Film Koboy Kampus memberi inspirasi betapa jadi oposisi itu nggak melulu melakukan demonstrasi.
Seolah ada magnet tersendiri ketika ‘ayah’ sapaan akrab generasi muda untuk seorang novelis yang tenar akibat trilogi Dilan-nya, yakni Pidi Baiq, bahwa sepenggal kisah hidupnya diangkat menjadi sebuah karya film.
Tentu siapa yang tidak ingin mengetahui lika-liku hidupnya, apalagi usai Dilan dalam versi buku dan filmnya meledak. Bukan hanya Pidi Baiq saja yang mampu menggerakan orang-orang untuk sedia menonton Koboy Kampus.
Jason Ranti yang memerankan sosok ayah Pidi kala masih menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung kian memikat siapa saja untuk bergegas melihat karya dari Tubagus Deddy yang dalam pengakuanya, katanya, butuh waktu hingga enam tahun untuk melakukan riset terhadap grup musik The Panas Dalam Bank.
Saya rasa untuk kedua orang ini: Jason Ranti dan Pidi Baiq mempunyai berbagai kesamaan; pertama, dalam karya musik bagi orang awam lirik-liriknya tergolong absurd padahal itulah sarkasme yang digunakan oleh keduanya untuk menanggapi kondisi sekitarnya.
Kedua, sama-sama Imam Besar, Jason Ranti sebagai Imam Besar Gerombolan Woyo serta Pidi Baiq pun juga Imam Besar The Panas Dalam, bedanya hanya terletak pada Imam yang lebih senior dan junior dalam hal ini tentu saja Pidi Baiq adalah imam yang lebih senior, maka tak mengherankan jika Jason Ranti sendiko dhawuh terhadap ayah Pidi, kala beliau memilih Jason Ranti untuk memerankan dirinya.
Dalam film tersebut dikisahkan jika Pidi merupakan mahasiswa yang apolitis terhadap situasi perpolitikan Indonesia di zaman rezim Soeharto dulu, tapi ia juga nampak kecewa meski tanpa diikuti gerak militan sebagai mahasiswa, yakni agen of change.
Bersama empat kawannya, lantas membuat gerakan budaya tanding dengan mendirikan negara fiktif bernama The Panas Dalam, jika diulas penamaannya; namanya merupakan bentuk akronim a-The-is, Pa-ganisme, Nas-rani, Hindi bu-Da serta is-Lam.
Secara makna filosofis Pidi mengatakan dalam negara tersebut boleh berbeda keyakinan namun tetap satu tujuan yang sama.
Pada kenyataanya, setelah menonton film Koboy Kampus, secara pribadi saya juga tersulut untuk membuat budaya tandingan dengan cara atau pola yang sama yaitu membentuk negara fiktif untuk menyikapi negara yang masih terdapat banyak ketimpangan.
Dari ini semua, seolah membuat saya pribadi sebagai mahasiswa akhir tereduksi impian awal ketika masih unyu-unyu menjadi mahasiswa.
Yang dulunya ingin lulus tepat waktu, cumlaude, dan banyak prestasi ditorehkan, sekarang malah tak menginginkan lagi.
Pikiran cekak nan dangkal yang menjadi dasarnya, ada pada ketika saya lulus tepat waktu mau kerja apa, ya masa’ kerja ntar malah jadi budak para pemilik modal, masa’ tidak lebih baik tetap menyuburkan gagasan idealisme yang mengubah tatanan masyaakat dari bawah, syukur-syukur bisa mempengaruhi yang diatas, dalam artian tetap memperteguh sikap oposisi kepada pemerintah.
Sikap oposisi jangan dulu dimaknai sebagai gerakan yang hanya turun ke jalan lalu merusak fasilitas publik, bisa berarti sikap oposisi kaitanya pada terus merawat akal dengan cara melakukan diskusi.
Nantinya ini juga akan bermuatan positif pula terkait budaya ngopi kalian yang hanya datang-duduk-diam-diaman memiringkan gawai.
Lantas darimana saya menjumpai kebimbangan untuk terus bergerak dan nantinya akan berpengaruh pada lama waktu studi? Tanpa perlu ditanya ini sudah terjawab jika membaca tulisan ini tanpa skip, yakni film Koboy Kampus itu sendiri.
Bedanya, mereka bersikap politis dengan apolitis-nya, saya tanpa ada rasa jumawa bersikap politis dengan menghidupakan ruang diskusi di kalangan mahasiswa.