang berada di pusat kota Bojonegoro. Maka dengan penuh keisengan kita membuat Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiyah, anggotane sak iki ono seng dadi jurnalis, penyair, budayawan, dan lain-lain. Asma Ahmad Wahyu Rizkiawan sendiri mulai dikenal di beberapa negara berkat karya-karyanya juga telah diterjemahkan”. Kataku pada istri.
Anggota dari Jam’iyyah yang sudah tak seumur jagung lagi tersebut, nama-namanya sering nongol di sosial media, melahirkan karya, stasiun televisi, dan sebagainya. Widodo, Sang Penabuh Darbuka telah melahirkan beberapa karya dan bukunya telah diterjemahkan ke beberapa bahasa. Kemudian ada Intan Setyani ahli literasi kuliner juga telah melahirkan buku Ensiklopedia Kuliner Jonegoroan.
Muhammad Sidkin Ali, ketampanan dan kreativitasnya dalam menulis berjalan beriringan. Di balik kesederhanaannya terdapat ibrah yang luar biasa. Kesederhanaan dan kreativitas Sidkin Ali dalam menulis mengingatkan saya pada gitaris finger style dari Ponorogo yang pernah viral di era Revolusi Industri 4.0 kala itu, yakni Alif Ba Ta. Karya mereka sama-sama diakui dunia.
Peranan mantan inisiator Sekutukata, Paraya, dan Ngaostik itu bagi pemuda Bojonegoro bisa dibilang matoh lah. Saking matohnya namanya bisa dimasukan di semua komisi, hingga sekarang masih terngiang kelucuan tulisannya di Guneman, wkwkwk.
Mumpung masih berada di Kota Ledre, saya memutuskan untuk tabarukan ke rumahnya. Saya berharap di usianya yang senja semoga tetap lancar dan berkah rezeki, ngopi, dan ngududnya. Hehehe.
Sepeda motor GL model trail saya nyalakan. Motor tua ini merupakan keinginan saya dan alhamdulillah tercapai. Tidak lupa saya ingin merealisasikan mimpi kecilnya, dengan cara yang agak berbeda.
Dalam tulisannya, Ahmad Wahyu Rizkiawan muda pernah bermimpi punya kaos bergambar penulis turki peraih nobel sastra, yakni Orhan Pamuk. Dan sepertinya, belum tercapai.
Dulu dia juga pernah meminjami saya buku Orhan Pamuk. Hingga sekarang, buku Istanbul karya Orhan yang dipinjami Kang Rizky belum saya kembalikan, wkwkwk. Masih tersimpan di kamar biru dimana saya biasanya menyimpan beberapa buku.
Tercatat, buku itu dipinjamkan ke saya tanggal 9 Juni 2020 tepat setelah diadakannya acara yang menuai pro dan kontra yakni Tafakur Konten edisi perdana di saat pandemi menyapa.
Dalam rangka memperingati hari lahirnya dan apresiasi sederhana, saya memasukkan kaos bergambar Subcomandante Marcos ke tas hitam yang saya bawa. Bukan Orhan Pamuk. Semoga beliau berkenan menerimanya. Alasannya sederhana. Sebab ini hari kelahiran mereka berdua.
Sepanjang perjalanan hawa dingin menusuk badan, menyapa tulang-tulang. Otw dari Kota Bojonegoro ke Baureno melemparkanku pada kenangan-kenangan yang tak akan tergilas zaman.
Sebelum ke Baureno, saya mengarahkan kuda besi yang saya tunggangi ke sebuah gedung besar yang ada warkopnya, perpustakaan, panggung kecil, dan lain-lain. Tepatnya di Kelurahan Sumbang.
Gedung mewah karena mepet sawah yang berwarna dominan hijau itu tampak kelap-kelip dari kejauhan. Tiba di sana terpampang nama besar Jurnaba.co plus ukiran kalimat keramat bertuliskan “mengabarkan degup kebahagiaan”.
Tercatat dalam dinamika sejarah dunia media di Bojonegoro. Kanal yang sering kali menyampaikan wasilah elegan dengan gaya bahasa santai dan sederhana itu mampu menduduki peringkat pertama se-Bojonegoro ketika tahun 2019 berdasarkan pemeringkatan Alexa. Waw…amazing.
Di tahun 2045 ini, saya lupa belum menengok kembali pemeringkatan website berdasar Alexa. Kelihatannya masih nomor satu se-Bojonegoro, dan bertarung di peringkat atas Nasional.
Saya masuk ke gedung yang berwarna hijau itu. Terpampang foto-foto pemegang tongkat kendali Mazhab Bojonegoro dari masa ke masa. Juga ada gambar-gambar punggawa dengan maha karyanya, baik yang berasal dari Jurnabiyin, Jurnabawan, dan lain-lain.
Anak-anak muda beragam gaya ramai memenuhi ruangan. Karena bertepatan dengan malming/malam minggu tradisi cangkrukan masih lestari. Karena malam ini tim Jurnaba.co mengahadirkan penulis dari Bojonegoro yakni Sidkin Ali dalam acara diskusi tentang kepenulisan (fiksi).
Muhammad Sidkin Ali dan Intan Setyani termasuk angkatan 2019 di Jurnaba. Sedangkan saya, menurut penyair juga budayawan yang lahir dari NJI dan Gerlip yakni Widodo, angakatan tahun angka kembar yaitu 2020.
Diskusi yang digelar malam itu sangat ramai, rintik-rintik hujan menambah kesyahduan malam itu. Ada salah satu peserta diskusi yang memusikalisasi puisi Hujan Bulan Juni karya Eyang Sapardi Djoko Damono, hal itu merupakan salah satu dari beribu cara membuat Juni lebih bernyawa.
Sidkin mampu menyihir jutaan pasang mata yang hadir di malam itu. Penulis yang telah sukses dengan novel sekuel kisah Ali dan Aisyah itu membuat malam hari di 19 Juni 2045 lebih hidup.
Rintik hujan bulan Juni selalu mengingatkan saya pada sosok Eyang Sapardi Djoko Damono. Rintik hujan di malam itu, menghidupkan kenangan tentang bangunan, jalan, kios, dan unsur biotik maupun abiotik yang lain di Bojonegoro.
Rintik hujan yang turun laksana memiliki daya untuk membasahi gedung-gedung, tanah, dan lain-lain. Sehingga menghidupkan kisah tentangnya.
Ketika melintasi jalanan kota, ada tanah yang menangis dengan sendirinya. Jika fenomena itu lumrah terjadi di pemakaman. Kali ini tidak, di sekitar pusat kota terdapat tanah yang menangis tepatnya di tepi jalan. Orang-orang tak berodosa dan tidak tahu apa-apa dihabisi nyawanya hanya karena perbedaan pandangan politik.
Saya mengorek lebih dalam tentang hal itu melalui sebuah catatan seseorang anak petinggi partai pada masanya yang pernah bermukim di kecamatan Bojonegoro memberikan gambaran tentang kondisi sosial dan budaya Bojonegoro masa itu melalui tulisan di blog. Masa-masa yang suram plus mencekam.
Penjelasan tentang peristiwa itu juga diperdalam oleh Ahmud Abbas ketika ngopi di Jalan Untung Suropati kalau tidak salah sekitar bulan Juni 2020.
Beragam kisah dan kenangan melintas dengan sendirinya. Dari yang kenangan baik, buruk, dan aneh plus nyeleneh bertebaran saat menghitamkan aspal jalanan dari Kecamatan Bojonegoro menuju kediaman Imam Besar Jurnaba, Baureno.
Ketika berada di masjid Baureno saya berpikir juga, bentuknya masih sama. Hanya catnya saja yang diperbarui pada tahun 2045. Kemudian saya bertanya pada warga sekitar, di mana lokasi sebuah komunitas belajar besutan Wahyu Rizkiawan dan istrinya itu.
Di tepi jalan, terdapat seorang pemuda. Saya bertanya tentang kelompok belajar itu, ndilalah anak itu merupakan pembelajar di lembaga independen tersebut. Saya pun membonceng pemuda itu.
Sepanjang perjalanan, rasa penasaran dan ingin bersua dengan Imam Besar Jurnaba sedikit terobati. Sebab anak yang saya bonceng plus penunjuk arah sedikit bercerita tentang kegiatan di komunitas belajar itu.
Tak lupa saya juga memantau perkembangan Jurnaba dan kelompok belajar yang telah meraih beragam penghargaan baik tingkat nasional maupun internasional tersebut, melalui akun sosial medianya.
Tibalah di sebuah rumah yang ada sawah di sekitarnya. Rintik hujan perlahan reda, alam nampaknya mendukung pertemuan di malam hari tanggal 19 Juni 2045.
Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada pemuda tadi, kemudian ia bergegas pergi. Saya mengamati sekitar tempat kelompok belajar yang didirikan tokoh Jurnaba itu bersama istrinya.
Sangat mewah, tidak hanya mepet sawah melainkan juga arsitektur yang beraneka ragam. Tempat menginap anak-anak, taman bermain, perkebunan, mushola, gazebo, dan sebagainya.
Mengingat malam hari, jadi tak begitu kentara karena tertutup gelap. Saya langsung mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Pintu terbuka, dan betapa terkejutnya saya banyak anak-anak kecil di sana. Ada yang sedang latihan nari, melukis, bernanyi, dan lain-lain. Walau malam hari, semangat belajar mereka sangat tinggi.
Sebelumnya saya tidak janjian terlebih dahulu ketika mau berkunjung ke Baureno. Dengan kenylonongan saya bertanya, “Dimana Kang Wahyu?”
Seorang anak menunjuk ke sebuah ruang, “Di situ Om”.
Terlihat seorang kakek yang masih segar mengenakan kaos dan bersarung itu sedang fokus plus merenung membaca aksara demi aksara di sebuah buku.
Tak mungkin saya dengan kesembronoan mengagetinya dengan cilukba, bisa dikepret saya nanti, hehehe. Saya mengucap salam, dan ketika itu Kang Rizky memalingkan muka. Betapa terkejutnya ia, agak lama membaca wajah saya.
Langsung dia tahu, “Nduh, Yogi?”
“Hahaha…, saya langsung menyalaminya” dan ia mengizinkan saya untuk duduk di depannya.
Kang Rizky alias Imam Besar Jurnaba meletakkan bukunya dan antusias menyambut kedatangan saya.
Obrolan gayeng malam itu ditemai secangkir kopi buatan sang belahan jiwa Kang Rizky.
Pripun kabare Kang?
“Alhamdulillah sehat Yog. Yaopo tugasmu ndek Belanda, lancar to?”
“Alhamdulillah lancar”
Maksud kedatangan saya ke Baureno selain merayakan hari ulang tahun pengagum Subcomandante Marcos itu, saya juga ingin bersilaturahim plus ngopi tentang sejarah dunia literasi di Bojonegoro dari masa ke masa. Tercatat beliau pernah membuat artikel tentang interview bersama saya di Jurnaba. Hal itu menjadi saksi dan akan terus abadi. Sekarang, sebagai hadiah sederhana dari saya, akan mencoba mengabadikan momen interview malam itu.
Kang, apakah masih relevan jika saya panggil Ahmud Abbas?
Wah…ya tidak lah.., alhamdulilah sekarang sudah lebih dari satu anakku, hehehe
Baik, saya enaknya panggil apa ini, Mbah, Pak De, Imam Besar, Kang, atau Bung?
Panggil Kang saja, semangat saya masih muda plus membara.
Siap, emm..pertanyaan pertama…siapa tokoh idola Kang Rizky?
Selain bapak dan ibu yang telah memberikan pelajaran hidup yang bermakna. Saya juga suka dengan semangat dan perjuangan Subcomandate Maros. Ingat, kata adalah senjata.
Kritik menohok di awal, apakah itu juga termasuk senjata yang ampuh, seperti yang pernah Mbah..eh kok Mbah, Kang Rizky berikan penjelasan pada saya?
Ya itu contoh kecil saja. Kamu lihat generasi jurnaba angkatan baru. Gaya bahasanya masih tetap santun dan santuy namun gaya kritiknya masih tetap asik, hehe.
Sesekali obrolan jeda sejenak. Kang Wahyu di usia senja masih gagah dengan rokoknya plus kopi yang senantiasa menemaninya.
Oke..oke, kira-kira apa nih Kang, tirakat atau laku khusus media Jurnaba.co masih lestari walau zaman silih berganti?
Wah..jangan sebut Jurnaba sebagai media nanti kuwalat,wqwqwq. Jurnaba bukan hanya sekedar media namun lebih dari pada itu. Karena saya menghargai setiap hak asasi manusia dalam berpendapat, jadi setiap orang bebas untuk menyebut Jurnaba dengan sebutan apa saja.
Kalau dari pandangan Kang Wahyu sendiri, tidak salah ketika tahun 2020 saya baiat sebagai Imam Besar Jurnaba plus mazhab Bojonegoronya?
Oalah…itu toh. Ya, saya amini saja, wqwqwq. Jurnaba itu semacam media yang tidak hanya sekadar media, wasilah dan yang tak sekedar wasilah. Paling kamu juga sudah tahu, hehe..renungi lagi tulisanku yang mengapa Jurnaba lahir di dunia.
Woke Kang, terkait dunia literasi di Bojonegoro nih, dari tahun 2000-an hinga sekarang (2045) bagaimana dinamikanya, mengingat Kang Wahyu menjadi saksi hidup bersama kawan-kawannya dulu terlibat dan membidani beberapa gerakan literasi; Jurnaba, Langit Tobo, Ngaostik, dan lain-lain?
Menurut pandangan saya, terkait dunia literasi di Bojonegoro bisa dibilang baik jika dibanding dengan daerah pedalaman misalnya. Terbukti Bojonegoro dari masa ke masa telah melahirkan beberapa penulis yang produktif plus energik. Dan memiliki karekteristik masing-masing.
Untuk kelompok belajar yang didirkan bersama istri ini pripun Kang?
Oalah…ini, cita-cita sejak dulu. Sebagai upaya saya bersama istri juga kawan-kawan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Di sini bebas, mau belajar apa saja siap kita dampingi. Ada yang ngansu kaweruh tentang musik, melukis, nulis, dan lain-lain. Yog, kalau kamu mau nyumbang buku silakan. Misale nek awan, awakmu tak jak keliling ndek sekitar tempat belajar, awakmu rene bengi kok marai, ora kondo pisan.
Inshaallah, kapan-kapan tak kirim beberapa buku Kang, hehehe. Nanti kalau saya bilang ke Kang Rizky bukan surprise namanya, malah jadinya door prize. Kalau saya kemari siang, nanti bisa jadi nama jam’iyyah berganti kang, wkwkwk. Oh ya, bagaimana kang terkait Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiyah sekarang?
Alhamdulillah masih lestari walau zaman silih berganti, wqwqwq. Rutinannya tafakur konten masih. Namun selain itu biasanya kawan-kawan juga menggelar acara di sini.
Kring…kring..kring…gawai saya berdering. Istri saya menelfon menyuruh pulang, karena anak kecil saya rewel. Begitu bilang istri.
Waduh Mbah, eh Kang maksude, lali maneh…., iki anakku rewel je..kapan-kapan tak main ndek kene maneh ambek bojo plus anak-anak, hehe…Sek Kang, sitik maneh. Hmm..apakah sampeyan tahu kalau tulisan sampeyan sering dikutip produsen kaos tentang perjuangan dan aktivisme misalnya yang tentang Subcomandante Marcos?
Sak iki jarang aktif ndek sosial media, yo gak ruh. Wes beno lah.., seng penting tujuane apik gapapa tulisanku dikutip.
Begini Kang, sebagai wujud apresiasi kecil, saya dan ucapan matur sembah nuwun karena telah mewarnai dinamika urip yang fana plus penuh tanda tanya ini, sampeyan terima ya bingkisan sederhana ini, hehehe. Hadiah ini mencoba merealisasikan mimpi Kang Rizky, namun agak berbeda. Dulu sampean pernah menulis tentang keinginananya memiliki kaos bergambar Orhan Pamuk, benar Kang?
Hehehe namun itu gambarnya bukan Orhan Pamuk, melainkan Subcomandate Marcos.
Wqwqwq..Oh yo…..kok ngerti ae awakmu…Matur suwun yo…
Oyi kang, sami-sami.Terakhir kang, ada pesan maupun kesan yang ingin sampaikan kepada saya?
Wis ngene ae, pokoke urip iku urup Yog. Istiqomah nulis, because writing is healing. Jangan lupa membaca sebab dengan membaca bisa membuka jendela hati. Oh yo ambek saben omongan mboh iku elek utowo apik sampeyan gawe ibrah.
Woke, matur suksma.
Tidak terasa jam menunjukkan pukul 02.00 WIB. Obrolan malam itu melintasi hari. Dari tanggal 19 Juni hingga 20 Juni 2045.
Wis yo kang, matur sembah nuwun atas ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan wawasannya, hehe. Aku balik sek, Assalamualaikum
Waalaikumsalam.
Setelah pertemuan itu, banyak ibrah yang bisa dipetik salah satu di antaranya urip iku kudu urup. Selain itu menulislah plus berpikir positif dimanapun dan kapanpun.
Akhir kata, bukan akhir segalanya, “Sugeng ambal warsa untuk Kang Ahmad Wahyu Rizkiawan, semoga selalu Istiqomah mengabarkan degup kebahagiaan.”