Dangdut Kontemporer (Dankop) memang tak serupa dangdut sebelumnya. Selain terasa lebih falsafi, penilaian kualitas berbasis gerak fisik penyanyi sudah tak ada lagi.
Pernah di suatu titik saya amat tidak suka dengan genre musik dangdut. Bagi saya saat itu, musik itu tidak memiliki makna dan cenderung melulu terpaku pada urusan asmara dan kesedihan.
Kini, ketika roda hidup saya berputar beberapa derajat lebih baik, saya merasa menyesal. Untuk itu, saya perlu meminta maaf dan membungkuk hormat pada dangdut.
** **
Tahun 2013 menjadi penanda kedekatan saya dengan dangdut dimulai. Saat-saat itu saya menapaki label baru sebagai mahasiswa di sebuah kampus di Surabaya.
Kuliah di universitas yang berjarak lumayan dengan kampung halaman di Sumberrejo, Bojonegoro, mau tak mau memaksa saya menaiki angkutan umum. Dan bus, pada masa itu menjadi andalan, sebab informasi mengenai trasportasi kereta api masih minim.
Ketika menaiki bus jurusan Wilangon Surabaya, saya sudah terbayang akan suasana yang ramai, sumpek, bahkan tak mengenakkan. Rokok, jika boleh menunjuk dalang pemicunya, menjadi hal yang amat saya benci.
Belum lagi ketika pak supir memainkan musik dangdut yang suaranya begitu memekakan telinga. Hal-hal itu jika dikumpulkan menjadi satu, menjadi sebuah kumpulan benda yang amat saya hindari.
Ya meskipun mungkin bagi beberapa orang musik dangdut cukup menghibur dan cenderung menuntun tubuh untuk bergoyang, saya tetap kurang suka. Betapa tidak, dari lirik, saya nyaris tak menemukan makna mendalam.
Ya gimana je sebagai aktivis kampus pemula saat itu, mau tak mau unsur-unsur prohresif perlu ada di setiap lapisan kehidupan. Filosofi, ya juga perlu ada, bahkan di setiap lagu.
Makanya, di masa-masa itu lagu bertema folk, indie, dan bernuansa perjuangan menjadi senandung yang rasanya wajib saya dengar.
Tak heran saya kemudian mendengar Silampukau, Sisir Tanah, Banda Neira, sampai Payung Teduh dan Fourtwenty. Lagu-lagu itu mendekam erat di dalam ingatan hingga ketika memutuskan ngopi di suatu tempat, ada syarat khusus tak tertulis yang mesti saya laksanakan: memastikan minimal satu lagu band indie disetel di kafe tersebut.
Kebiasaan itu menjalar sampai saya lulus kuliah dan memutuskan bekerja. Teman kerja saya saat itu kerap memutar dangdut. Jika saya tak salah dengar itu adalah lagu-lagu dari Sodiq dan Rhoma Irama.
Meski saya kemudian bersimpati dan respek atas pemilihan musik si kawan, entah mengapa rasa senang untuk sekadar menggoyangkan jempol tak pernah saya lakukan. Karena saat itu saya berpikir, hadeeeh musik apa lagi ini. Musik ya mbok yang agak masuk akal!
Tahun 2020 saya ke Surabaya. Saya memutuskan bekerja sebagai penulis dan desainer grafis. Karena saat itu musim corona, saya full bekerja dari kamar indekos. Di saat bersamaan, ndilalah adik saya memutar lagu dari Lord Didi Kempot.
Apalagi ketika itu Lord Didi tengah naik daun akibat ulasan Agus Mulyadi di Mojok.co dan interview Gofar Hilman yang sukses mengenalkan lagu-lagu bertema Cidro ke kalangan anak muda seperti saya.
Mula-mula saya menegur adik saya. “Itu musik uwopo yang kamu putar. Mbok ya lagu sing nggenah macam Payung Teduh atau Fourtwenty,” kata saya saat itu.
Namun ternyata adik saya tetap saja memutar lagu itu. Sembari sesekali dicampur dengan list dari Payung Teduh dkk. Kemudian satu dari babak pencerahan saya soal dangdut datang ketika saya mengalami kisah sedih bertubi-tubi.
Mulai asmara, pekerjaan, hingga kehilangan keluarga dekat, silih berganti bertamu pada diri saya. Dan, bisa ditebak, saya kemudian pelan-pelan memutar lagu Didi Kempot. Dan kamu tahu, ajaibnya, senandung tersebut mampu menjadi suaka ketika saya terseok-seok oleh berbagai nasib kurang menguntungkan.
Bergeser satu tahun pasca beragam peristiwa itu, tahun 2021 saya melangkahkan kaki ke Jakarta. Kata orang kota ini begitu keras.
Ia barangkali bisa disandingkan dengan terminologi American Dream di negeri Paman Sam. Di kota ini, mula-mula saya kulonuwun dengan mengenal berbagai lagu yang kerap diputar di kafe, yang ndilalah mostly memainkan senandung indie, folk, dan sejenisnya. Saya merasa dejavu karena inilah musik yang saya idam-idamkan di masa silam ketika berada di fase mahasiswa.
Alih-alih merasa senang, saya justru mengalami perasaan hampa. Ada ruang kosong yang jauh, yang nyaring, yang terasa menggema dalam diri. Meski kita tahu musik di kafe tersebut bernada filosofis, membangkitkan gemuruh semangat khas Jakarta, saya tetap merasa biasa saja. Saya merasa, sepertinya bukan ini yang saya butuhkan.
Ketika pulang dari kerja, di kamar kos yang saya sewa perbulan, saya iseng memutar Denny Caknan. Saya ingat, judul lagu yang saya putar kala itu Kertonyono Medhot Janji.
Dangdut Kontemporer (Dankop) di era saat ini memang lebih elegan. Terutama munculnya artis Youtube macam Woro Widowati, Happy Asmara, Yeni Inka, dan beberapa grup Dankop indie lainnya.
Liriknya memang masih soal asmara. Tapi kesan yang dibawa lebih dewasa dan bijaksana dan mengalah dan falsafi dan, tentu saja, tak ada lagi goyangan lebay serupa dangdut di era sebelumnya.
Melalui lagu-lagu itu, ajaibnya, saya merasa hidup kembali. Ada babak rindu kampung halaman yang perlahan seperti terobati. Rasanya seperti pulang kampung imajinatif, dan itu begitu menggembirakan.
Hari-hari berikutnya saya justru memutar lagu serupa. Bahkan kini saya tak malu untuk membagikannya ke khalayak, meski mungkin sebatas status whatsapp.
Beberapa kawan bahkan menertawai saya atas perubahan selera musik itu. Tapi toh saya tak peduli dan pikiran saya berkata: Menghadapi berbagai masalah seperti ini, ya paling relevan adalah dijogeti!
Di titik ini, saya kira perlu meminta maaf kepada dangdut. Saya juga merasa perlu membungkuk hormat atas apa-apa yang telah diciptakan musikus dangdut. Bahkan, jika seandainya saya punya kesempatan menasehati diri sendiri di kala menjadi mahasiswa, mungkin saya akan sungkem dan bilang bahwa jangan membenci sesuatu berlebihan.
Karena toh kita tidak pernah tahu bagaimana kehidupan bekerja. Bisa saja yang kita sukai sekarang menjadi hal yang kurang berkenan di masa depan. Dan bisa jadi sesuatu yang amat kita benci, akan mendekam rapi menjadi hal penting yang akan dirawat sepenuh hati.
Dan sebagaimana yang sering disampaikan Lord Didi Kempot dalam berbagai senandungnya: soal sedih, soal hidup, dan perkara situasi yang terasa melilit, salah satu jalan yang mungkin kita lakukan ialah merayakannya bersama-sama. Dan dengan dangdut, segala hal itu dapat ditunaikan dengan “dijogeti”.
Jakarta, 22 Agustus 2021