Dear Akhi, Feminisme lahir dari ketertindasan perempuan. Dari ketidakadilan yang diterima perempuan. Untuk itu, perempuan melawan dan bergerak.
Lewat tulisan ini, saya tak beniat bilang bahwa feminism secara keseluruhan adalah hal baik yang apabila seorang tak menerima, maka haram hukumnya. Bukan itu yang ingin saya sampaikan.
Mari lebih dulu mengulas, mengapa akhi-akhi bisa menentang feminism?
Saya lebih suka membahas bahwa perilaku menentang itu adalah cerminan dari pikiran dan pengetahuan yang dimiliki oleh individu tersebut, yang kemudian tercermin dalam tindakan dan keputusannya.
Dalam diri masing-masing orang, ada yang berperan menyaring apa yang akan dia terima atau ditolaknya. Penyaring tersebut adalah cara pikir, persepsi, dan juga evaluasi. Tiga hal ini terbentuk atas dasar pola hidup, way of life, yang sudah menjadi kebiasaan.
Pada keseharian ketika akhi-akhi dilayani oleh ibu atau bahkan istrinya, maka akan terbentuk di dalam pikirannya bahwa pelayanan tersebut adalah hal yang benar, yang meski secara umum memang tak salah juga.
Tapi konsekuensi dari penerimaan satu aspek saja membentuk pikiran bahwa tidak adanya pelayanan dalam rumah tangga adalah perihal salah. Maka, ketika terjadi penolakan untuk melayani, secara otomatis otak mereka akan ter-trigger untuk membenarkan, meluruskan, mengembalikan ke “jalan yang benar” berdasarkan persepsinya.
Pemahaman seperti itu tidak datang secara sadar, melainkan ada pada alam bawah sadar yang memegang kendali penuh atas pemikiran dan persepsinya, dan itu disebabkan oleh habit. Kebiasaan.
Pemahaman patriarkal yang terus direproduksi dari masa ke masa, dari generasi ke generasi mengenai ‘kodrat perempuan’ dan ‘kodrat laki-laki’.
Laki-laki lahir sebagai pemimpin, begitu yang kita dengar lewat ceramah-ceramah ketika maulid nabi, pengajian rutin, dan acara-acara tertentu. Terlebih menjelang pemilihan umum yang kontestannya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Maka, tak jarang beberapa ayat dan hadis dikutip.
Yang paling sering adalah An-Nisa ayat 34 yang berbicara mengenai perkara rumah tangga, dan dimaknai secara lain untuk dibawa ke ranah yang lebih umum, dan semua ranah.
Ada pula ayat lain, yaitu Al-Baqoroh ayat 228 yang hanya dinukil bagian akhirnya saja. Maka, terkristallah pemahaman bahwa pemimpin adalah laki-laki, bukan perempuan. Laki-laki adalah pemimpin, karena mereka telah dilebihkan daripada perempuan.
Sehingga ide feminisme mengenai perempuan memiliki kapasitas yang setara dengan laki-laki tak terdeteksi sebagai kebenaran dalam saringan pemikiran para akhi.
Coba kita sejenak kembali pada masa anak-anak, ketika para orangtua membiarkan anak laki-lakinya bermain seharian penuh tanpa dibebani pekerjaan rumah yang disebut sebagai ‘membantu ibu’.
Sebaliknya, ‘membantu ibu’ menjadi kewajiban bagi sebagian besar anak perempuan, dengan tujuan untuk mendidik anak perempuan menjadi perempuan dewasa yang bertanggung jawab atas tugas-tugas rumah tangganya kelak.
Istilah ‘membantu ibu’ ini menjadi dasar dari persepsi bahwa pekerjaan rumah adalah pekerjaan seorang istri, seorang ibu, seorang perempuan dewasa, dan wajib hukumnya bagi perempuan untuk mampu memasak, mengurus anak, melahirkan, mengurus rumah, dan lain sebagainya.
Para laki-laki datang ke rumah setelah pulang dari bekerja untuk makan dan kemudian beristirahat. Pola yang terus berulang dan menjadi kebiasaan, lantas menjadi satu persepsi tersendiri. Sekali lagi, kita belum pada tahap untuk menghakimi salah dan benar.
Jadi, Nabsky, tahan dulu emosimu. Dalam kondisi ini, anak laki-laki tumbuh dengan pemahaman bahwa pekerjaan rumah adalah tugas perempuan dan sudah menjadi kodratnya. Ini mengapa ide feminisme mengenai pekerjaan yang bisa dipertukarkan menjadi tak masuk akal.
Selain karena berlainan dengan kebiasaan, juga berlainan dengan penggalan ayat bahwa istri haruslah taat pada suami dan menjadi pelayannya.
Untuk menjalankan kehidupan yang seimbang dan membentuk rumah tangga yang harmonis, kedua urusan baik domestik maupun publik harus berjalan. Rumah harus terawat, dapur harus mengebul, dan uang harus terkumpul.
Masalah yang menjadi dasar dari kapitalisme adalah penuhanan terhadap uang, yang kemudian membentuk pekerjaan menjadi kelas-kelas tersendiri antara pekerjaan yang menghasilkan uang dan pekerjaan yang tak menghasilkan uang.
Dan bagian tak menariknya adalah: pekerjaan yang tak menghasilkan uang tak dinilai sebagai ‘pekerjaan’. Maka, di sini, posisi laki-laki bekerja yang menghasilkan uang menjadi lebih tinggi dari perempuan bekerja yang tak menghasilkan uang.
Untuk itu ‘suami adalah prioritas’. Kita bisa melihat prioritas ini berdasarkan urutan siapa yang memakan makanan terlebih dahulu? Ada satu adegan dalam drama Korea berjudul Reply 1988 di mana JungPal dan kakaknya tak boleh menyentuh makanan sampai ayahnya datang dari bekerja.
Saya rasa, kebanyakan kita punya kebiasaan yang sama. Belum lagi potongan ayat al-Qur’an dan hadist yang dinukil untuk mengabarkan dan menggemborkan para istri untuk melayani suami dan tak pernah ‘membangkang’.
Bagaimana jika perempuan ingin bekerja pada ranah yang membuatnya mampu menghasilkan? Maka, sebagai ‘pemula’ di ranah publik, ia harus digaji rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 mengatakan bahwa ada selisih lebih dari 20% antara gaji yang didapat oleh pekerja perempuan dan pekerja laki-laki di tahun 2016-2018.
Ini karena istri bekerja dianggap sebagai ‘membantu suami’. Terlanjur melekat dalam pandangan masyarakat kita bahwa tugas mencari nafkah adalah tugas suami, sehingga peran ‘membantu’ tak layak mendapatkan akumulasi gaji yang penuh.
Para akhi menyepakati kebiasaan seperti ini karena mereka percaya bahwa mereka telah dilebihkan dari sebagian perempuan, dan itu disebutkan dalam beberapa penggalan ayat di dalam Al-Qur’an, termasuk yang telah saya sebutkan di atas. Sebagian besar bahkan melarang istrinya untuk bekerja di ranah publik.
Rangkaian kebiasaan dan informasi yang terus menerus direproduksi itu pada akhirnya terkristal dalam pikiran para akhi, bahkan turut didukung oleh sebagian ukhti-ukhti. Inilah yang kemudian menjadi persepsi, cara pikir, cara pandang, dan lebih lagi berpengaruh pada sikap yang mereka ambil.
Mari kita masuk pada perspektif dan melibatkan penilaian, setuju-tidak setuju, baik-buruk, salah-benar.
Tentu saja yang selalu ingin saya sampaikan pada para akhi yang menggunakan An-Nisa ayat 34 itu adalah untuk membaca ayat tersebut secara lengkap dan kasus apa yang diterangkan dalam ayat tersebut.
Firman pertama Tuhan adalah Baca! Bukan setengah-setengah, tapi keseluruhan. Cukup ayat itu secara utuh, atau jika berkenan maka bacalah tafsir atas dan bawahnya. Apa kasus yang sedang diterangkan melalui ayat itu?
Dalam An-Nisa ayat 34, qouwwamuna oleh sebagian akhi ditafsirkan sebagai pemimpin, sehingga jika dibaca menjadi ‘para laki-laki diciptakan sebagai pemimpin bagi para perempuan’, sedang qouwwamuna, yakni bentuk plural dari qawwam, berasal dari akar kata qama, yang berarti ‘to stand’ atau ‘to make something stand’, yang berdiri membela.
Maka, kemudian qawwamuna diartikan sebagai yang melindungi. Ini tentu sejalan jika dibaca ayatnya secara lebih lengkap. Laki-laki itu pelindung perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian dari laki-laki atas sebagian dari perempuan, dan karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya.
Maka, perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tak ada, karena Allah telah menjaga mereka…
Laki-laki diuntungkan dengan konfirmasi secara langsung atas kapasitasnya sejak dahulu kala. Mereka menerima gaji 20% lebih besar dari perempuan. Saya yakin bahwa keadaan di tahun 2016-2018 di atas jauh lebih baik dari keadaan sepuluh atau seratus tahun sebelumnya, ketika perempuan bahkan tak diberi ruang untuk bekerja dan hanya dianggap sebagai beban keluarga.
Kalian boleh membaca kembali sebuah novel yang begitu populer, ditulis oleh Nawal El-Saadawi, Perempuan di Titik Nol, sebuah novel yang mengambil setting keadaan di negara-negara Arab di masa lalu. Atau jika kalian pembaca novel lokal, maka bacalah Perempuan Remaja di Tangan Militer karangan Pramoedya Ananta Toer untuk tahu bahwa bukan hanya di negara-negara Barat atau di Mesir saja bentuk diskriminasi dan marjinalisasi terhadap perempuan terjadi. Di Indonesia juga terjadi hal serupa.
Dear, Akhi, Feminism lahir dari ketertindasan perempuan, dari ketidakadilan yang diterima oleh perempuan, dari ketakbebasan gerak, dan banyak hal lain, untuk itu perempuan bergerak melawan.
Berangkat dari itu, saya ingin menyamakan persepsi mengenai feminism sebagai gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Apakah itu perjuangan akan kesetaraan seperti yang lahir di Amerika dan kita kenal sebagai feminism liberal, ataukah perjuangan keadilan seperti yang lahir di negara-negara komunis-sosialis dan yang kita kenal sebagai feminism radikal, atau apapun, tapi mari sekadar memaknai bahwa feminism adalah gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
Mungkin kalian bertanya mengapa perempuan harus memperjuangkan haknya? Apa pentingnya gerakan perlawanan tersebut? mengapa mereka mau bersusah-susah sedang budaya patriarki memberikan perempuan kenyamanan?
Ada sebuah statemen yang berbunyi demikian, “Orang tak akan tahu dirinya dalam pengaruh kekuatan yang besar sampai pada titik kepentingannya bergesekan dengan mereka yang memegang kekuasaan.”
Sampai pada titik bahwa hak dasarmu telah dilanggar, kau baru akan tahu bahwa sesungguhnya kau tak pernah punya. Maka untuk itu, feminisme ada. Mereka sadar bahwa mereka tak punya hak yang sama, dibatasi geraknya, dan dirugikan dalam beberapa aspek hidup.