Meski sepeda motor lebih cepat, hakikatnya hanya diam. Sedangkan sepeda yang lebih lambat, hakikatnya lebih bergerak. Itu alasan orang naik sepeda motor lebih rawan melamun. Apalagi yang masih jomblo.
Tradisi bersepeda perlahan mulai bangkit. Itu dibuktikan dengan maraknya komunitas bersepeda. Dalam satu kota, bisa terdapat lebih dari dua atau tiga komunitas pesepeda. Tentu itu menyenangkan. Melegakan.
Menjuluki komunitas pesepeda sebagai pasukan penyelamat bumi tentu tidak berlebihan. Kehadiran pesepeda yang terorganisir dengan baik, disadari atau tidak, bakal membawa dampak baik pula bagi kehidupan masyarakat.
Saat masih kecil dulu, saya kerap sekali menyaksikan berbagai macam tontonan film bertemakan penyelamatan bumi. Kita yang lahir pada era 1990, tentu tidak asing dengan beberapa film seperti Dragon Ball, Utraman, hingga Power Rangers.
Meski banyak film lain, ketiga film itulah yang paling sering kami tonton. Sebab, ditayangkan saat hari minggu. Entah kebetulan atau tidak, ketiga film itu memiliki tema sama. Berkisah tentang proses mempertahankan sekaligus menyelamatkan bumi dari serangan musuh: alien dari luar angkasa.
Saya baru menyadari, musuh bumi yang terhimpun dalam imajinasi anak-anak generasi 90 an itu, pada akhirnya mulai menampakkan diri. Mereka itulah monster mengerikan penghasil polusi dan penyebab kemacetan.
Kehadiran sepeda motor yang awalnya sebagai alat mempermudah pekerjaan manusia, kini bermetamorfosis menjadi pasukan pembunuh yang memproduksi polusi sekaligus mengancam keseimbangan bumi.
Itu bukan guyonan film kartun belaka. Jika tidak waspada, tentu manusia hidup di bawah ancaman marabahaya. Kini setiap rumah memiliki lebih dari dua sepeda motor. Bahkan, jika setiap rumah memiliki tiga sepeda motor, merupakan hal wajar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2013 menyatakan, terdapat 11.484.514 mobil penumpang; 2. 286. 309 Bus; 5. 615.494 Truk dan 84. 732. 652 Sepedamotor. Total terdapat 104.118. 969 berbagai macam jenis kendaraan.
Dari data tahun 2013 itu, kita bisa melihat sepeda motor memiliki rangking tertinggi. Selain harganya lebih murah, menipu orang kampung untuk membeli sepeda motor tentu lebih mudah daripada merayunya membeli mobil.
Ingat, satu motor punya senjata beracun berupa karbon monoksida yang bisa membunuh umat manusia. Bayangkan jika 84 juta knalpot mengeluarkan racunnya secara bersamaan. Itu cara paling efektif menghancurkan peradaban kota.
Sekarang, setelah tujuh tahun berselang. Apakah jumlah itu menurun? Tentu tidak. Bahkan dipastikan meningkat. Meningkat tajam barangkali. Biar terlihat ketajamannya, makanya saya cari data 2013. Biar terasa kalau meningkat.
Coba bayangkan, bagaimana bisa menurun jika tiap hari kita dicekoki utopia kenyamanan berkendara melalui televisi; kemudahan fasilitas kredit untuk pengambilan sepeda motor.
Dan yang paling parah, keberadaan sinetron nonproduktif yang setiap hari mengajak anak-anak kampung untuk memaksa orang tuanya membelikan sepeda motor. Sebenarnya, itulah monster yang sedang kita pelihara.
Nabs, hakikat diciptakannya alat memang mempermudah kerja manusia. Harus diakui, tanpa sepeda motor tentu kita akan lebih sulit bekerja. Namun, kebanyakan motor juga menyebabkan marabahaya–memperkecil volume jalan raya yang tak pernah diperlebar itu.
Mengembalikan Kuda Besi Beracun itu pada khittoh-nya (sebagai pembantu manusia) adalah jalan terbaik. Membangun mindset pada masyarakat bahwa naik motor bukanlah gaya hidup kece–melainkan hanya kebutuhan belaka. Sebab, tidak berlebihan dan sesuai kebutuhan adalah jalan menuju keselamatan.
Mengutip Albert Enstein: Hidup itu seperti naik sepeda, agar tetap seimbang, kau harus terus bergerak. Enstein yang lahir pada 1879 tentu tidak asing dengan sepeda motor. Namun dia lebih memilih kata sepeda daripada sepeda motor. Padahal, keduanya sama-sama bergerak.
Kita tahu, sepeda motor uap pertamakali diproduksi besar-besaran pada 1868 oleh Michaux Ex Cie, perusahaan sepeda motor pertama di dunia, sebelum akhirnya disempurnakan oleh Nikolas Otto menjadi mesin 4 tak pada 1877: dua tahun sebelum Enstein lahir.
Tentu, Enstein juga seperti remaja pada umumnya. Pernah naik sepeda motor biar terlihat kece. Tapi, kenapa dia lebih memilih kata sepeda daripada sepeda motor?
Yaps, benar sekali. Meski sepeda motor lebih cepat, hakikatnya hanya diam. Sedangkan sepeda yang lebih lambat, hakikatnya tubuh lebih bergerak. Itu alasan orang naik sepeda motor lebih rawan melamun. Apalagi yang masih jomblo.
Di Bojonegoro, pada kisaran 2005 hingga 2010, para pelajar dari SMP hingga SMA-nya identik dengan naik sepeda. Setiap pagi, di sepanjang jalan Panglima Polim, selalu dipenuhi City Bike milik para pelajar yang sedang lewat.
Polusi tak sebanyak saat ini. Saya sempat menjadi saksi ketika naik sepeda motor terkesan lebih kampungan daripada naik city bike.
Beruntunglah kita, sekarang banyak komunitas sepeda yang mengkampanyekan naik sepeda lebih kece daripada naik motor. Disadari atau tidak, para pehobi bersepeda inilah yang mampu mengurangi polusi.
Namun ingat, sepeda pun tidak luput dari pemanfaatan pihak-pihak tertentu. Jadi jangan berlebihan. Sebab, tidak berlebihan dan sesuai kebutuhan dalam hal apapun adalah jalan menuju keselamatan.