Kedatangan tiga menteri papan atas RI beserta para pejabat penting ke Padangan, tentu bukan tanpa alasan. Baik ditinjau dari sejarah pergerakan nasional, maupun strategi masa depan.
Sejumlah menteri papan atas Republik Indonesia (RI) sowan ke Padangan hari ini (22/8). Sebagai kawasan perbatasan yang amat jarang mendapat perhatian, kedatangan beberapa menteri itu amat asyique untuk dikulik.
Yang datang ke Padangan nggak cuma satu dua orang menteri. Tapi tiga menteri papan atas beserta uborampe para pejabat penting daerah yang hadir ikut menyertainya.
Tiga menteri papan atas itu, di antaranya; Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, dan Menteri BUMN Erick Tohir.
Kedatangan para menteri disambut Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, beserta Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) Jawa Timur dan, tentu saja, Bupati Bojonegoro.
Para menteri RI datang ke Padangan dalam rangka Bakti Untuk Negeri yang digelar di halaman SMP Negeri 1 Padangan. Di sana, para menteri melihat langsung kegiatan vaksinasi pada ratusan siswa-siswi dan warga sekitar Padangan.
Pasca meninjau vaksinasi secara langsung, tiga menteri papan atas bersama Gubernur, Pangdam V Brawijaya, Kapolda Jatim, Bupati Bojonegoro beserta Dandim dan Kapolres juga menyapa para vaksinator di 28 kecamatan di Bojonegoro secara virtual.
Yang unik. Para menteri papan atas beserta para pejabat penting daerah itu sowan ke Padangan, tapi (sepertinya) nggak mampir ke pusat kota Bojonegoro. Tentu, ini ada maksudnya.
Pak Mensesneg Pratikno memang alumni Padangan. Beliau dan saya satu almamater. Dan sebagai alumni, pasti ingin sowan ke kawah candradimuka-nya. Namun, kehadiran para menteri yang hanya ke Padangan saja, tentu menimbulkan tanda tanya. Berikut mungkin bisa jadi alasan.
Tanah Sepuh yang Keramat
Bagi sebagian orang, Padangan identik kawasan Lemah Tuwek. Tanah Tua yang memiliki banyak peran besar skala nasional, tapi secara invisible hand dan tak terlihat. Ini tercatat rapi di berbagai literatur sejarah.
Padangan merupakan bekas Ibu Kota Kadipaten Jipang (bagian dari Kerajaan Demak), sebelum akhirnya, pada 1725 M, dipindah ke Rajekwesi oleh Harya Mentahun I yang kala itu diperintah oleh Susuhunan Pakubuwono II. Ya, ini menunjukan bahwa Padangan pernah jadi ibu kota dari sebuah kerajaan Islam.
Sehingga tak aneh jika Padangan jadi kawasan yang sering disowani pejabat. Masyhur pada 1880 M, Bupati Bojonegoro kala itu, RM. Tumenggung Tirta Nata, kerap sowan pada para Masayikh di Padangan. Kala itu, di Padangan sudah ramai lautan para pesuluk thoriqoh.
Di era berikutnya, Padangan juga jadi pusat konsolidasi para anggota Sarekat Islam (SI). Di tempat ini, sekira 1912 M, merupakan rumah besar bagi kaum pergerakan. Sebab, mayoritas masyarakatnya merupakan para pejuang SI. Baik secara struktural maupun kultural.
Tapi bagi Belanda, kawasan ini tanah para pemberontak yang sulit dikendalikan. Di tempat ini, para pejuang SI kerap membikin resah penjajah Belanda. Tak ayal jika Belanda menganggap sebagai gudang para pemberontak.
Saking sulitnya dikendalikan, ia identik sebuah kawasan yang membuat para penjajah merasa apes dan sial. Sebuah kawasan yang “memaksa” kaum penjajah Belanda harus bisa baca wirid sebelum memasukinya.
Di kawasan ini pula, ada tempat keramat nan menakutkan bagi para pejabat. Ya, khusus birokrat dan pejabat yang su’ul adab terhadap rakyat. Sebuah kawasan yang, sampai hari ini, diyakini masyarakat sebagai tempat paling menakutkan bagi para pejabat.
Tapi tenang. Agar tetap ilmiah dan modern dan prohresif dan edukatif dan membahagiakan, saya tak akan membahasnya dalam tulisan ini. Di sini saya hanya akan membahas dampak kedatangan menteri ke Padangan, secara atmosfer politis dan ilmiah saja.
Memajukan Wilayah Bojonegoro Barat
Padangan, sudah sejak lama identik kawasan perbatasan yang secara umum kurang mendapat perhatian dalam hal apa saja. Entah pembangunan infrastruktur atau pembangunan apa saja. Khusus pembangunan infrastruktur jalan raya, coba saja malam-malam naik motor dari Bojonegoro ke Padangan.
Sesungguhnya ini bukan tanpa alasan. Padangan merupakan kawasan yang tak pernah kena cipratan Corporate Sosial Responsibility (CSR) Migas. Baik dari sisi Cepu atau sisi Bojonegoro. Padahal posisinya terapit keduanya. Mungkin karena keramat sampai CSR sungkan mendekat, atau gimana, saya kurang tahu. Nah, karena tak terkena cipratan CSR, Pemda jadi kurang perhatian deh.
Masyhur sejak zaman penjajahan Portugis atau Belanda atau Jepang, bahwa Pemerintah Daerah biasanya hanya perhatian sama daerah yang punya cipratan berkah tertentu. Sementara daerah yang tak kena cipratan, ya nggak diperhatikan.
Nah, saat para menteri berkunjung ke Padangan, otomatis para pejabat daerah juga ikut berkunjung dong. Masak nggak? Dan inilah momentum memotret gap kesenjangan pembangunan di Bojonegoro. Terutama kawasan barat. Dan pembangunan kawasan barat inilah yang sesungguhnya sedang ingin diupayakan Pak Pratikno.
Saya sangat yakin jika Pak Pratikno mengetahui riwayat dan keramat Padangan. Dan sebagai sesama alumni Padangan, saya juga yakin jika beliau memiliki primordialisme yang kuat terhadap Padangan, serupa siapapun yang pernah lahir dan tumbuh di bumi dan tanahnya.