Kenaikan harga tentu amat memberatkan bagi para perokok. Namun, siapa tahu, kenaikan harga ini bisa jadi jalan sejahteranya para petani tembakau. Lho, kok bisa?
Jalan Panglima Polim cukup dipadati kendaraan pada Kamis (2/2/2020) siang. Perjalanan saya menuju warung kopi sedikit terganggu. Saya memutuskan untuk melipir sejenak ke sebuah toko sembako.
“Bu, beli rokok. Berapa?” tanya saya.
“ 17 ribu, mas,” jawab ibu pemilik toko.
“Lho, harganya belum naik to, Bu?”
“Ya jangan tanya gitu dong, Mas. Didoakan saja semoga harga rokok tidak jadi naik gitu lho,” jawab ibu yang berhijab panjang itu.
“masa melawan kebijakan pemerintah cuma pakai doa, Bu?” kata saya dalam batin, sambil tersenyum ke ibu penjual itu.
Pertanyaan itu muncul sebab beredar kabar harga rokok naik 35 persen. Itu dimulai per tanggal 1 Januari 2020. Kenaikan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Peraturan tersebut diteken pada 18 Oktober 2019.
“Pengusaha rokok sudah sangat memahami sistem yang berlaku. Ini hanya masalah perubahan tarif saja, sistem lainnya sama. Semua sudah siap,” kata Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi (31/12/2019) dikutip dari Katadata.
Sebenarnya, pemerintah menaikkan cukai rokok rata-rata sebesar 23 persen. Berlaku mulai 1 Januari 2020. Sedangkan kenaikan 35 persen tersebut adalah rata-rata harga eceran terendah rokok. Sifatnya pun masih berupa perkiraan.
Jadi yang diberlakukan pemerintah adalah kebijakan tarif cukai. Produsen rokok pabrikan harus membeli pita cukai. Nah, pita cukai itulah yang dikenakan tarif baru. Bukan harga rokok yang dinaikkan pemerintah. Namun, jelas kenaikan pita cukai akan berpengaruh pada naiknya harga rokok di pasaran.
Pabrik yang hendak memproduksi rokok akan membeli pita cukai dengan tarif baru. Produksi rokok pabrikan pada bulan ini, kemungkinan akan beredar di pasaran kisaran Februari 2020. Jadi harga rokok di Januari ini masih stabil. Kenaikan harga rokok akan merangkak naik. Bukan langsung melesat seperti roket.
Puthut EA, penulis sekaligus kretekus menjelaskan, kenaikan harga jual rokok secara bertahap. Nabsky perokok tidak perlu kaget dengan kenaikan ini. Sebetulnya, pencicilan kenaikan harga sudah dimulai pada Desember 2019.
“Bagi manteman yang merokok, kenaikan harga jual rokok ini bertahap. Jadi jangan kaget kalau bulan depan naik lagi. Rerata kenaikan rokok SKM premium (gampangnya yang ada filternya) sebetulnya antara 5000-7000. Skr dinaikkan antara 2000-3000 dulu,” tulis Kepala Suku Mojok.co melalui akun twitternya @PuthutEA (1/1/2020).
Puthut juga menulis bahwa kenaikan ini cukup mahal. Jelas akan mempengaruhi perilaku konsumen produk tembakau. Selaras dengan perkiraan perlambatan laju ekonomi tahun ini. Diprediksi, akan muncul dua perilaku konsumen.
Pertama, mengurangi kuantitas rokok. Perokok yang terbiasa menghabiskan dua bungkus dalam sehari, akan mengurangi menjadi satu bungkus. Mungkin juga akan mengganti dengan merk rokok lain yang lebih murah. Kedua, langsung berpindah mengkonsumsi merk rokok yang lebih murah. Bahkan, ada yang memilih tingwe (ngelinting dewe).
TIdak menutup kemungkinan, kenaikan tarif cukai rokok berakibat munculnya produk baru. Produk dengan harga yang lebih rendah. Jadi, mulai sekarang Nabsky bisa mencoba atau incip-incip merk rokok lain. Pilihan untuk mengkonsumsi rokok lebih murah ada di tangan Nabsky sendiri. Siapa tahu lebih cocok?
Mencoba tingwe termasuk solusi yang bagus. Pasalnya, produk ini tidak terkena cukai. Kalau pun iya, cukainya rendah. Tidak seperti rokok pabrikan. Penjualannya pun bersifat dari rakyat ke rakyat. Itu karena berasal dari petani langsung. Yang jelas, bukan pabrikan besar.
Siapa tahu, dari fenomena kenaikan harga rokok ini, banyak masyarakat perokok yang memilih jalur tingwe. Dan rokok tingwe, siapa tahu, jadi alasan meningkatnya kesejahteraan para petani tembakau di Indonesia.