Entah apa yang merasuki Chusnul hingga tiba-tiba, dia suka bercerita tentang novel Dataran Tortilla. Novel yang memang amat patut dikagumi itu, membuatnya menjadi sosok yang sangat suka bercerita.
“Mas Riz, ini buku yang amat sangar. Ternyata beneran sangat bagus.” kata Chusnul pada saya, sembari menunjukkan sebuah novel yang terbit pertama pada 1935 itu.
Saya percaya, mereka yang pernah membaca Dataran Tortilla, pasti menyimpan efek samping yang unik. Jika tak tertawa-tawa sendiri, mungkin suka bercerita. Dan kala itu melanda Chusnul, saya tak kaget. Ada dua alasan kenapa saya tak kaget.
Pertama, Chusnul bukan pembaca buku biasa. Ia satu dari sichibukai bahkan yonko literasi yang pernah saya temui di Kota Bojonegoro. Dia predator buku pilih tanding. Buku-buku yang ia rekomendasikan serupa fatwa yang mampu memberi pencerahan di tengah membosankannya referensi bacaan.
Jadi, saat dia bilang ada buku yang bagus, berarti memang buku itu amat layak dibaca. Siapa juga di dunia ini yang tak kagum membaca kisah tentang Dataran Tortilla. Sebuah novel yang, setidaknya, harus pernah dibaca meski tak selesai.
Kedua, saya mencium dan mendengar kemasyhuran Dataran Tortilla sudah cukup lama. Karena itu, saat Chusnul menyebut nama John Steinbeck, saya langsung bilang kepadanya bahwa mengenal Steinbeck belum kaffah jika tak membaca Dataran Tortilla.
Selain memang bagus, mereka yang pernah membaca Dataran Tortilla, percayalah, pasti akan menjadi makhluk menyenangkan yang suka bercerita. Tak mudah menghakimi. Dan punya ikatan solidaritas yang cukup tinggi.
Saya pun kembali membaca Dataran Tortilla. Dengan pembacaan yang lebih seksama, tentu saja. Saya berjaga-jaga agar bisa mengimbangi saat Chusnul ataupun teman-teman lain bercerita atau berdiskusi tentang Dataran Tortilla.
Ada mitos berbunyi: saat seorang teman membaca Dataran Tortilla, harus ada yang ikut membaca. Agar terjadi proses bercerita. Agar ada proses berdialektika. Sebab, membaca Dataran Tortilla tanpa menceritakan kembali hasil pembacaan, sangat membuatmu tersiksa. Percayalah.
Kau boleh menyimpan kerinduan. Kau boleh menyembunyikan kesedihan. Tapi, kau akan benar-benar tersiksa ketika membaca novel yang amat bagus dan lucu, tapi tak punya teman untuk menceritakannya. Percayalah, tertawa-tawa sendiri itu hal yang buruk.
Nabs, Dataran Tortilla adalah sebuah dataran tinggi di atas Kota Monterey yang terletak di wilayah California. Di dataran Tortilla ini, hiduplah kaum paisano – rakyat jelata berdarah campuran Spanyol, Indian, Meksiko dan Kaukasia.
Novel Dataran Tortilla berkisah tentang pemuda-pemuda paisano. Mereka adalah Danny, Pilon, Pablo, Jesus Maria, Big Joe Portugis, dan Bajak Laut beserta anjing-anjingnya. Ceritanya tentang keseharian mereka. Keseharian yang membuatmu terpingkal berhari-hari.
Ritme hidup mereka adalah mabuk, tidur, mencuri, menipu, berkelahi, masuk penjara, keluar lagi dan, sesekali selingkuh dengan istri orang. Mabuk, tidur, mencuri, menipu, berkelahi, masuk penjara, keluar lagi, selingkuh dengan istri orang dan, seringkali menolong orang.
Anak-anak paisano memahami hidup secara ringan, tanpa beban tergendong di kepala. Di dalamnya, kita akan sulit membatasi kebaikan dan keburukan. Tak ada kebaikan dan keburukan. Yang ada, kebaikan dalam keburukan.
Ini bukan novel biasa. Butuh kejembaran dada untuk membacanya. Sejenak, harus mampu menanggalkan nilai yang melekat dalam diri. Tanpa kebijaksanaan tinggi, membaca Dataran Tortilla hanya akan membuatmu mabuk agama dan kesurupan motivator.
Para paisano selalu menawarkan logika di luar nilai yang dipeluk kebanyakan orang; ide konyol nir-masa depan, perkelahian tanpa alasan, nasionalisme yang kian tebal seiring tegukan anggur, hingga pemikiran-pemikiran aneh yang menjadi keseharian mereka.
Yang membuat novel itu terasa hidup di tiap zaman adalah gaya narasinya yang lucu. Lucu yang amat sangat kebangetan. Itu alasan kenapa saat kau membacanya, kau harus mencari orang lain untuk mendengar hasil pembacaanmu.
Tanpanya, kau akan disiksa rasa aneh yang luar biasa. Bukankah terpingkal-pingkal sendirian adalah ketersiksaan yang aneh?
Saat Danny ingin memberi hadiah sekotak gula-gula kepada tetangga yang bernama Nyonya Morales, misalnya, Pilon dan kawan-kawannya tergerak untuk membantu Danny mengumpulkan uang demi membeli gula-gula tersebut.
Namun, ketika uang sudah di tangan, Pilon dan Pablo mulai berpikir : Gula-gula tak baik untuk kesehatan, hal itu bisa menyebabkan sakit gigi. Jika Danny membeli gula-gula untuk Nyonya Morales, pasti ia pun akan mencicipinya dan Danny akan mengalami sakit gigi juga.
Karena pemikiran itu, Pilon dan Pablo mengurungkan niat untuk membeli gula-gula demi menjaga kesehatan gigi Danny. Dan uang untuk membeli gula-gula, justru beralih ke kedai Torelli untuk dibelikan anggur. Sebab anggur adalah pondasi. Kunci para paisano menjalani hidup sehari-hari.
Itu hanya contoh kecil betapa Dataran Tortilla dipenuhi pertimbangan-pertimbangan logika yang tidak logis. Tapi, hebatnya John Steinbeck adalah, kemampuannya meramu kalimat realis secara memukau. Sederhana tapi bercahaya dan berdampak luar biasa pada pembaca.
Dataran Tortilla benar-benar menerapkan prinsip just show don’t tell. Karena itu, bakalan sulit jika yang kau cari adalah pesan moral. Bisa jadi, pesan moral disajikan melalui giat-giat yang tak bermoral. Itupun jika ada pesan yang kau dapatkan. Hehe
Meski pekerjaan mereka tiap hari mabuk dan menipu dan melakoni giat kontra produktif, masing-masing karakter punya sifat yang unik; Danny si setia kawan, Pilon si cerdas yang selalu berpikir rasional, Jesus Maria si religius yang suka menolong. Semuanya punya sifat positif dan semuanya suka mabuk.
Mereka semua adalah sosok paisano patriotis yang tinggal bersama dalam sebuah rumah milik Danny. Mereka terikat rasa persahabatan dan kemanusiaan yang selalu terpicu dan terjalin akibat anggur. Tak heran jika ulahnya sering kacau dan ngawur.
Mereka sangat patriotis tapi nyaris nihil nilai kesopanan. Serupa kesatria tapi suka mabuk-mabukan, bermain wanita dan mencuri tapi suka menolong kala ada orang lain kesusahan. Kemiskinan yang melingkupi mereka sama sekali tak menjadi masalah dan justru dijalani dengan suka cita.
Yang menjadi menarik adalah rasa solidaritas antar kawan yang amat tebal dan penuh ketidaksadaran. Mereka saling mendukung dengan berbagai motif yang jauh dari kepentingan baik. Kebaikan dan keburukan benar-benar ilusi.
Semua tindakan didasarkan pada kepentingan dan orientasi buruk, tapi yang dilakukan selalu hal-hal baik. Ini kontras dengan apa yang dilakukan orang pada umumnya: semua tindakan dilakukan dengan orientasi baik tapi yang dilakukan justru keburukan.
Terlepas sikap-sikap nihilis dan apatis dan kadang pesimis, mereka mengajarkan pada saya tentang kesungguhan yang sungguh-sungguh dalam menjalani hidup dan sikap solidaritas yang membabi buta.
Itu terlihat pada sikap Danny yang membantu teman-temannya untuk tinggal menetap di rumahnya. Tergambar pada Pilon dkk yang membantu Danny mangatasi masalah. Dan tergambar pada mereka semua saat membantu janda miskin yang anaknya kelaparan.
Tidak apa jika aku dipukul botol sake, itu semua bukan masalah, tapi apapun alasannya, aku tak akan pernah memaafkan seseorang yang telah menyakiti sahabatku. Ucapan Akagami Shank dalam serial One Piece itu benar-benar tergambar pada anak-anak Dataran Tortilla.
Tak hanya itu, sebaris puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berbunyi: yang tertusuk padamu berdarah padaku, juga terbukti melalui karakter-karakter urakan dalam novel Dataran Tortilla. Mereka memang urakan, tapi mereka sangat menjunjung tinggi nilai persahabatan.
Jadi jangan heran jika pembaca Dataran Tortilla adalah jenis makhluk yang sangat peka pada kesusahan kawannya. Mereka yang bisa melakukan apa saja, saat temannya dilukai orang lain.